Aku memasuki dunia hiburan dengan satu janji pada diri sendiri: aku tidak akan menjadi korban lagi. Lampu-lampu studio menyilaukan, kamera berputar tanpa henti, dan senyum dipoles setebal mungkin. Di balik gemerlap itu, ada sejarah yang berusaha kukubur—sejarah tentang bagaimana namaku pernah dihapus dari poster, suaraku dipotong dari rekaman, dan wajahku diganti tanpa permisi. Dunia hiburan mengajariku satu hal lebih cepat dari apa pun: ketenaran bisa mengangkatmu, tapi kekuasaan bisa menghancurkanmu dengan senyap.
Antagonis dalam ceritaku bernama Arman Pratama. Ia bukan monster sejak awal. Dulu, ia adalah asisten produser yang cerdas, rajin, dan lapar pengakuan. Ia tumbuh dari keluarga sederhana, ayahnya buruh panggung yang meninggal tanpa pernah disebut namanya di kredit acara. Arman belajar bahwa untuk bertahan, ia harus licik. Ketika akhirnya ia berada di puncak, ia bersumpah tidak akan pernah diinjak seperti ayahnya—tanpa sadar ia justru menjadi penindas yang lebih kejam.
Aku pernah menjadi salah satu talenta pertama yang ia orbitkan. Ia memujiku, membentuk citraku, lalu menuntut lebih dari sekadar profesionalitas. Saat aku menolak, ia tersenyum dan berkata, “Ini hanya bisnis.” Sejak hari itu, namaku perlahan menghilang dari proyek. Tidak ada pemecatan, tidak ada konflik terbuka—hanya penghapusan sistematis. Aku jatuh tanpa pernah tahu kapan aku didorong.
Tahun-tahun berlalu sebelum aku kembali. Kali ini sebagai pemeran pendukung di sebuah serial musikal yang ramai dibicarakan. Aku tahu ini bukan peran besar, tapi ini pintu. Dan di pintu itu berdiri Damar Arya—aktor utama, idola jutaan orang, wajah yang terlalu sering muncul di papan iklan. Pertemuan kami pertama kali terjadi di ruang latihan. Ia datang lebih awal, memetik gitar sambil mengulang nada, terlihat lebih manusiawi tanpa sorotan. Aku menyapa, ia membalas dengan senyum yang tidak dibuat-buat. Dalam dunia yang penuh topeng, kejujuran kecil terasa seperti keajaiban.
Damar berbeda dari yang kubayangkan. Ia tidak sibuk menciptakan jarak. Ia bertanya namaku, benar-benar mendengar jawabanku, dan mengingatnya keesokan hari. Kami mulai sering berlatih bersama. Adegan duet membuat kami berjam-jam menata napas dan emosi. Ia perfeksionis, tapi hangat. Ketika aku gugup, ia tidak menggurui. “Kita ulang dari awal,” katanya, seolah kegagalan adalah bagian sah dari proses.
Arman juga ada di sana, berdiri seperti bayangan yang selalu tahu kapan harus muncul. Ia menepuk pundakku seolah kami tak pernah punya masa lalu. “Kita mulai dari nol,” katanya. Aku membalas dengan senyum profesional. Dalam hati, aku menyusun langkah. Balas dendam bukan berarti menghancurkan dengan amarah; bagiku, itu berarti membuka kebenaran seterang lampu panggung.
Sub-plot pertama datang dari Mira, manajer produksiku dulu yang kini menjadi asisten sutradara. Ia pernah mencoba melindungiku, tapi kalah oleh struktur. Kami bertemu diam-diam. Dari Mira, aku tahu pola Arman: kontrak abu-abu, tekanan halus, dan permainan narasi. “Ia tidak akan menjatuhkanmu langsung,” kata Mira, “ia membuatmu menjatuhkan diri sendiri.”
Hubunganku dengan Damar semakin dekat, bukan karena gosip, melainkan karena kesamaan prinsip. Ia juga punya luka: kontrak lama yang membungkam pilihannya, peran-peran aman yang menahan potensinya. Kami mulai pacaran pelan-pelan, tanpa pengumuman. Dunia hiburan tidak butuh kebenaran; ia butuh cerita. Kami memilih menyimpannya.
