"Jendela yang Terbuka"
Di lantai 15 apartemen mewah itu, Rina selalu menatap jendela setiap sore. Dia melihat mobil-mobil mewah lewat, orang-orang yang sibuk dengan kehidupannya, dan awan yang berubah warna dari oranye ke ungu. Hidupnya tampak sempurna: suami yang sukses sebagai arsitek, rumah yang besar, anak yang cerdas. Tapi di balik itu, ada kesedihan yang tak terucapkan.
Semenjak suaminya, Dimas, sibuk dengan proyek baru di luar kota, Rina merasa sendirian. Hanya di kantor, di mana dia bekerja sebagai redaktur majalah, dia merasa hidup. Dan di situ, dia bertemu Arif—penulis yang muda, ceria, dan selalu tahu cara membuatnya tertawa.
"Apa yang membuatmu sedih?" tanya Arif satu hari, ketika mereka mengakhiri rapat sore.
Rina mengangkat bahu. "Hidup itu kadang terasa seperti lukisan yang indah tapi hampa di dalamnya," jawabnya lemah.
Dari situ, semuanya berjalan cepat. Mereka mulai bertemu setelah kerja, berbicara tentang buku, musik, dan impian. Arif membuat Rina merasakan hal yang sudah lama hilang: perhatian, kehangatan, dan rasa hidup yang nyata. Tapi setiap kali mereka berpisah, rasa bersalah selalu menyertai Rina. Dia melihat foto keluarga di meja tidur, dan hatinya terasa menyakitkan.
Satu malam, Dimas tiba pulang lebih cepat dari jadwal. Dia melihat Rina sedang menulis pesan di ponsel, wajahnya bersinar.
"Siapa yang kamu chat?" tanyanya dengan nada yang tenang tapi tajam.
Rina kaget, ponselnya terjatuh. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Dimas membungkuk, mengambil ponselnya, dan membaca pesan dari Arif: "Besok sore, kita bertemu lagi ya? Rindu melihatmu."
Aku tidak akan menyembunyikannya, pikir Dimas. Dia melihat Rina yang menangis, dan hatinya terasa hancur. Tapi alih-alih marah, dia duduk di sampingnya, memegang tangannya.
"Kamu tidak bahagia denganku, ya?" tanyanya lemah.
Rina mengangguk, air mata mengalir deras. "Aku minta maaf... aku tidak berniat. Aku cuma merasa sendirian."
Dimas menghela napas. "Kita salah semua," katanya. "Aku terlalu sibuk, lupa bahwa kamu butuh perhatian. Dan kamu... memilih jalan yang salah untuk mengisi kekosongan itu."
Mereka berbicara seharian penuh. Rina menghubungi Arif, memberitahunya bahwa mereka tidak bisa bertemu lagi. Arif memahami, karena dia juga tahu bahwa selingkuh tidak pernah membawa kebahagiaan abadi—hanya kesedihan yang lebih dalam.
Beberapa bulan kemudian, Rina dan Dimas mulai membangun kembali kehidupannya. Mereka sering berjalan sore, berbicara tentang apa yang mereka rasakan, dan berjanji tidak akan pernah lagi melupakan satu sama lain. Jendela di apartemen itu masih terbuka setiap sore, tapi sekarang Rina melihatnya dengan hati yang tenang. Dia tahu bahwa kebahagiaan tidak datang dari yang lain, tapi dari cara kita merawat hubungan yang sudah ada.
Catatan: Cerpen ini tidak memuji selingkuh, melainkan menggambarkan konsekuensi dan kesalahpahaman yang bisa muncul dalam hubungan. Semoga bisa memberi pelajaran tentang pentingnya komunikasi dan kejujuran dalam cinta.