Malam itu, Jakarta sedang diguyur hujan yang seolah tidak punya niat untuk berhenti. Bram, seorang pemuda yang baru seminggu bekerja sebagai satpam malam di Gedung Arsip Negara, duduk sendirian di lobi yang luas dan dingin. Di hadapannya, deretan monitor CCTV menampilkan koridor-koridor gelap yang dipenuhi lemari besi berkarat.
Tepat pukul dua pagi, monitor nomor empat di lantai tiga mulai berkedip. Bram memajukan kursinya, matanya menyipit menatap layar yang buram. Di ujung lorong, ada sebuah bayangan yang bergerak pelan. Bukan bayangan manusia yang berjalan tegak, melainkan siluet seseorang yang tampak sedang menyeret sesuatu yang sangat berat di atas lantai marmer.
"Halo? Siapa di sana?" suara Bram bergema di lobi yang sunyi, namun hanya keheningan yang menjawab.
Bram menghela napas, mengambil senter, dan bangkit dari kursinya. Ia harus memeriksa lantai tiga. Namun, baru saja ia melangkah menuju lift, suara klik keras terdengar. Seluruh lampu di gedung itu padam seketika. Kegelapan total menyergap.
Dalam kegelapan itu, Bram mendengar sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri: suara langkah kaki. Tuk... tuk... tuk... Suara itu tidak berasal dari monitor, tapi dari belakang meja resepsionis, hanya beberapa langkah darinya. Langkah itu berat dan diseret, seolah-olah orang itu sedang kelelahan.
Bram menyalakan senternya dengan tangan gemetar. Cahaya senter itu menyapu lantai, lalu naik ke atas meja resepsionis. Di sana tidak ada orang. Namun, ada sesuatu yang membuat jantung Bram seakan berhenti berdetak. Di atas meja, terdapat sebuah kartu identitas karyawan yang basah.
Bram mendekat dan menyorotkan cahayanya ke kartu itu. Di sana tertulis jelas namanya: BRAM. Fotonya pun foto dirinya. Namun, di dalam foto itu, "Bram" sedang tersenyum lebar dengan mata yang tampak sangat dingin—senyum yang tidak pernah Bram miliki. Di samping kartu itu, terdapat sebuah sarung tangan karet hitam yang berlumuran cairan merah kental yang masih segar.
Saat Bram sedang tertegun melihat kartu itu, sebuah hawa dingin terasa di tengkuknya. Sebuah bisikan muncul tepat di lubang telinganya, suara yang terdengar sangat mirip dengan suaranya sendiri.
"Jangan berisik, Bram," bisik suara itu. "Kamu yang 'asli' seharusnya tidak datang sepagi ini."
Sebelum Bram sempat berbalik atau berteriak, sebuah tangan kasar yang memakai sarung tangan karet hitam membekap mulutnya dengan kuat. Senter di tangannya terjatuh, menggelinding di lantai, menyorot ke arah bayangan dua orang yang tampak persis sama di dinding lobi yang gelap.