Konflik mengeras ketika Arman mengubah naskah di menit terakhir, memotong bagianku. Aku protes secara resmi. Ia menertawakan profesionalismeku. Damar melihatnya. Malam itu, di parkiran studio, ia bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku hampir mengatakan tidak, hampir menceritakan semuanya. Tapi aku menahan diri. Aku belum siap menyeretnya ke medan perangku.
Gosip datang lebih cepat dari keberanian. Foto Damar dan aku beredar—kami tertawa di kedai kopi. Media menyebutnya strategi promosi. Arman memanggil kami, memanfaatkan rumor untuk rating. Di hadapan tim, ia memuji “chemistry” kami. Di balik pintu, ia mengancam: patuhi arahan atau tersingkir. Aku menyadari: hubungan kami telah menjadi alat. Atau senjata.
Aku memilih yang kedua.
Sub-plot kedua muncul dari ayah Arman. Sebuah artikel lama kutemukan, tentang kecelakaan panggung yang ditutup-tutupi. Nama ayahnya tidak tercantum. Arman membangun karier di atas luka yang tidak pernah sembuh. Aku mengerti motifnya, tapi tidak membenarkan caranya. Pemahaman ini tidak melemahkanku; ia menguatkanku untuk bertindak dengan etika.
Aku mulai mengumpulkan bukti. Kontrak yang dilanggar, email yang dihapus, rekaman rapat yang memperlihatkan manipulasi. Dunia hiburan meninggalkan jejak, dan aku mengikutinya satu per satu. Mira membantuku mengarsipkan. Damar, tanpa aku minta, berdiri di sampingku. Ia menemukan sendiri ketidakadilan itu, dan ketika aku akhirnya bercerita, ia tidak menawarkan solusi instan. Ia berkata, “Kita lakukan dengan benar.” Kata ‘kita’ mengubah segalanya.
Pacaran kami bukan sekadar romansa; ia menjadi aliansi. Kami tetap bekerja, tetap tersenyum, tapi lebih waspada. Kami tahu kapan kamera hidup, kapan mikrofon merekam. Kami belajar memanfaatkan panggung tanpa mengkhianati diri sendiri. Cinta kami diuji oleh jadwal padat dan tekanan publik. Ada hari ketika aku ingin mundur, takut jika semua ini menghancurkan kariernya. Damar memegang tanganku dan berkata, “Jika kejujuran berisiko, aku memilih risiko.”
Arman mencium bahaya. Ia menyebarkan narasi baru: aku oportunis, Damar teralihkan. Tekanan datang dari sponsor. Kontrak terancam. Malam-malamku diisi kecemasan. Kami bertengkar—tentang batas, tentang prioritas. Tapi kami belajar berdamai dengan satu aturan: tidak berbohong satu sama lain.
Sub-plot ketiga melibatkan Lina, jurnalis hiburan yang lelah menulis clickbait. Ia ingin cerita yang utuh. Dengan tim hukum jaringan, kami menyusun kronologi yang rapi. Tidak ada bocoran liar, tidak ada fitnah. Hanya fakta.
Puncaknya datang saat acara penghargaan. Serial kami dinominasikan. Arman merencanakan pidato kemenangan yang akan menghapus peranku lagi. Kami menyiapkan langkah. Dengan persetujuan jaringan dan bukti lengkap, investigasi dimulai. Di malam yang sama, di karpet merah, Damar menggenggam tanganku, bukan sebagai properti, tapi sebagai pernyataan.
Ketika berita meledak, dunia terbelah. Ada yang meragukan, ada yang mendukung. Arman menyangkal, lalu diam. Kontraknya dibekukan. Aku berdiri di studio dengan perasaan campur aduk—lega, takut, dan bebas. Aku tidak merasa menang; aku merasa pulang.
Epilog datang pelan. Arman mengundurkan diri. Tidak ada sorak. Aku berharap ia menemukan cara menyembuhkan lukanya tanpa melukai orang lain. Pacaran kami tidak menjadi dongeng sempurna. Kami masih harus bekerja keras membangun ulang kepercayaan industri. Tapi kami punya sesuatu yang lebih kuat dari popularitas: pilihan untuk tidak tunduk.
Pada akhirnya, aku kembali ke panggung dengan namaku utuh. Damar duduk di barisan depan, bukan sebagai bintang, tapi sebagai partner. Dunia hiburan masih keras, namun aku melangkah dengan kepala tegak. Aku jatuh cinta, aku melawan, dan aku menang—bukan dengan menghancurkan orang lain, melainkan dengan menolak dihancurkan lagi.