Hujan turun tanpa aba-aba, seolah langit sengaja menumpahkan seluruh bebannya malam itu. Atap seng rumah kami langsung menyambutnya dengan bunyi gaduh yang tak beraturan, seperti ratusan jari memukul-mukul besi tipis tanpa irama.
"Jangan di situ, pindahkan ke dekat rak sepatu! Bocornya pindah arah!" teriak Ayah sambil berusaha menggeser meja kayu yang kakinya sudah mulai lapuk.
"Ibu sudah kehabisan wadah, Yah! Panci sayur dan kaleng biskuit sudah penuh semua!" sahut Ibu dari arah dapur, suaranya nyaris tenggelam oleh dentuman hujan yang menghantam atap seng setipis kertas itu.
Aku berdiri di ambang pintu kamar, memeluk buku-buku sekolahku erat-erat. Sampulnya mulai lembap, sudut-sudutnya melengkung seperti ikut kelelahan. Ruang tamu telah berubah menjadi ladang kecil penuh ember, baskom, dan mangkuk sambal. Tidak ada lagi tempat kosong untuk melangkah tanpa kehati-hatian.
Tring! Tlak! Plung!
Suara air yang jatuh ke berbagai wadah itu saling bersahutan, menciptakan irama sumbang yang menyakitkan telinga.
"Nak, jangan cuma melamun!" Ayah menoleh padaku, peluh di dahinya bercampur dengan tetesan air yang merembes dari plafon. "Ambilkan gelas plastik di rak, taruh di bawah lubang kecil yang baru muncul di dekat lampu. Cepat!"
Aku melangkah ragu, menghindari genangan air yang mulai menjalar seperti akar pohon di lantai. Saat aku meletakkan gelas itu, aku mendongak. Di atas sana, noda-noda cokelat di langit-langit rumah kami tampak seperti wajah raksasa yang sedang menangis. Setiap kali guntur menggelegar, aku merasa rumah ini sedang menggigil, sama sepertiku.
"Hujan kali ini lama ya, Bu?" tanyaku lirih, hampir berbisik.
Ibu tersenyum tipis sembari memeras kain pel yang sudah jenuh air. "Hujan cuma sedang ingin bertamu, Nak. Hanya saja, dia lupa cara mengetuk pintu dengan sopan."
Hujan tidak lagi sekadar mengetuk; ia mulai mendobrak. Angin kencang menghantam dinding rumah, membuat atap seng kami berderit-derit seperti gigi yang beradu karena kedinginan. Tiba-tiba, sebuah suara kretek yang panjang terdengar dari atas kepala kami—suara kayu yang menyerah pada beban air.
"Ayah! Plafonnya melengkung!" teriakku sembari menunjuk ke arah sudut ruang tamu.
Belum sempat Ayah melompat, suara BRAK! menggelegar mengalahkan bunyi petir. Sekeping plafon tripleks yang sudah membusuk itu jebol. Bukan lagi tetesan ting dan pluk yang terdengar, melainkan kucuran air deras yang menghantam lantai seperti air terjun mini yang cokelat dan kotor.
"Minggir!" Ayah menarik bahuku dengan kasar tepat sebelum serpihan kayu basah jatuh menimpa tempatku berdiri.
Ibu terpekik. Ember plastik biru yang tadi disiapkan langsung meluap dalam hitungan detik. Ruang tamu kami kini benar-benar banjir. Aku melihat buku tugasku yang tadi kukira aman di atas lemari, kini terkena percikan air kotor. Hatiku mencelos. Rasanya ingin sekali aku berteriak pada langit agar berhenti menyiksa rumah kecil ini.
"Yah, bagaimana ini? Semuanya basah..." suaraku bergetar, hampir menangis karena kelelahan dan rasa malu pada keadaan.
Ayah berdiri di tengah kucuran air itu, bajunya basah kuyup. Ia tidak marah, juga tidak mengumpat. Ia justru mengambil payung hitam satu-satunya yang kami punya, lalu membukanya di dalam ruangan. Ia berdiri di bawah kucuran air itu sambil memayungi mesin jahit Ibu.
"Ambil ember yang paling besar lagi, Nak!" perintah Ayah dengan suara tenang namun tegas. "Hujan boleh merusak atap kita, tapi jangan biarkan dia merusak semangat kita untuk makan besok."
Ibu mendekat, ikut memegangi gagang payung bersama Ayah. Di bawah payung yang terbuka di dalam rumah itu, di tengah suara gaduh air yang menghantam lantai, aku melihat sesuatu yang aneh. Mereka berdua justru saling melempar senyum kecil—sebuah senyum pahit namun penuh harga diri.
Dini hari tiba dengan sisa-sisa rintik yang mulai enggan menyentuh bumi. Suara orkestra darurat itu akhirnya mereda, menyisakan keheningan yang lembap dan aroma tanah yang pekat. Ayah terduduk di lantai semen yang basah, menyandarkan punggungnya pada dinding yang menyisakan jalur-jalur air. Ibu masih sibuk memeras kain pel, meski ia tahu lantai itu tidak akan benar-benar kering sampai matahari terbit nanti.
Aku mendekati ember-ember yang masih penuh. Di dalam sana, air hujan yang kotor perlahan tenang. Saat lampu bohlam kuning di ruang tamu bergoyang ditiup angin, cahayanya memantul di atas permukaan air dalam ember, menciptakan lingkaran-lingkaran cahaya yang cantik di dinding kusam kami.
"Lihat, Yah," bisikku sambil menunjuk pantulan itu. "Embernya jadi punya pelangi."
Ayah menoleh, lalu tersenyum tipis—sebuah senyum yang lebih hangat dari sinar matahari mana pun. Ia mengusap kepalaku dengan tangannya yang kasar dan dingin. "Kadang, kita memang harus menampung banyak kesedihan dulu sebelum bisa melihat cahaya sesedih itu jadi indah, Nak."
Besok, Ayah mungkin akan memanjat atap dengan lem sisa atau potongan seng bekas lagi. Besok, Ibu mungkin akan kembali menjahit lebih larut untuk mengganti biaya buku sekolahku yang basah. Namun malam ini, di tengah ruangan yang masih berbau hujan dan kayu lapuk, aku menyadari satu hal.
Rumah kami memang bocor di sana-sini, dan langit-langit kami mungkin tidak lagi utuh. Tapi selama kami masih punya cukup ember untuk menampung duka, dan cukup cinta untuk tetap saling menggenggam dalam kedinginan, kami tidak akan pernah benar-benar tenggelam.
Hujan telah usai, dan di dalam ember-ember itu, kami baru saja memenangkan pertarungan satu malam lagi.