Sudah hampir setahun Miko dan Elen menjalin hubungan. Namun mereka selalu bertemu secara diam-diam. Karena masing-masing orang tua mereka tidak mengizinkan untuk anaknya mempunyai kekasih selain dari pilihan mereka.
Sedangkan kedua insan itu tak mau bila harus dijodohkan dengan lelaki dan gadis pilihan orang tua mereka. Mereka pun memutuskan untuk memberitahukan tentang hubungan mereka kepada orang tua masing-masing.
"Sayang, aku sudah tidak tahan lagi bila kita harus sembunyi-sembunyi seperti ini terus. Capek rasanya bila harus memendam rasa takut ketahuan setiap kita bertemu. Rasanya hati ini tak puas," ucap Miko disaat mereka duduk berdua di pondok tepi sawah tempat mereka biasa bertemu.
"Aku juga demikian, Mas. Tapi harus bagaimana lagi, orang tua kita ingin kita menikah dengan pilihan mereka. Apa kita terus terang saja pada mereka tentang hubungan ini?" tanya Elen.
"Jangan...." jawab Miko.
"Kenapa?" tanya Elen lagi.
"Mereka pasti akan berusaha memisahkan kita dengan cara apapun. Aku tidak mau kita berpisah. Aku ingin kita hidup bersama. Bagaimana kalau kita kawin lari saja?" seloroh Miko.
"Apa, Mas? Kaw-kawin lari?" pekik Elen sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Iya, kita kabur dari rumah dan menikah di kota lain yang jauh dari orang tua kita."
"Aku tak tega, Mas meninggalkan Ayah sendirian. Ayah sudah tua. Waktunya aku mengurus Beliau." Elen menundukkan kepalanya.
"Tapi ini jalan satu-satunya," kata Miko.
"Lagipula, apakah Mas juga tega meninggalkan Ibu Mas di sini sendiri?"
"Aku... tidak tega, Yang." Miko tertunduk.
"Karena itu, kita katakan saja yang sebenarnya. Mungkin dengan kesungguhan kita mereka akan mengerti dan merestui hubungan kita."
"Yach... mungkin kita harus mencobanya."
Ketakutan Miko pun menjadi kenyataan. Setelah tahu hubungan anak-anak mereka, orangtua mereka murka. Mereka memaksa Miko dan Elen untuk memutuskan hubungan mereka. Karena menolak, ibu Miko pun mendatangi ayah Elen.
"Pak Joyo, Saya telah mengetahui hubungan puteri Bapak dengan anak saya. Saya harap Bapak bisa membantu Saya untuk memisahkan mereka. Karena Saya sudah punya calon isteri untuk Miko."
"Saya juga demikian, Bu Retno. Kiranya kita punya niat yang sama. Saya pun akan mencari cara untuk bisa memisahkan mereka berdua."
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kedua orang itu memutuskan untuk mengirim anak-anaknya bekerja dan melanjutkan kuliah di luar kota. Pak Joyo mengirim Elen untuk kuliah di kota Pahlawan. Sedangkan Bu Retno mengirim Miko untuk bekerja di luar pulau di tempat pamannya bekerja.
Mereka berdua melepas kepergian masing-masing di tepi dermaga.
"Sayang, kita harus berpisah sementara waktu. Tapi kita akan bersama lagi nantinya setelah Aku kembali," ucap Miko.
"Iya, Mas. Aku pun akan pergi jauh sebentar. Aku pasti kembali untukmu," timpal Elen.
Miko meraih tubuh Elen dan mencium keningnya. Lambaian tangan mengiringi perpisahan keduanya.
***
Sudah setahun Elen kuliah di luar kota. Sudah tiba waktunya wisuda. Dia pun tak sabar untuk segera kembali ke kampung halamannya dan berjumpa dengan sang kekasih yang telah pulang lebih dahulu.
