Suasana senja hari di tepi sebuah pantai. Deburan ombak menyapu sepanjang hamparan pasir berwarna putih keabu-abuan. Terdengar suara-suara ramai orang yang sedang mengikuti acara larung sesaji.
Hari ini, tanggal sepuluh bulan Suro. Warga desa pesisir mengadakan acara larung sesaji untuk menunjukkan rasa syukur akan pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa yang melimpah setahun ke belakang. Selepas ashar mereka semua berkumpul di tepi pantai untuk melarungkan sesaji-sesaji yang telah mereka siapkan.
Di belakang sebuah batu karang, seorang gadis tengah menahan sakit luar biasa di bagian perutnya. Seorang diri, ternyata dia tengah berusaha melahirkan anaknya.
___
(Seorang gadis bernama Anyelir, mengejan di antara batuan karang di pinggir pantai.)
Anyelir : (Suara mengejan.) (Menekan perut bagian atas, dengan gerakan mengurut.)
OEEK OEEK OEEK (Terdengar suara khas bayi yang baru lahir)
Anyelir : Hah hah hah.... (Menarik dan menghembuskan nafas cepat) (Segera membungkus bayinya dengan kain jarik yang dibawanya) "Maaf, aku tidak bisa merawatmu. Kamu akan aku tinggalkan di sini. Semoga di antara mereka ada yang mendengar tangisanmu dan membawamu pulang." (Menciumi wajah bayi dalam gendongannya, kemudian meletakkannya di antara barisan sesaji di atas sebuah perahu yang akan dilarung dan meninggalkannya di sana)
Orang-orang itu pun melarungkan perahu-perahu ke tengah laut. Diiringi doa-doa untuk kesejahteraan bersama. Tanpa mereka tahu, ada sesosok bayi tak berdosa yang ikut hanyut bersama sesaji-sesaji itu.
___
Oekkk! Oekkk! Oekkk!
Seorang pria nelayan yang akan pulang setelah mengikuti acara di pantai itu mendengar suara tangisan bayi. Awalnya dia mengira itu suara penunggu di sana karena hari sudah gelap. Tetapi, setelah didengar-dengar lagi, dia yakin itu adalah suara bayi manusia. Segera dicarinya sumber suara tersebut.
Alangkah terkejutnya nelayan itu saat melihat seorang bayi di dalam perahu sesaji yang tadi telah dilarung. Dan perahu itu adalah miliknya bersama kelompok nelayan yang diketuai olehnya.
Nelayan : (Terkejut) "Bagaimana bisa kamu ada di dalam sini, Nak?!" (Segera menggendong bayi malang itu) "Siapa yang sudah tega meninggalkanmu di tempat seperti ini. Ayo ikut bapak pulang saja. Semua perahu tadi sudah dilarungkan. Tidak biasanya juga perahu-perahu yang sudah dilarung kembali ke pantai lagi. Pasti ini kehendak Gusti Pengeran. Karena sudah puluhan tahun aku belum dikarunia anak. Terima kasih, Gusti. (Menengadahkan kepala ke langit) Aku akan merawatmu, Nak seperti anakku sendiri. (Berjalan pulang ke rumahnya)
___
Nelayan itu sampai di rumahnya segera masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil istrinya.
Nelayan : (Bersemangat) "Mak... Mak... rene..." [Bu... Bu... kesini...]
Istri Nelayan : (Tergopoh-gopoh keluar dari pintu dapur) "Ono opo to, Pak?" [Ada apa sih, Pak?]
Nelayan : (Menunjukkan bayi dalam gendongannya) "Ikilo aku nemu bayi." [Ini lho aku menemukan bayi.]
Istri Nelayan : (Mengambil alih si bayi ke dalam gendongannya) "Oalah... siapa yang tega membuang anaknya begini. Mana cantik lagi. Kita rawat saja, ya, Pak."
Nelayan : "Iya, Mak. Mungkin ini titipan dari Gusti karena kita belum punya momongan. Ini adalah jawaban atas doa-doa kita selama ini. Kesabaran kita telah berbuah. Di antara sekian banyak orang, bapak yang menemukannya. Di antara sekian banyak perahu, perahu kita yang dipilih untuk meletakkan bayi ini. Semua sudah digariskan Yang Kuasa."
Istri Nelayan : (Menimang-nimang bayi sambil mendendangkan tembang Jawa)
Nelayan : "Kita akan menamainya Tantri. Karena menjadi senandung asa dalam kehampaan hidup kita yang selama ini tak mendengar suara anak-anak di rumah. Dia adalah dawai kecapi yang mengiringi masa tua kita nanti dengan syair kebahagiaan."
Pria nelayan memeluk sang istri dan bayi yang dinamainya Tantri.
___***___