Bagi Arlan, SMA Pelita Bangsa hanyalah tempat untuk menghabiskan waktu sebelum ia harus menghadapi kenyataan pahit di rumah. Ia adalah tipikal murid yang duduk di barisan belakang, mengenakan headphone yang tidak selalu memutar musik-terkadang ia hanya butuh alasan agar orang tidak mengajaknya bicara.
Semuanya berubah di suatu Selasa sore yang mendung. Arlan terjebak di perpustakaan karena hujan deras. Di sudut ruangan, dekat rak buku sastra klasik yang jarang disentuh, ia melihat Gendis.
Gendis adalah kebalikan dari Arlan. Ia adalah ketua klub literasi, siswi teladan dengan senyum yang bisa mencairkan suasana paling kaku sekalipun. Namun sore itu, Arlan melihat sesuatu yang berbeda. Gendis tidak sedang tersenyum. Ia sedang menangis dalam diam sembari memeluk sebuah buku tua.
"Kalau buku itu bisa bicara, dia pasti minta kamu berhenti membasahi halamannya," cetus Arlan tanpa sadar.
Gendis terperanjat, buru-buru menghapus air matanya. "Arlan? Aku kira sudah tidak ada orang."
"Hujannya terlalu deras. Aku malas basah," jawab Arlan pendek, lalu duduk di kursi seberang Gendis. "Kenapa? Nilai fisikamu turun?"
Gendis terkekeh kecil, sebuah tawa yang terdengar getir. "Bukan. Ini tentang ibuku. Hari ini ulang tahunnya, tapi... dia bahkan tidak ingat namaku lagi sejak penyakit itu makin parah."
Arlan terdiam. Ia yang biasanya sinis mendadak merasa lidahnya kelu. Ia tahu rasanya kehilangan, meski versinya berbeda. Ayahnya pergi saat ia kecil, meninggalkan ibunya yang harus bekerja keras hingga hampir tak punya waktu untuknya.
Sejak sore itu, dinding es di antara mereka retak. Gendis meminta Arlan untuk membantunya di perpustakaan setiap sore, dan sebagai imbalannya, Gendis akan membantu Arlan mengejar ketertinggalan pelajaran matematikanya.
"Kenapa harus aku? Banyak cowok lain yang antre mau bantu kamu," tanya Arlan suatu hari saat mereka sedang menyusun buku.
Gendis menatap Arlan dalam-dalam. "Karena kamu tidak memandangku dengan rasa kasihan. Kamu memandangku seolah aku hanya... Gendis. Bukan 'si anak pintar yang malang'."
Kedekatan mereka mulai menjadi buah bibir. Arlan yang biasanya dingin mulai terlihat sering tersenyum—meski hanya tipis. Ia mulai membawa dua botol susu cokelat setiap pagi; satu untuknya, satu lagi diletakkan di laci meja Gendis tanpa nama.
Momen termanis terjadi saat festival sekolah. Arlan, yang diam-diam mahir bermain gitar, dipaksa Gendis untuk tampil mengiringinya membaca puisi. Di atas panggung, di bawah sorotan lampu kuning yang hangat, Arlan memetik senar gitarnya dengan lembut. Matanya hanya tertuju pada punggung Gendis. Saat itu, ia sadar: ia telah jatuh cinta pada gadis yang dunianya penuh dengan kata-kata.
Namun, setiap cerita manis selalu butuh ujian. Masalah datang dalam bentuk Raka, mantan ketua OSIS yang merasa memiliki "hak" atas Gendis. Raka menyebarkan rumor bahwa Arlan hanya memanfaatkan Gendis untuk memperbaiki nilainya agar tidak dikeluarkan dari sekolah.
Lebih buruk lagi, Raka menemukan buku harian Gendis yang tertinggal di kelas dan membacakannya di depan gengnya—tentang betapa takutnya Gendis jika Arlan tahu bahwa kondisi ekonomi keluarganya sedang hancur karena biaya pengobatan ibunya.
Arlan merasa terpukul, bukan karena rumor itu, tapi karena Gendis tidak mempercayainya untuk berbagi beban itu.
"Kenapa kamu sembunyikan?" tanya Arlan di atap sekolah, suaranya parau.
"Karena aku tidak mau menjadi bebanmu, Lan! Kamu punya masalahmu sendiri," balas Gendis dengan suara bergetar.
"Kamu bukan beban, Gendis. Kamu itu... alasan aku mau bangun pagi dan sekolah!" bentak Arlan.