Namun penantian panjangnya menjadi sia-sia. Karena seminggu sebelum kepulangannya dia mendapat kabar dari saudaranya di kampung bahwa Miko telah bertunangan dengan gadis pilihan ibunya. Hatinya begitu hancur. Ingat dia akan janji mereka. Ia merasa dikhianati. Dia pun menunda kepulangannya karena ingin melupakan Miko.
Setelah beberapa bulan, dia memutuskan untuk menjalin hubungan lagi dengan pria lain. Dia tahu tak bisa mengharapkan Miko lagi. Sebentar lagi Miko akan menikah. Tak ada guna dia mempertahankan setia.
Ada seorang pemuda yang selama ini mengejar cintanya. Teman satu fakultasnya di kampus. Namun Elen tak menggubrisnya karena masih memegang janjinya pada Miko. Kali ini dia memutuskan untuk menerima cinta pemuda itu.
***
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Malam ini pemuda itu datang ke tempat kost Elen. Nampaknya dia merasakan akan mendapatkan cinta Elen.
"Eh, Sony... masuk, Son."
"Terima kasih. Kok di kamar aja? Nggak mau jalan-jalan menghirup udara segar dan melepas penat?" tanya Sony.
"Iya,nich. Lagi males jalan. Capek banget," jawab Elen.
"Wah, sayang banget. Padahal aku mau ngajak Kamu jalan-jalan, ini kan malam Minggu." Tampak sorot mata Sony memancarkan kekecewaan.
"Son, Aku mau tanya sama Kamu. Tolong Kamu jawab dengan jujur."
"Kamu mau tanya apa,sih? Kayaknya serius banget."
"Kenapa Kamu bersikeras untuk menjadikanku pacarmu?"
"Eh... itu...."
"Kenapa, Son? Jawab!"
"Itu... karena... karena...."
"Karena apa? Cinta pandangan pertama?!"
"Bukan!"
"Lalu?"
"Karena Aku merasa nyaman dan ada ketenangan batin saat melihatmu tersenyum padaku. Rasanya senyumanmu itu bisa kunikmati namun tak bisa kumiliki. Sehingga Aku akan terus berusaha memilikinya agar bisa selalu menikmatinya."
"Menikmatinya? Seperti ini?!" Tiba-tiba Elen meraih bahu Sony dan mengecup keningnya. "Eh, maaf."
"Elen... apakah ini artinya, Kamu menerima cintaku?"
"I, iya, Aku... mau jadi pacarmu."
"Kenapa?"
"Karena saat ini Aku sedang punya masalah. Dan saat Aku melihat matamu, rasanya masalahku hilang."
Malu-malu Sony meraih tubuh Elen dan menyandarkan kepala Elen di bahunya.
"Apa masalah Kamu? Mungkin Aku bisa bantu mencari solusi untuk mengatasinya."
"Kurasa Aku sudah tahu solusinya. Dengan memandangi bola matamu yang teduh itu, menguatkan hatiku."
"Bangga rasanya bisa menjadi jawaban untuk masalahmu."
"Masih mau mengajakku jalan-jalan?"
"Masih,dong."
"Kalau begitu, ayo...."
Mereka pun pergi ke sebuah dermaga.
Saat berada di dermaga menikmati percikan air asin yang membasahi kaki, sejenak Elen teringat pada Miko. Satu-persatu kenangan dan ingatan tentang hubungan mereka dulu memutari otaknya. Tiba pada memori saat mereka pertama kali berciuman di dermaga tua. Dan janji-janji pun mereka torehkan di keheningan malam. Sampailah pada kenangan pertemuan terakhir mereka di dermaga tua itu.
"Itulah saat terakhir Aku melihat cinta di matamu. Kini Aku melihat cinta itu terbang terbawa angin laut dan berlabuh di dermaga ini. Berpendar di mata seorang 'Sony'," batin Elen.
Disandarkannya kepalanya di bahu Sony. Dibalas dengan kecupan hangat Sony di keningnya. Ombak berdebur pelan. Mengiringi kuntum cinta yang mekar kembali.
***