Di kota kecil yang berdiri di antara bukit dan sungai, nenek itu tinggal di rumah batu berlantai kayu yang selalu berderit saat malam turun. Orang-orang memanggilnya Grandmère Elise, meski tak semua memiliki hubungan darah dengannya. Ia duduk dekat jendela setiap sore, merajut tanpa tergesa, sementara cahaya senja menempel di benang-benang wol seperti debu emas.
Tak ada yang tahu pasti untuk siapa rajutan itu dibuat.
Benang-benangnya berasal dari warna-warna musim: abu-abu kabut, biru sungai, cokelat tanah basah, putih salju yang hampir mencair. Setiap helai ditarik dengan sabar, seolah waktu sendiri mengikuti gerakan tangannya yang telah berkerut.
Di kota itu, orang terbiasa kehilangan. Anak-anak tumbuh lalu pergi. Para lelaki berangkat ke perang dan kembali dengan tubuh yang tak lagi utuh, atau tak kembali sama sekali. Musim dingin selalu lebih panjang dari yang dijanjikan.
Namun setiap kali seseorang kehilangan sesuatu, nenek itu tetap merajut.
Saat seorang janda muda kehilangan suaminya, ia menemukan selendang wol tergantung di gagang pintu—hangat, berat, dan berbau kayu bakar. Saat seorang anak sakit dan tak bisa keluar rumah, sepasang sarung tangan kecil muncul di ambang jendela. Tak ada kartu, tak ada nama.
Orang-orang mulai percaya bahwa rajutan nenek itu menyimpan sesuatu lebih dari sekadar kehangatan.
Mereka berkata: setiap tusuk adalah doa. Setiap simpul adalah ingatan. Setiap rajutan menyimpan nama seseorang yang pernah dicintai lalu ditinggalkan.
Nenek Elise tak pernah membenarkan, tak pula menyangkal. Jika ditanya, ia hanya tersenyum kecil dan berkata,
“Benang tidak suka dibicarakan. Ia ingin disentuh.”
Suatu musim dingin, ketika sungai membeku dan lonceng gereja berdentang lebih sering dari biasanya, nenek itu tak lagi terlihat di jendelanya. Rumah batu itu sunyi. Tungku padam.
Orang-orang masuk dengan hati-hati. Mereka menemukan kursinya kosong, rajutan terakhir terjatuh ke lantai. Benangnya terputus di tengah tusuk.
Namun anehnya, rajutan itu tak pernah selesai—dan tak pernah benar-benar berhenti.
Pada musim-musim berikutnya, selendang, kaus kaki, dan sarung tangan masih muncul di rumah-rumah yang berduka. Warnanya sama. Hangatnya sama. Seolah tangan tua itu masih bekerja, hanya tak lagi terlihat.
Dan kota itu belajar satu hal:
cinta yang dirajut dengan sabar tidak berakhir saat tangan berhenti bergerak. Ia hanya berpindah tempat—dari tubuh ke ingatan, dari benang ke hidup orang lain.