Di ujung utara dunia berdiri Kerajaan Nivoria, negeri yang diselimuti salju abadi. Di sana lahir seorang pewaris takhta yang hatinya sedingin es—Pangeran Areska. Sejak kecil ia diajarkan bahwa perasaan adalah kelemahan, dan air mata hanya akan mencairkan kekuasaan.
Jauh di selatan, di tanah berpasir dan gunung berapi, berdiri Kerajaan Pyrrha. Di sana tumbuh seorang putri bernama Althea, sang penjaga api. Jiwanya membara, tawanya lantang, dan amarahnya setajam nyala api yang diwarisinya.
Takdir mempertemukan mereka di wilayah netral—lembah berkabut tempat es dan api sama-sama kehilangan kekuatannya. Pertemuan pertama mereka diwarnai pertengkaran. Areska memandang Althea sebagai ancaman, sementara Althea menganggap sang pangeran sebagai manusia tanpa hati.
Namun takdir tidak pernah sederhana.
Serangan makhluk kegelapan memaksa mereka bertarung bersama. Es Areska membentengi, api Althea menyerang. Dalam pertempuran itu, mereka belajar satu hal: kekuatan sejati lahir dari kepercayaan.
Hari-hari berlalu. Althea mulai melihat bahwa di balik sikap dingin Areska tersimpan luka lama—kehilangan ibu yang membuatnya menutup hati. Sementara Areska menemukan ketenangan dalam kehangatan Althea, sesuatu yang tak pernah ia miliki.
Cinta tumbuh perlahan, seperti salju yang mencair oleh nyala kecil—bukan terbakar, tetapi hangat.
Namun dunia menentang mereka. Para tetua berkata,
> “Es dan api tak pernah bisa bersatu. Salah satunya pasti musnah.”
Ketika perang besar meletus, Areska mengorbankan mahkota dan Althea merelakan apinya. Di tengah medan pertempuran, mereka saling menggenggam tangan, memilih cinta daripada kekuasaan.
Es tidak memadamkan api. Api tidak mencairkan es.
Mereka menciptakan sesuatu yang baru—uap hangat, penanda kehidupan.
Dari pertemuan mereka lahirlah negeri baru: tanah yang mengenal musim, bukan kutukan abadi. Dan sejak itu, dunia belajar satu hal:
> Cinta bukan tentang mengalahkan perbedaan, melainkan bertahan di tengahnya.