Di sebuah peternakan yang luas dan hijau, hiduplah berbagai hewan di bawah kepemimpinan seorang pemilik tua yang jarang terlihat. Ia keras, pelit, dan hanya datang saat panen atau saat ingin memastikan tak ada yang berani melawan. Para hewan bekerja tanpa henti, makan sekadarnya, dan tidur dengan lelah yang tak pernah benar-benar hilang. Namun, mereka masih mengenal satu hal: aturan yang jelas. Siapa memberi makan, siapa bertanggung jawab, siapa yang disalahkan.
Suatu malam, ketika pemilik itu pergi lebih lama dari biasanya, para hewan berkumpul. Dipimpin oleh babi-babi yang paling pandai berbicara, mereka sepakat bahwa penderitaan ini harus diakhiri. “Kita yang bekerja, kita yang menghasilkan,” kata para babi. “Mengapa kita tunduk pada manusia yang bahkan tidak mengerti keringat kita?” Kata-kata itu menyebar cepat, dari kandang sapi ke kandang kambing, dari ayam ke kuda. Amarah bercampur harapan. Mereka membayangkan padang rumput tanpa cambukan, lumbung penuh untuk semua, dan kehidupan yang adil.
Pagi berikutnya, dengan teriakan dan kekacauan, pemilik peternakan diusir. Pagar dibuka, rumah utama dikosongkan. Para hewan bersorak. Mereka menyebut hari itu sebagai hari kebebasan. Dinding kandang dicat dengan janji-janji baru: semua hewan setara, semua bekerja untuk kesejahteraan bersama.
Pada awalnya, segalanya terasa berbeda. Tidak ada teriakan manusia, tidak ada sepatu bot yang menginjak lumpur. Para babi mengambil alih pengaturan, katanya hanya sementara, sampai semua tertib. Mereka menyusun jadwal kerja, membagi jatah makanan, dan berjanji akan mendengarkan semua suara. Hewan-hewan lain percaya, karena siapa lagi yang bisa dipercaya jika bukan sesama yang pernah menderita bersama?
Namun perlahan, perubahan kecil mulai terasa. Babi-babi tidur di rumah utama, alasannya agar bisa berpikir lebih baik. Jatah makanan mereka sedikit lebih banyak, katanya karena mereka bekerja dengan otak. Aturan di dinding mulai berubah kalimatnya, satu kata diganti, satu baris ditambahkan, selalu pada malam hari ketika yang lain tertidur.
Kuda tetap bekerja paling keras, menarik beban lebih berat dari sebelumnya karena kini tidak ada manusia yang disalahkan jika target tidak tercapai. Ayam diminta bertelur lebih banyak demi persediaan bersama, tapi telur-telur itu tak pernah kembali ke kandang mereka. Kambing dan domba diminta mengulang slogan-slogan tentang persatuan, sampai mereka lupa bertanya ke mana hasil kerja mereka pergi.
Ketika ada hewan yang berani bertanya, babi-babi berkata ini semua demi stabilitas. “Pengorbanan kecil,” kata mereka, “untuk masa depan yang besar.” Jika ada yang terlalu keras bersuara, ia dituduh ingin mengembalikan manusia. Ketakutan menjadi senjata baru. Tidak ada cambukan, tapi ada ancaman. Tidak ada rantai, tapi ada rasa takut kehilangan jatah.
Musim berganti, dan kehidupan para hewan tidak menjadi lebih baik. Mereka bekerja lebih lama, makan lebih sedikit, dan semakin jarang berkumpul. Rumah utama semakin megah, sementara kandang-kandang mulai rusak. Para babi kini berjalan tegak, berbicara dengan bahasa yang sulit dimengerti, dan tidak lagi mengingat hari-hari lihat mereka tidur di lumpur bersama.
Suatu sore, para hewan berkumpul diam-diam di padang. Tidak ada sorak seperti dulu, hanya kelelahan. Mereka saling menatap dan menyadari sesuatu yang pahit: pemilik memang sudah pergi, tetapi penderitaan tidak ikut diusir. Kekuasaan hanya berpindah tangan, dari satu yang jauh menjadi yang dekat, dari yang asing menjadi yang mengaku sama.
Malam itu, salah satu kuda menatap rumah utama dan bertanya dalam hati apakah ini yang dulu mereka perjuangkan. Tidak ada yang menjawab. Angin membawa bau makanan dari dalam rumah, sementara di kandang, perut-perut kosong kembali mencoba tidur.
Dan di peternakan itu, para hewan akhirnya mengerti bahwa menggulingkan penguasa tidak selalu berarti membebaskan diri, terutama jika yang menggantikan lupa mengapa mereka dulu melawan.