Keheningan menyelimuti mereka. Gendis menangis, dan untuk pertama kalinya, Arlan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Di bawah langit senja yang berwarna jingga kemerahan, mereka melepaskan semua ego. Arlan berjanji bahwa apa pun yang terjadi, ia akan tetap di sana. Bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai pendengar.
Hari kelulusan tiba. Aroma bunga sedap malam dan parfum bercampur dengan haru. Gendis terpilih menjadi lulusan terbaik. Saat ia berdiri di podium untuk memberikan pidato, matanya mencari satu sosok di barisan belakang.
Arlan ada di sana, mengenakan seragam yang rapi untuk pertama kalinya, dengan sebuah buket bunga matahari kecil di tangannya.
"Keberanian bukan tentang tidak adanya rasa takut," ucap Gendis dalam pidatonya, matanya terkunci pada Arlan. "Tapi tentang menemukan seseorang yang membuatmu merasa bahwa ketakutan itu layak dihadapi bersama."
Setelah upacara selesai, mereka bertemu di bawah pohon mahoni besar di halaman belakang sekolah—tempat mereka sering menghabiskan waktu setelah perpustakaan tutup.
Arlan menyerahkan bunga itu. "Matahari. Karena kamu yang menyinari duniaku yang gelap kemarin."
Gendis menerima bunga itu, lalu berjinjit dan mencium pipi Arlan singkat. Wajah Arlan memerah sempurna, mengundang tawa dari Gendis.
"Kita akan kuliah di kota yang berbeda, Lan," bisik Gendis pelan.
Arlan menggenggam tangan Gendis erat, menyatukan jari-jari mereka. "Jarak itu cuma angka, Gendis. Aku sudah belajar matematika darimu, ingat? Dan dalam logikaku, variabel 'kita' tidak akan pernah berubah menjadi nol."
Mereka berjalan keluar dari gerbang sekolah, meninggalkan masa remaja yang penuh luka dan tawa, menuju masa depan yang meski tidak pasti, setidaknya akan mereka lalui dengan saling menggenggam.
Beberapa bulan setelah kelulusan, sebelum mereka benar-benar berangkat ke kota tujuan masing-masing, Arlan dan Gendis menghabiskan malam minggu terakhir mereka di sebuah kedai kopi tua yang sepi. Di luar, hujan turun sangat deras, menciptakan suasana yang sangat tertutup dan privat.
Arlan memperhatikan Gendis yang sibuk menyesap cokelat panasnya. Uap tipis dari cangkir itu membuat wajah Gendis terlihat sangat lembut. Tanpa aba-aba, Arlan meraih tangan Gendis di atas meja.
"Kamu tahu apa yang paling aku benci dari perpisahan minggu depan?" bisik Arlan.
Gendis menggeleng pelan, matanya yang besar menatap Arlan dengan penuh rasa ingin tahu.
"Aku tidak bisa lagi melihat wajahmu saat kamu sedang melamun seperti ini. Aku tidak bisa memastikan kamu baik-baik saja secara langsung," Arlan berdiri dari kursinya, lalu berpindah duduk di samping Gendis, sangat dekat hingga bahu mereka bersentuhan.
Gendis menoleh, nafasnya tertahan. "Arlan..."
Arlan menyisipkan anak rambut Gendis ke belakang telinga. Jarinya perlahan turun membelai pipi Gendis yang merona. Perlahan, Arlan mendekatkan wajahnya. Jantung Gendis berdegup kencang hingga ia bisa mendengarnya di telinganya sendiri. Saat jarak mereka hanya tinggal satu sentimeter, Arlan berhenti sebentar untuk mencari persetujuan di mata Gendis.
Gendis memejamkan matanya, dan saat itulah Arlan mendaratkan kecupan lembut di keningnya, lama dan penuh perasaan, sebelum akhirnya bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang manis dan penuh kerinduan. Itu bukan ciuman yang terburu-buru, melainkan ciuman yang seolah mengatakan bahwa "aku tidak akan pergi kemanapun di hatimu."
Setelah malam di kedai kopi itu, hubungan mereka terasa jauh lebih intens. Suatu malam, Arlan mengajak Gendis ke sebuah bukit di pinggir kota untuk melihat lampu-lampu jalanan dari ketinggian.
Mereka duduk di kap mobil tua Arlan, berselimut satu jaket yang sama karena udara yang menggigit. Gendis menyandarkan kepalanya di bahu Arlan, sementara tangan Arlan merangkul pinggang Gendis dengan protektif.
