Hari itu hujan turun deras, membuat jalanan Medan macet parah. Aku duduk di dalam mobil, menatap jam yang terus berjalan—sudah dua jam terjebak, dan janji makan malam dengan Ayah hanya tersisa sepuluh menit lagi. Tangan ku menggeletuk-geletuk setir, jengkel.
Tiba-tiba, notifikasi hp berdering. "Hai, kamu masih macet ya? Aku lihat dari jendela kantorku, mobilmu terjebak di depan gedung ini loh." Pesan dari Rafi, rekan kerja yang baru bergabung dua bulan lalu. Aku melihat ke atas, dan benar—dia berdiri di balkon lantai tiga, melambai dengan senyum manis.
"Ya, parah banget. Janji sama Ayah bakal ketinggalan," balasku.
"Nah, ada ide. Kantorku ada makanan sisa dari rapat sore—nasi goreng spesial, loh. Kamu mau aku turun bawa ke mobilmu? Biar kamu nggak kelaparan nunggu macet beres."
Aku terkejut. Rafi memang selalu ramah, tapi ini terlalu perhatian. Aku sudah punya pacar, Dika, yang sayang banget padaku. Tapi di tengah kecemasan dan kelaparan, usulnya terasa begitu menggoda. "Gimana ya... aku khawatir nggak sempat ke rumah Ayah kalo nunggu kamu turun."
"Tenang, cuma lima menit. Aku udah pegang makanannya nih," jawabnya, dan foto nasi goreng yang beraroma menggoda muncul di layar hp.
Aku hembus nafas dalam. Hati ku bergoyang—rasa terhormat karena dia peduli, tapi juga rasa bersalah karena tahu ini bukan sesuatu yang seharusnya aku terima dari laki-laki lain selain Dika. Akhirnya, aku menekan tombol balas: "Makasi ya, Rafi, tapi gak usah deh. Aku coba cepet lewati macet biar bisa sampe rumah Ayah. Terima kasih udah mau bantu!"
Beberapa menit kemudian, macet mulai melonggar. Aku menuju rumah Ayah dengan hati yang lega. Pas tiba, Ayah menyambut dengan senyum: "Kamu telat, tapi aku udah panaskan makanannya. Ada apa ya, rambutmu basah?"
"Ada aja, Pa. Tapi untungnya aku bisa nyampe," kataku, sambil memikirkan betapa pentingnya memegang teguh prinsip, meskipun godaan datang secara tiba-tiba dan terasa menggiurkan.