Pada zaman ketika manusia dan alam masih saling berbicara, hiduplah seorang gadis bernama Sekar Ayu di sebuah desa kecil di kaki bukit. Ia dikenal lembut, pendiam, dan selalu menjaga sikap. Tidak banyak bicara, tetapi hatinya penuh kepedulian.
Sekar Ayu tinggal bersama ibunya yang sakit-sakitan. Setiap hari, ia membantu di ladang, mengambil air, dan merawat ibunya dengan sabar. Meski hidup sederhana, ia tidak pernah mengeluh.
Namun sifatnya yang pendiam sering disalahartikan. Banyak orang menganggap Sekar Ayu sombong karena jarang menatap mata dan sering menundukkan kepala saat berbicara.
Suatu hari, desa itu kedatangan seorang pemuda dari seberang bukit bernama Jaka Wisesa. Ia tertarik pada Sekar Ayu dan berusaha mendekatinya. Namun setiap kali ia berbicara, Sekar Ayu hanya menjawab seperlunya lalu pergi.
“Gadis itu dingin,” kata Jaka Wisesa kecewa.
“Aku hanya ingin mengenalnya.”
Desas-desus pun menyebar. Sekar Ayu mulai dijauhi. Hatinya terluka, tetapi ia tetap memilih diam.
Pada suatu sore, ketika hujan turun tiba-tiba, Sekar Ayu berteduh di tepi ladang. Ia menangis untuk pertama kalinya. Tangisnya jatuh menyatu dengan tanah.
“Aku bukan tidak ramah,” bisiknya.
“Aku hanya takut disakiti.”
Malam itu, Sekar Ayu jatuh sakit. Menjelang fajar, ia mengembuskan napas terakhirnya. Tubuhnya dimakamkan di tepi ladang yang sering ia rawat.
Beberapa hari kemudian, di atas makam Sekar Ayu tumbuh tanaman kecil berdaun halus. Saat disentuh, daunnya menutup perlahan, seolah menghindari sentuhan.
Orang-orang heran. Seorang tetua desa berkata,
“Itulah jelmaan Sekar Ayu. Ia tidak menolak dunia, hanya menjaga hatinya.”
Sejak saat itu, tanaman itu dikenal dengan nama Putri Malu.
Orang-orang pun belajar bahwa kelembutan bukanlah kelemahan, dan menjaga diri bukan berarti tidak menghargai orang lain.
Dan sampai kini, jika kita menyentuh daun Putri Malu, ia akan menutup dirinya—mengingatkan manusia untuk selalu bersikap halus kepada sesama dan alam.