Aku bukan perempuan salehah,
aku hanya hamba yang takut neraka
dan berharap pintu surga tidak tertutup rapat untukku.
Namaku Aisyah.
Di usia 27 tahun, aku menikah dengan lelaki yang kupikir akan menjadi teman sujudku. Namanya Fajar. Ia datang dengan ayat-ayat tentang tanggung jawab, dengan hadits-hadits tentang kepemimpinan. Aku jatuh cinta bukan pada wajahnya, tapi pada cara ia berbicara tentang Allah.
Di awal pernikahan, hidup kami sederhana tapi hangat. Kami shalat berjamaah di ruang sempit, berbagi nasi seadanya, dan tertawa tanpa alasan. Saat itu aku yakin, beginilah rasanya berjalan menuju surga bersama.
Tahun keempat pernikahan, Allah menitipkan seorang anak laki-laki pada kami. Kami menamainya Rayyan. Katanya, itu nama pintu surga. Aku menangis bahagia saat menggendongnya pertama kali, berharap kelak ia benar-benar membawaku mendekat pada surga.
Tapi ternyata, kehadiran Rayyan justru menjauhkan aku dari lelaki yang dulu kupanggil imam.
“Masakanmu asin. Anak jangan dijadikan alasan,” katanya suatu malam, saat aku belum sempat membersihkan rumah.
Aku hanya diam.
Tanganku gemetar menahan Rayyan yang demam. Kepalaku pening karena kurang tidur. Tapi aku tidak berani menjawab. Bukankah diam adalah cara terbaik agar tidak durhaka?
Hari-hari setelahnya berjalan berat. Aku belajar menelan kata-kata yang melukai, menahan tangis di sepertiga malam, dan tetap tersenyum di pagi hari. Aku percaya, mungkin ini ujian kesabaranku. Bukankah istri yang baik adalah yang taat?
“Kenapa rumah berantakan? Kamu di rumah seharian ngapain?”
“Perempuan akhir zaman memang banyak alasan.”
“Kamu mau masuk surga dengan cara apa?”
Kalimat itu menancap lebih dalam dari tamparan.
Aku mulai takut.
Takut pada suamiku.
Takut pada Allah.
Takut kalau ternyata aku memang perempuan yang pantas jadi penghuni neraka.
Suatu malam, saat Rayyan menangis tak henti-henti, aku terduduk di lantai kamar. Air mataku jatuh satu-satu ke sajadah.
“Ya Allah… aku tidak kuat. Kalau aku salah, perbaiki aku. Tapi kalau aku dizalimi, jangan Kau diam.”
Esoknya, aku pulang ke rumah orang tuaku. Tanpa koper. Tanpa rencana. Hanya membawa anakku dan sisa keberanian.
Ayah tidak banyak bicara. Ia hanya memelukku lama.
“Istri bukan budak, Nak. Dan surga tidak dibangun dari luka yang dipelihara.”
Dua minggu kemudian, pertemuan keluarga terjadi. Kata-kata berat kembali dilontarkan. Aku dibandingkan dengan perempuan-perempuan mulia dalam sejarah Islam, seolah aku gagal hanya karena aku manusia biasa.
Saat talak itu diucapkan, dadaku sesak. Tapi anehnya, tidak hancur. Seperti ada beban besar yang akhirnya diletakkan.
Aku berdiri, menatap lelaki yang dulu kupanggil imam.
“Aku tidak pernah ingin menjadi Khadijah,” kataku pelan.
“Aku hanya ingin menjadi istri yang diperlakukan seperti Rasul memperlakukan istrinya.”
Tidak ada yang menjawab.
Aku pun pergi.
Kini aku hidup sederhana bersama Rayyan. Aku belajar mencintai Allah tanpa rasa takut yang berlebihan. Aku belajar bahwa taat bukan berarti menghapus diri sendiri.
Aku masih bukan perempuan salehah.
Masih sering lalai.
Masih menangis dalam doa.
Tapi sekarang aku tahu satu hal:
Surga bukan hadiah untuk perempuan yang paling banyak diam,
tapi untuk mereka yang tetap bertahan pada iman
tanpa kehilangan harga diri.
Dan aku…
masih merindukan surga.