Aku mengenal Raka sejak bangku SMA, saat kami sama-sama duduk di kelas paling belakang, bukan karena ingin nakal, tapi karena merasa dunia terlalu bising untuk dihadapi dari barisan depan. Ia pendiam, matanya selalu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak pernah ia ceritakan. Aku lebih banyak bicara, mungkin untuk menutupi kekosongan yang sama-sama kami bawa dari rumah masing-masing.
Kami menjadi teman bukan karena kesamaan mimpi, tapi karena kesamaan luka. Ayahku jarang pulang, ibunya Raka terlalu sering pergi. Di sela jam istirahat, kami berbagi cerita tentang hal-hal yang tidak pernah ditanyakan guru: rasa sepi, marah yang tak tahu arah, dan masa depan yang terasa seperti lorong panjang tanpa lampu.
Persahabatan kami tumbuh dari kebiasaan kecil. Pulang sekolah bersama, duduk di warung kopi murah, mengerjakan tugas yang sama-sama tidak kami pahami. Raka selalu ada ketika aku gagal, dan aku selalu hadir ketika ia memilih diam. Kami tidak banyak mengucapkan janji, karena kehadiran sudah cukup menjadi bukti.
Setelah lulus, hidup mulai berjalan dengan caranya sendiri. Aku diterima kuliah di kota, Raka memilih bekerja di bengkel kecil demi membantu ibunya. Jarak mulai menciptakan sunyi yang baru. Pesan dibalas lebih lambat, pertemuan makin jarang. Tapi setiap kali kami bertemu, rasanya seperti tidak ada waktu yang hilang. Aku percaya, persahabatan sejati tidak diukur dari seberapa sering bertemu, melainkan seberapa tulus tetap mengingat.
Konflik datang tanpa aba-aba. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, mengejar prestasi, relasi, dan pengakuan. Raka menghadapi hidup yang semakin berat, tapi tidak pernah benar-benar meminta tolong. Sampai suatu hari aku mendengar kabar bahwa ia berhenti bekerja dan jarang keluar rumah. Aku datang, bukan sebagai pahlawan, hanya sebagai teman lama yang merasa bersalah karena terlalu lama tidak bertanya.
Kami duduk berhadapan di teras rumahnya. Udara sore terasa berat. Untuk pertama kalinya, Raka bicara panjang. Tentang lelahnya merasa tertinggal, tentang rasa iri yang ia pendam diam-diam, tentang perasaannya menjadi beban bagi dunia. Aku mendengarkan dengan dada sesak, menyadari bahwa selama ini aku hadir, tapi tidak benar-benar melihat.
“Aku senang lihat kamu berhasil,” katanya pelan, “tapi kadang aku merasa sendirian di tempat yang tidak bergerak.”
Kata-kata itu bukan tuduhan, tapi cukup untuk melukaiku. Karena di situlah aku sadar, persahabatan juga bisa retak bukan karena pertengkaran, melainkan karena ketidakhadiran yang terlalu lama.
Kami tidak langsung berdamai. Ada jarak emosional yang harus kami lalui. Aku belajar menurunkan egoku, Raka belajar membuka diri. Persahabatan kami tidak kembali seperti dulu, tapi justru menjadi lebih jujur. Kami tidak lagi berpura-pura kuat, tidak lagi takut terlihat rapuh.
Waktu berjalan. Hidup tetap tidak adil. Tapi kami bertahan, bukan karena semuanya membaik, melainkan karena kami tidak lagi sendirian. Aku belajar bahwa persahabatan bukan tentang selalu berjalan berdampingan, tapi tentang kembali saat satu sama lain mulai tersesat.
Sekarang, setiap kali hidup terasa berat, aku tahu ada satu nama yang tidak perlu kupikirkan dua kali untuk kuhubungi. Dan aku harap, ketika aku jatuh, namaku juga akan tetap ada di kepalanya.
Karena persahabatan sejati bukan yang selalu tertawa bersama, melainkan yang tetap tinggal ketika tawa menghilang. Ia tidak menyelamatkan hidupmu, tapi membuatmu yakin bahwa hidup masih layak dijalani.