Ibu Ku, Istriku
Di pagi yang cerah itu, aku melihatnya dari balik meja makan — rambutnya sedikit kusut karena sibuk mengurus anak, tangannya yang selalu sibuk menyajikan sarapan, dan senyumnya yang sama persis dengan senyum ibu yang dulu menemaniku tidur.
"Aku mau nasi hangat, Bu!" panggil Rafi, anak kita yang lima tahun.
"Akan aku panaskan ya, sayang," jawabnya sambil menyapu lantai, tanpa lelah.
Aku tersenyum. Dia, Siti, istriku yang ceria dan penuh kasih. Tapi kadang, ketika dia menutupi kepala Rafi dengan selimut saat hujan, atau ketika dia memasak sup jahe yang sama rasanya dengan sup yang ibu buat dulu, aku merasa seolah-olah dua sosok yang kubenciangkan bersatu jadi satu.
Tahun lalu, ketika ibu aku sakit parah, dia yang tinggal di rumah selama seminggu untuk merawatnya. Dia tidur tidur sembarangan, membelikan obat, dan bahkan berbicara dengan ibu sepanjang malam tentang cerita masa muda. "Kamu beruntung punya anak yang baik hati," katakan ibu padaku saat sedang pulih. "Dia bukan cuma istrimu, tapi juga seperti anak perempuan yang kubutuhkan."
Hari itu, setelah Rafi pulang sekolah, dia mengajak anak kita membuat kue untuk ulang tahun ibu yang akan datang. "Bu, kenapa kita bikin kue coklat?" tanya Rafi.
"Karena itu kue favorit Nenek loh, sayang. Nenek suka yang manis dan lembut, sama kayak kamu," jawabnya sambil menambahkan gula.
Aku berdiri di pintu dapur, melihat dua orang tersenyum riang sambil mengocok adonan. Di sana, aku melihat bukan cuma istriku yang merawat keluarga, tapi juga sosok yang melanjutkan kasih sayang ibu aku — seolah-olah ibu hidup kembali dalam dirinya.
Malam itu, dia mendekatiku sambil membawa segelas teh. "Kamu pusing ya? Sudah lama ngeliat komputer," katanya dengan nada perhatian.
Aku menggenggam tangannya. "Tidak, cuma teringat ibu. Dia pasti bangga punya cucu yang lucu dan istri yang sempurna seperti kamu."
Dia meredam wajahnya di bahuku. "Aku cuma mau membuatmu bahagia, dan merawat orang yang kamu cintai. Seperti yang ibu lakukan padamu dulu."
Di malam yang sunyi itu, aku menyadari bahwa takdir telah memberikanku hadiah terindah: seorang wanita yang menjadi istri yang mencintai dan ibu yang penuh kasih — dua peran yang sempurna dalam satu jiwa.