Aku dulu percaya cinta adalah sesuatu yang datang untuk menyelamatkan. Aku tumbuh dengan keyakinan itu, seperti doa yang diwariskan tanpa pernah diuji. Aku mengira cinta akan menambal lubang-lubang dalam diriku, merapikan kekacauan, dan memberi alasan kenapa hidup harus tetap dijalani. Aku tidak tahu saat itu, bahwa cinta bukan obat, melainkan cermin ia tidak menyembuhkan, hanya memperlihatkan apa yang selama ini kita sembunyikan.
Aku bertemu dia pada masa ketika aku sedang pandai berpura-pura baik-baik saja. Aku tertawa di depan orang lain, bekerja seperti biasa, dan pulang dengan hati yang kosong. Ia datang tanpa janji, tanpa usaha berlebihan. Kami hanya sering bertukar cerita tentang hal-hal kecil: luka di masa lalu, kegagalan yang tidak pernah dibanggakan, dan mimpi yang masih takut disebut mimpi. Dari caranya mendengar, aku belajar bahwa cinta tidak selalu bicara, kadang ia hanya memberi ruang agar seseorang merasa aman menjadi dirinya sendiri.
Aku jatuh cinta bukan karena ia sempurna, tapi karena bersamanya aku tidak perlu menyembunyikan kekuranganku. Ia tahu aku lemah, tahu aku mudah ragu, dan tetap tinggal. Saat itu aku pikir itulah cinta: seseorang yang memilihmu meski tahu segala cacatmu. Aku tidak sadar bahwa cinta yang sejati bukan hanya tentang dipilih, tapi tentang saling bertumbuh tanpa saling mengerdilkan.
Hari-hari bersama dia berjalan pelan. Tidak selalu indah, tapi jujur. Kami bertengkar, lalu belajar meminta maaf. Kami kecewa, lalu belajar menerima. Dari situ aku mengerti, cinta bukan tentang tidak saling menyakiti, melainkan tentang tidak saling meninggalkan ketika luka muncul.
Namun perlahan, aku mulai takut. Takut kehilangan. Takut suatu hari ia lelah menghadapi diriku yang belum selesai. Ketakutan itu mengubah caraku mencintai. Aku mulai menggenggam terlalu erat, menuntut kehadiran, mempertanyakan diamnya. Aku lupa bahwa cinta yang lahir dari ketakutan hanya akan tumbuh menjadi beban. Aku mencintainya, tapi tanpa sadar aku juga ingin memilikinya.
Ia pernah berkata, dengan suara yang hampir berbisik, “Aku mencintaimu, tapi aku juga ingin tetap menjadi diriku sendiri.”
Kalimat itu sederhana, tapi menamparku pelan. Karena di situlah aku sadar, aku mencintai dengan ego yang belum sembuh.
Kami mencoba bertahan. Tapi cinta tidak selalu cukup jika dua orang tumbuh ke arah yang berbeda. Ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan, tidak bisa dipercepat, dan tidak bisa disatukan hanya dengan perasaan. Aku belajar satu hal paling pahit: tidak semua cinta ditakdirkan untuk menetap, sebagian hanya ditakdirkan untuk mengajar.
Perpisahan kami tidak meledak. Tidak ada teriakan, tidak ada kebencian. Hanya kelelahan yang jujur. Kami duduk berhadapan, saling menatap, dan menyadari bahwa mempertahankan kadang lebih menyakitkan daripada melepaskan. Saat ia pergi, aku tidak merasa kalah. Aku hanya merasa kosong—dan untuk pertama kalinya, aku mengizinkan diriku merasakan kehilangan sepenuhnya.
Butuh waktu lama bagiku untuk mengerti apa yang sebenarnya ia tinggalkan. Bukan dirinya, tapi pelajaran tentang mencintai. Aku belajar bahwa cinta bukan tentang berapa lama seseorang tinggal, melainkan seberapa dalam ia mengubah caramu melihat hidup. Ia mengajarkanku untuk mendengar, untuk tidak takut sendiri, dan untuk tidak menjadikan cinta sebagai pelarian dari luka pribadi.
Sekarang aku tahu, cinta bukan penyelamat. Ia tidak datang untuk memperbaiki hidupmu. Ia datang untuk berjalan bersamamu, dan jika harus berpisah, ia meninggalkanmu dengan versi diri yang lebih jujur. Cinta sejati tidak selalu berakhir dengan bersama, tapi selalu berakhir dengan pemahaman.
Jika suatu hari aku mencintai lagi, aku tidak akan mencari seseorang yang mengisi kekosonganku. Aku ingin seseorang yang berdiri utuh di sampingku, seperti aku berdiri utuh di sampingnya. Karena cinta yang matang bukan tentang saling membutuhkan untuk hidup, melainkan saling memilih meski mampu hidup sendiri.
Dan jika kau bertanya apa itu cinta, aku akan menjawab: cinta adalah keberanian untuk hadir, ketulusan untuk belajar, dan keikhlasan untuk merelakan. Karena pada akhirnya, cinta yang paling indah bukan yang kita miliki, melainkan yang membuat kita menjadi manusia yang lebih baik, bahkan setelah ia pergi.