"Lan, kalau nanti di sana ada yang lebih cantik dan pintar dariku, bagaimana?" tanya Gendis tiba-tiba, suaranya sedikit bergetar.
Arlan tertawa rendah, suara beratnya terasa menenangkan. Ia memutar tubuh Gendis agar menghadapnya. "Gendis, aku butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa membuka hati buat satu orang. Kamu pikir aku punya tenaga untuk melakukannya lagi pada orang lain?"
Arlan memegang dagu Gendis, mengangkatnya sedikit agar mata mereka bertemu. Di bawah cahaya bulan yang remang, wajah Gendis terlihat sangat cantik. Arlan menunduk, mencium bibir Gendis dengan lebih dalam kali ini, sebuah ciuman yang penuh dengan janji dan gairah remaja yang tulus. Gendis melingkarkan lengannya di leher Arlan, membalas ciuman itu dengan perasaan yang sama besarnya, seolah mereka sedang menyerap satu sama lain untuk disimpan sebagai bekal saat rindu melanda nanti.
"Aku sayang kamu, Gendis. Sangat sayang," bisik Arlan tepat di depan bibir Gendis setelah mereka melepaskan tautan.
Masalah muncul saat Arlan sudah berada di Bandung dan Gendis di Yogyakarta. Kesibukan ospek dan tugas kuliah mulai membuat komunikasi mereka jarang. Suatu malam, Gendis jatuh sakit dan tidak bisa dihubungi selama dua hari. Arlan panik luar biasa.
Tanpa pikir panjang, Arlan mengambil bus malam paling terakhir menuju Yogyakarta. Ia tiba di depan kos Gendis pada pukul lima pagi dengan mata merah karena kurang tidur.
Saat Gendis membuka pintu dengan wajah pucat dan lemas, ia hampir tidak percaya melihat Arlan berdiri di sana dengan tas ransel dan wajah penuh kekhawatiran.
"Arlan? Kamu gila? Kamu ada kelas pagi ini!" seru Gendis kaget.
Arlan tidak menjawab. Ia langsung masuk dan memeluk Gendis dengan sangat erat, menenggelamkan wajahnya di leher Gendis. "Jangan pernah menghilang lagi. Aku hampir gila," gumamnya parau.
Arlan kemudian membimbing Gendis kembali ke tempat tidur. Ia merawat Gendis seharian—membuatkan bubur, menyuapinya, dan mengompres keningnya. Saat demam Gendis mulai turun di sore hari, Gendis menarik kaos Arlan agar cowok itu mendekat.
"Terima kasih sudah datang," bisik Gendis.
Arlan tersenyum tipis, lalu menciumi seluruh wajah Gendis—mulai dari kening, kedua pipi, hingga akhirnya mendarat lama di bibirnya. Ciuman itu terasa hangat, menyembuhkan, dan penuh dengan aroma kasih sayang yang murni. Di kamar kos yang kecil itu, waktu seolah berhenti. Masalah jarak dan rasa lelah menguap begitu saja, digantikan oleh rasa memiliki yang semakin kuat.
Empat tahun berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan mereka berdua (yang secara ajaib hanya terpaut satu minggu). Arlan sudah bekerja di sebuah perusahaan desain, sementara Gendis mulai menerbitkan buku pertamanya.
Mereka kembali ke sekolah lama mereka, SMA Pelita Bangsa. Di bawah pohon mahoni tempat mereka dulu sering bersembunyi dari dunia, Arlan mengeluarkan sebuah kotak kecil.
"Gendis, dulu di sini kita mulai dengan janji remaja. Sekarang, aku mau membuat janji pria dewasa," Arlan berlutut di depan Gendis. "Aku tidak menjanjikan hidup yang selalu mudah, tapi aku menjanjikan bahwa kamu tidak akan pernah menghadapinya sendirian. Maukah kamu jadi bab terakhir di hidupku?"
Gendis menutup mulutnya dengan tangan, air mata bahagia mengalir. Ia mengangguk mantap. Arlan menyematkan cincin itu di jari manis Gendis, lalu berdiri dan mengangkat tubuh Gendis, memutarnya di udara sebelum akhirnya memberikan ciuman paling emosional yang pernah mereka rasakan.
Dulu mereka hanya dua anak sekolah yang terluka, namun kini mereka adalah dua jiwa yang utuh karena cinta yang tidak pernah menyerah pada jarak dan waktu.
Tamat