Di sebuah taman tua yang tersembunyi di balik tembok batu berlumut, tumbuh dua bunga yang menjadi bahan bisik-bisik para penjaga malam. Yang satu dikenal sebagai Melati Arum, bunga terwangi yang aromanya mampu membuat orang menutup mata dan tersenyum tanpa sadar. Yang satunya lagi disebut Bangkai Kelam, bunga terbusuk yang baunya menusuk, memaksa siapa pun menahan napas dan menjauh.
Keduanya tumbuh dari tanah yang sama.
Melati Arum selalu mekar di pagi hari. Kelopaknya putih bersih, seolah tak pernah disentuh debu dunia. Orang-orang memujinya, memetiknya untuk upacara suci, dan menyelipkannya di rambut pengantin. Melati Arum belajar sejak awal bahwa keindahan adalah alasan ia dicintai.
Sementara itu, Bangkai Kelam hanya mekar saat senja. Warnanya gelap, hampir hitam, dan baunya seperti sesuatu yang mati terlalu lama. Tak ada yang mau mendekat. Namun diam-diam, lalat dan kumbang justru datang berkerumun, tertarik pada aroma busuk yang bagi mereka adalah panggilan hidup.
Suatu hari, hujan turun lebih lama dari biasanya. Tanah menjadi lembap, dan akar-akar kedua bunga saling bersentuhan di dalam gelap. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Melati Arum mendengar suara Bangkai Kelam.
“Apa rasanya dicintai?” tanya Bangkai Kelam lirih.
Melati Arum terdiam. Ia tak pernah memikirkan cintanya sebagai sesuatu yang harus dirasakan. Semua datang begitu saja—pujian, sentuhan lembut, dan rasa bangga.
“Apa rasanya dibenci?” balas Melati Arum pelan.
Bangkai Kelam tertawa kecil, pahit. “Rasanya seperti tetap hidup meski semua berharap kau layu.”
Hari-hari berlalu. Melati Arum mulai menyadari sesuatu: keharumannya perlahan berkurang. Setiap kelopak yang dipetik manusia menyisakan luka kecil. Ia indah, tetapi terus berkurang.
Sebaliknya, Bangkai Kelam tumbuh semakin kuat. Baunya makin menyengat, namun justru membantu penyerbukan taman. Serangga-serangga yang datang padanya menyuburkan tanah di sekitarnya, membuat tanaman lain bertahan hidup.
Pada musim kemarau panjang, banyak bunga mati. Melati Arum akhirnya layu—terlalu sering diambil, terlalu sedikit disisakan. Sementara Bangkai Kelam tetap berdiri, bau dan bentuknya tak berubah, menjaga tanah tetap hidup.
Sebelum benar-benar gugur, Melati Arum berbisik melalui akar-akarnya,
“Mungkin kita salah menilai wangi dan busuk.”
Bangkai Kelam menjawab,
“Dunia mencintai yang menyenangkan hidung, bukan yang menyelamatkan kehidupan.”
Ketika taman itu akhirnya runtuh oleh waktu, tak ada lagi Melati Arum. Namun dari tanah yang pernah dijaga Bangkai Kelam, tumbuh berbagai bunga baru—beberapa harum, beberapa aneh, namun semuanya hidup.
Dan sejak itu, taman tua itu mengajarkan satu hal:
yang terwangi belum tentu paling berguna, dan yang terbusuk belum tentu paling tak bernilai.