Aku adalah anak yang tumbuh di rumah dengan atap bocor dan suara yang selalu dipotong sebelum selesai. Bapakku menyebut rumah ini kokoh, warisan dari kerja kerasnya sendiri, sementara aku setiap malam menghitung tetesan air yang jatuh ke lantai kamar dan bertanya berapa lama lagi sebelum langit-langit itu benar-benar runtuh.
Sejak kecil aku diajari satu hal: jangan membantah. Bapak selalu bilang, urusan rumah adalah tanggung jawabnya, dan tugasku hanya patuh. Tapi patuh tidak pernah membuat air berhenti mengalir dari dinding, tidak pernah membuat listrik kembali menyala lebih cepat, tidak pernah membuat adikku sembuh ketika demamnya terlalu lama dianggap sepele.
Aku mencoba bicara pelan-pelan. Aku bilang pipa itu sudah tua, jalan di depan rumah berlubang, tetangga mulai pergi satu per satu karena tak sanggup hidup dalam ketidakpastian. Bapak hanya mengangguk tanpa menoleh, matanya sibuk pada berkas-berkas yang katanya lebih penting daripada keluhanku. Katanya aku terlalu banyak merasa dan terlalu sedikit berpikir. Katanya rumah tidak bisa diatur oleh anak yang hanya tahu mengeluh.
Lama-lama aku belajar bahwa bicara langsung hanya akan berakhir dengan pintu yang dibanting. Jadi aku menulis. Aku menggambar. Aku menyimpan semuanya di laci, lalu memberanikan diri meletakkannya di meja makan, berharap suatu pagi Bapak membaca dan mengerti. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Bapak marah. Katanya aku membuka aib keluarga, katanya aku membuat rumah ini terlihat buruk di mata orang luar, seolah-olah keretakan ini baru ada sejak aku menunjuknya.
Setiap kali hujan datang, aku berdiri paling depan menampung air dengan ember. Bapak duduk di kursinya dan menyuruhku tenang, bilang semuanya masih terkendali. Aku ingin tertawa mendengar kata itu, karena bagiku terkendali hanya berarti menunggu runtuh dengan tertib. Suatu malam, ketika air merembes ke ruang tamu dan membasahi karpet kebanggaan Bapak, aku kehilangan kesabaran. Aku bilang rumah ini sakit. Aku bilang kita harus memperbaikinya sekarang. Tamparan itu datang cepat, tidak terlalu keras, tapi cukup untuk mengajariku bahwa kejujuran di rumah ini dianggap penghinaan.
Sejak saat itu aku mengerti, menjadi anak di rumah ini berarti selalu salah. Salah karena peduli, salah karena bertanya, salah karena ingin memperbaiki. Bapak lebih memilih diam yang rapi daripada suara yang berantakan, lebih memilih dinding yang tampak utuh daripada kehidupan di dalamnya yang pelan-pelan mati.
Ketika adikku jatuh sakit dan Bapak berkata nanti, aku tahu kata itu bukan janji, melainkan penundaan tanpa batas. Aku menggendong adikku keluar rumah, dibantu tetangga yang bahkan tidak sedarah denganku, dan saat itu aku sadar betapa asingnya aku di rumah sendiri. Bapak tetap duduk di kursinya, menjaga wibawa, seolah kehilangan satu suara tidak akan membuat rumah ini lebih sepi.
Sekarang aku masih tinggal di sini, tapi tidak lagi sebagai anak yang berharap didengar. Aku tinggal sebagai saksi. Aku melihat bagaimana rumah ini berdiri karena kebiasaan, bukan karena kepedulian. Aku tahu suatu hari atap ini akan runtuh, dan ketika itu terjadi, Bapak mungkin akan bertanya kenapa tidak ada yang mengingatkannya lebih awal.
Jika hari itu datang, aku ingin ia tahu satu hal: aku sudah bicara. Berkali-kali. Dengan suara paling jujur yang kupunya. Tapi di rumah ini, seperti di banyak rumah lain, suara anak hanya dianggap gangguan, bukan peringatan.
Dan mungkin itulah tragedi terbesar sebuah keluarga, ketika orang yang paling keras berbicara justru yang paling sedikit mendengar.