Pada abad pertengahan, di sebuah kota batu yang dikelilingi tembok tinggi dan lonceng gereja, hiduplah tiga kucing liar dengan warna yang berbeda: hitam, putih, dan oranye.
Kucing hitam bernama Noir, bulunya gelap seperti lorong-lorong sempit di belakang biara. Para pendeta berbisik setiap kali ia melintas, menyebutnya jelmaan pertanda buruk. Noir terbiasa hidup dalam bayang-bayang, tidur di bawah gerobak kayu dan atap bengkel pandai besi. Ia cerdas dan waspada, menghindari manusia seolah dunia selalu siap menghakiminya.
Kucing putih bernama Alba, bulunya pucat seperti kain kafan yang dijemur di halaman rumah sakit kota. Ia sering berada di dekat dapur biara, menunggu sisa roti keras dan sup encer. Alba tak pernah melawan, hanya duduk diam dengan mata penuh harap. Ia tahu belas kasih manusia tipis, namun tetap percaya pada kemurahan kecil.
Kucing oranye bernama Rufus, hidup di pasar. Ia mencuri potongan daging dari meja tukang jagal dan berlari di antara kaki para pedagang. Rufus keras kepala, berisik, dan penuh bekas luka. Dunia baginya adalah medan perang kecil yang harus dimenangkan setiap hari.
Mereka jarang saling memperhatikan, sampai suatu musim dingin datang lebih awal. Salju menutup jalan, pasar sepi, dan dapur biara menutup pintu. Bau asap dan besi dingin memenuhi udara.
Pada malam ketika lonceng gereja berdentang panjang karena kematian seorang bangsawan, ketiganya berlindung di reruntuhan menara pengawas tua di luar tembok kota. Angin menjerit di celah batu, membawa dingin yang menggigit tulang.
Noir berdiri waspada. Alba meringkuk gemetar. Rufus berhenti berlari.
Tanpa kata, mereka mendekat. Tiga warna, tiga jalan hidup, saling menempel untuk bertahan dari malam yang kejam. Di saat manusia sibuk berdoa dan menuduh takdir, tiga kucing itu menemukan kehangatan dalam kebersamaan.
Fajar datang pucat. Salju mulai mencair. Kota batu kembali bernapas.
Sejak saat itu, orang-orang sering melihat tiga kucing berjalan bersama di sepanjang tembok kota. Hitam yang tak lagi sepenuhnya ditakuti, putih yang tak lagi sendirian, dan oranye yang akhirnya punya tempat pulang.
Di abad yang keras dan penuh prasangka, mereka membuktikan satu hal sederhana:
bahkan di zaman gelap, kehidupan kecil pun bisa saling menyelamatkan.