Aku dulu mengira cinta adalah memiliki. Seperti menggenggam tangan agar tidak pergi, seperti mengunci pintu agar tetap tinggal. Aku belajar itu dari cara orang-orang di sekitarku mencintai: penuh janji, penuh tuntutan, dan sering kali penuh luka.
Aku bertemu dia pada waktu hidupku sedang biasa saja. Tidak ada hujan dramatis, tidak ada musik latar. Ia hanya duduk di bangku taman, membaca buku dengan halaman yang sudah menguning. Kami berbincang tentang hal-hal kecil—tentang kopi yang terlalu pahit, tentang hari yang terasa panjang, tentang mimpi yang belum berani diucapkan. Dari situlah aku belajar satu hal pertama tentang cinta: cinta tidak selalu datang dengan gemuruh, kadang ia hadir dengan ketenangan.
Kami berjalan bersama, tapi tidak saling mendahului. Ia tidak memaksaku menjadi versi diriku yang lain, dan aku tidak menuntutnya berubah agar sesuai dengan bayanganku. Saat aku lelah, ia tidak bertanya kenapa aku lambat, ia hanya menyesuaikan langkah. Dari situ aku mengerti, cinta bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang mau tetap berjalan ketika langkah mulai tertatih.
Suatu hari aku bertanya padanya, “Apa itu cinta menurutmu?”
Ia tersenyum, lalu berkata, “Cinta itu ketika kau bisa pergi, tapi memilih tinggal. Dan ketika kau ingin tinggal, tapi rela membiarkan pergi.”
Jawaban itu tinggal lama di kepalaku.
Kami tidak selalu bahagia. Ada hari-hari ketika kata-kata salah memilih jalan dan diam menjadi senjata. Tapi kami belajar untuk kembali bicara, bukan untuk menang, melainkan untuk saling memahami. Karena cinta yang dewasa bukan yang tak pernah bertengkar, melainkan yang tak lelah berdamai.
Aku pernah takut kehilangan. Takut jika suatu hari ia berhenti memilihku. Tapi perlahan aku sadar, cinta yang lahir dari ketakutan hanya akan tumbuh menjadi penjara. Maka aku belajar melepaskan genggaman, bukan untuk menjauh, tapi agar kami bisa bernapas sebagai diri sendiri.
Pada akhirnya, kami memang berpisah. Tidak dengan amarah, tidak dengan dendam. Hanya dengan doa dan saling mengucapkan terima kasih. Ia pergi membawa kenangan baik, dan aku tinggal membawa pelajaran yang tidak akan pernah hilang.
Sekarang aku tahu, cinta bukan tentang berapa lama seseorang tinggal, tapi tentang apa yang ia tinggalkan di dalam dirimu. Cinta yang sejati tidak selalu bertahan dalam wujud orang, tapi selalu hidup dalam cara kita menjadi manusia yang lebih baik.
Dan jika suatu hari aku mencintai lagi, aku tidak akan mencari seseorang yang sempurna. Aku hanya ingin seseorang yang mengerti bahwa cinta bukan tentang saling memiliki, melainkan saling menjaga, bahkan ketika akhirnya harus merelakan.