Aku bukan perempuan kuat,
aku hanya seseorang yang terus belajar
memeluk iman di tengah lelah
tanpa tahu apakah Allah mencatatku sebagai hamba yang sabar
atau hanya perempuan yang terlalu lama bertahan.
Namaku Hana.
Aku menikah di usia 25 tahun dengan lelaki bernama Ilham.
Ia tidak pandai merangkai kata, tidak pula sering mengutip ayat.
Tapi ia rajin shalat, suaranya tenang saat membaca Al-Qur’an,
dan itulah yang membuatku yakin:
aku ingin berjalan bersamanya, sejauh apa pun jalan itu.
Di tahun-tahun awal, hidup kami terasa cukup.
Bukan karena harta,
tapi karena kami saling mendengar.
Kami berbagi cerita di sela makan malam,
berdoa bersama saat masalah datang,
dan tertawa tanpa harus merasa bersalah.
Aku pikir, beginilah bentuk rumah tangga yang diridhai.
Namun setelah aku berhenti bekerja—
atas permintaannya—
segalanya berubah perlahan.
“Aku lelah bekerja seharian. Rumah seharusnya jadi tempat istirahat,”
katanya suatu sore,
saat aku menyodorkan teh yang sudah dingin.
Sejak hari itu, aku mulai menghitung napas sebelum bicara.
Belajar memilih kata agar tidak dianggap membantah.
Belajar menelan rasa sendiri agar suasana tetap tenang.
Aku hamil setahun kemudian.
Allah menitipkan amanah kecil di rahimku.
Aku menangis bahagia,
tapi juga takut—
takut tak lagi punya ruang untuk lelah.
Kehamilan membuatku mudah menangis.
Tubuhku sakit, pikiranku rapuh.
Tapi setiap keluh kesahku seperti dianggap kelemahan.
“Perempuan lain bisa. Masa kamu tidak?”
“Jangan manja. Ini kan sudah pilihanmu.”
“Jangan terlalu banyak mengeluh, nanti Allah murka.”
Aku diam.
Karena aku takut salah paham dengan konsep taat.
Takut kalau suaraku justru menjauhkan aku dari surga.
Anakku lahir.
Kami menamainya Naufal.
Tangis pertamanya membuatku merasa utuh,
sekaligus hilang.
Hari-hari menjadi lebih berat.
Kurang tidur.
Kurang dihargai.
Dan semakin jarang ditanya: “Kamu baik-baik saja?”
Aku sering duduk lama di sajadah,
bukan untuk meminta lebih,
hanya bertanya dalam doa:
“Ya Allah…
apakah sabar selalu harus diam?
Ataukah aku salah memahami-Mu?”
Jawabannya datang bukan lewat mimpi,
tapi lewat kalimat ibuku saat aku pulang sebentar,
wajahku pucat, mataku kosong.
“Kamu boleh lelah, Nak,” katanya sambil mengusap kepalaku.
“Allah tidak mencintai hambanya lewat penderitaan yang dipaksakan.”
Aku menangis lama malam itu.
Untuk pertama kalinya, aku jujur pada diriku sendiri.
Aku kembali ke rumah dengan keberanian yang tersisa.
Aku berbicara.
Pelan, gemetar, tapi jujur.
“Aku ingin didengar,” kataku.
“Aku istri, bukan tembok.”
Tidak ada teriakan.
Tidak ada makian.
Hanya keheningan panjang.
Beberapa bulan kemudian, kami sepakat berpisah.
Bukan karena benci,
tapi karena kami tak lagi tahu cara berjalan searah.
Saat aku menandatangani berkas itu,
tanganku gemetar,
tapi hatiku… tenang.
Kini aku hidup sederhana bersama Naufal.
Belajar menjadi ibu,
belajar menjadi hamba,
belajar bahwa iman tidak selalu berarti menahan.
Aku masih bukan perempuan salehah.
Masih sering ragu.
Masih takut salah.
Tapi aku tahu satu hal sekarang:
Allah tidak meminta kita hancur
demi terlihat taat.
Dan surga—
bukan untuk mereka yang paling lama memendam luka,
tapi untuk hati yang tetap jujur
pada iman
dan pada dirinya sendiri.
Dan aku…
masih berjalan ke sana.