Arkan mencintai Tita dengan cara yang tidak terburu-buru.
Bukan karena ia tak berani, tapi karena Tita datang dengan hati yang belum sepenuhnya pulih.
Ada nama Gibran di masa lalu Tita—
nama yang membuatnya sulit percaya,
sulit tersenyum tanpa ragu,
dan sering terdiam di tengah obrolan.
Arkan tahu itu.
Dan ia memilih bertahan.
Ia menemani tanpa bertanya kapan Tita akan sembuh.
Menguatkan tanpa menuntut balasan.
Menjadi tempat pulang, bahkan ketika Tita masih sering menyebut orang lain dalam ceritanya.
Apa pun yang Tita butuhkan, Arkan ada.
Saat Tita ingin bicara, Arkan mendengar.
Saat Tita ingin diam, Arkan menemani.
Ia menunggu—dengan sabar yang tidak semua orang punya.
Sampai suatu hari, Arkan merasa Tita benar-benar sudah berdiri di kakinya sendiri.
Tak lagi membandingkan.
Tak lagi terluka saat mengingat masa lalu.
Hari itu, Arkan menyatakan cinta.
Dan Tita menerimanya.
Mereka pacaran.
Tiga bulan.
Tidak ada perubahan dari Arkan.
Ia tetap sama—setia, hadir, dan penuh perhatian.
Tak ada pertengkaran besar.
Tak ada drama yang melelahkan.
Sampai suatu sore, Tita meminta bertemu.
Kalimat itu keluar begitu saja, ringan seolah tak sedang mematahkan seseorang.
“Sorry, Arkan. Tapi gue udah nggak cinta sama lo. Perasaan nggak bisa dipaksa. Gue suka sama orang lain.”
Dunia Arkan runtuh tanpa suara.
Tak ada teriakan.
Tak ada tangisan berlebihan.
Hanya dada yang terasa kosong,
dan hati yang seolah ditinggalkan tanpa penjelasan yang cukup.
Tak lama setelah itu, Tita benar-benar jadian dengan orang lain.
Dan Arkan belajar satu hal pahit:
kadang, menjadi baik saja tidak cukup untuk dipilih.
Melupakan Tita bukan hal yang mudah.
Maka Arkan memilih pergi sejauh mungkin—
ke China.
Ia pindah pekerjaan,
mengganti bahasa,
mengganti rutinitas,
berharap jarak bisa menipiskan kenangan.
Hari demi hari berlalu.
Bulan berganti.
Arkan belajar tertawa lagi.
Belajar sibuk.
Belajar hidup.
Namun cinta itu seperti galon air—
tak pernah benar-benar habis,
hanya terus diisi ulang oleh ingatan.
Tiga tahun Arkan hidup di negeri asing.
Dengan kota baru,
teman baru,
dan mimpi yang perlahan tersusun.
Tapi setiap malam tertentu,
nama Tita masih datang tanpa diundang.
Pacaran mereka hanya tiga bulan.
Namun rasa yang tertinggal,
ternyata tinggal selama tiga tahun—
dan entah sampai kapan lagi.
Arkan akhirnya mengerti,
bahwa ada cinta yang singkat ceritanya,
tapi panjang masa tinggalnya di hati.