Hari-hari setelah itu berjalan seperti biasa, tapi perasaanku tidak lagi sama. Aku masih melakukan rutinitas yang sama—datang pagi, duduk di bangku yang sama, membuka buku yang sama—namun kini semua terasa memiliki makna berbeda. Setiap gerakannya selalu berhasil mencuri perhatianku, meski aku berusaha terlihat acuh.
Aku mulai memahami bahwa jarak ini bukan sesuatu yang tercipta dengan sendirinya.
Aku yang memilihnya. Aku yang menahan langkah setiap kali ada kesempatan untuk mendekat. Bukan karena aku tidak ingin mengenalnya lebih jauh, tapi karena aku takut perasaan ini berubah menjadi harapan yang terlalu tinggi.
Setiap kali mata kami hampir bertemu, aku selalu menjadi orang pertama yang mengalihkan pandangan. Aku takut ia membaca sesuatu di mataku—sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi. Aku ingin perasaanku tetap sederhana, tidak rumit, tidak menuntut apa pun.
Suatu pagi, ia duduk di kursi yang tidak terlalu jauh dariku. Aku bisa mendengar suaranya dengan jelas, suaranya yang tenang saat menjawab pertanyaan guru. Entah mengapa, hanya mendengarnya berbicara saja sudah cukup membuat hatiku berdebar pelan. Aku menunduk, berpura-pura menulis, padahal satu pun kata tidak benar-benar masuk ke pikiranku.
Aku bertanya dalam hati, “Apakah aku pengecut?”
Mungkin iya. Tapi aku juga tahu, aku hanya sedang melindungi diriku sendiri.
Aku sering melihatnya dikelilingi orang-orang yang tampak begitu mudah tertawa bersamanya. Mereka terlihat akrab, nyaman, seolah tidak ada jarak di antara mereka. Di saat seperti itu, aku merasa kecil. Aku hanya seorang pengamat yang berdiri di balik keramaian, memendam rasa yang tidak pernah diminta untuk diperhatikan.
Namun anehnya, aku tidak pernah membencinya karena itu. Justru aku belajar untuk ikhlas. Melihatnya bahagia, meski bukan karena aku, tetap memberiku ketenangan tersendiri. Aku mulai mengerti bahwa rasa suka tidak selalu harus berakhir dengan memiliki.
Suatu hari, ia melewatiku di koridor. Jarak kami sangat dekat, dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Aku hampir menyapanya. Kata “hai” sudah nyaris keluar dari bibirku, tapi lagi-lagi aku menahannya. Aku hanya tersenyum kecil, dan ia membalasnya—singkat, tapi cukup untuk membuat jantungku berdetak lebih cepat.
Sepanjang hari itu, senyum kecil itu terus terlintas di kepalaku. Aku tersenyum sendiri, lalu menertawakan diriku yang terlalu mudah bahagia hanya karena hal sederhana.
Sore hari, aku berjalan pulang dengan langkah pelan. Langit berwarna jingga, angin berhembus lembut. Aku berhenti sejenak, memandang langit, lalu menarik napas panjang. Aku sadar, perasaan ini mungkin tidak akan pernah berubah menjadi cerita bersama. Tapi bukan berarti ia sia-sia.
Mungkin jarak ini akan selalu ada.
Mungkin aku akan terus mengaguminya tanpa pernah benar-benar memilikinya.
Dan untuk saat ini, aku memilih tetap di sini—menjaga rasa ini agar tetap tenang, agar tidak melukai siapa pun, terutama diriku sendiri.