Pada abad pertengahan, di sebuah kota bertembok batu di wilayah utara Eropa, hiduplah seorang tukang roti bernama Matthias. Tokonya berdiri dekat kapel kecil, lonceng gereja menjadi penanda waktu kerjanya—fajar untuk menyalakan tungku, senja untuk menutup pintu.
Matthias hidup sederhana. Istrinya wafat karena wabah beberapa tahun sebelumnya, dan sejak itu ia memanggang roti bukan hanya untuk mencari nafkah, melainkan untuk bertahan. Ia dikenal sebagai orang yang tak pernah menolak mereka yang lapar. Para biarawan, pengemis, dan anak yatim selalu mendapat bagian, meski hanya sepotong kecil.
Suatu malam musim dingin, ketika salju menutup jalan dan angin menjerit di celah tembok kota, seorang peziarah berjubah cokelat datang mengetuk pintu toko. Wajahnya kurus, kakinya berdarah, dan salib kayu kecil tergantung di dadanya.
“Aku belum makan tiga hari,” katanya.
Matthias memberi roti terakhir yang tersisa dan secangkir anggur hangat. Peziarah itu mengucap doa pelan, lalu berdiri dan menunjuk sebuah karung tepung tua di sudut dapur.
“Tuhan memberkati tangan yang memberi,” ucapnya. “Selama karung ini digunakan untuk mengenyangkan orang lain, ia tak akan pernah kosong.”
Saat Matthias menoleh kembali, peziarah itu telah menghilang. Pintu tertutup rapat, tanpa jejak kaki di salju.
Sejak malam itu, karung tepung tersebut tak pernah habis. Matthias memanggang roti setiap hari, cukup untuk seluruh lingkungan kapel. Saat kelaparan melanda akibat perang dan panen gagal, dapurnya tetap hangat, dan roti terus keluar dari tungku.
Namun kabar itu menarik perhatian Lord Heinrich, bangsawan setempat. Ia memerintahkan agar karung itu dibawa ke gudang istananya.
Ketika karung tersebut dipaksa dibuka, isinya berubah menjadi abu dingin. Tidak satu pun roti bisa dipanggang. Malamnya, karung itu kembali ke dapur Matthias, penuh seperti semula.
Matthias mengerti bahwa karung itu bukanlah miliknya, melainkan titipan iman.
Ia meninggal dalam usia tua, dimakamkan dekat kapel. Dan orang-orang kota percaya, selama lonceng gereja masih berdentang dan roti masih dibagi, berkat tak akan pernah meninggalkan kota itu.