Di sebuah kerajaan tua di tanah Jawa, terdapat sebuah telaga sunyi bernama Telaga Senja. Setiap musim panen, istana menggelar pertunjukan tari sakral yang hanya boleh dibawakan oleh penari terpilih. Tahun itu, dua nama disebut bersamaan: Ratih dan Saras.
Ratih dikenal sebagai penari utama istana. Geraknya lembut, rapi, dan nyaris tanpa cela. Ia dibesarkan dalam disiplin yang ketat, belajar menari bukan untuk bertanya, melainkan untuk patuh. Di mata banyak orang, Ratih adalah gambaran kesempurnaan—seperti angsa putih yang meluncur tenang di permukaan air.
Berbeda dengan Ratih, Saras datang dari desa pinggiran. Geraknya tajam, penuh tenaga, dan terkadang melawan pakem. Ia menari dengan emosi yang belum sepenuhnya jinak. Saras sering dianggap berbahaya, namun justru itulah yang membuatnya menarik—seperti angsa hitam yang bergerak di bayangan telaga.
Pertunjukan itu menuntut satu peran ganda: penari harus mampu menampilkan kelembutan dan kegelapan dalam satu tubuh. Ratih yakin peran itu miliknya. Saras datang tanpa keyakinan, hanya membawa keberanian.
Latihan demi latihan berjalan tegang. Ratih mulai merasa terancam. Kesempurnaan yang selama ini ia jaga retak oleh kehadiran Saras. Di balik senyum tenangnya, tumbuh rasa iri dan takut kehilangan tempat.
Sementara itu, Saras berjuang melawan dirinya sendiri. Setiap kali ia mencoba menari lembut seperti Ratih, tubuhnya menolak. Ia sadar, untuk memenuhi peran itu, ia harus berdamai dengan sisi gelap yang selama ini ia tekan.
Malam sebelum pertunjukan, Ratih mendatangi Telaga Senja. Bayangannya di air tampak pecah. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa kesempurnaan yang ia banggakan hanyalah penjara.
Di panggung keesokan harinya, yang tampil bukan lagi dua penari yang saling bersaing. Ratih menari dengan melepaskan kendali. Saras menari dengan menerima kegelapan tanpa membiarkannya menguasai.
Pada akhirnya, istana tidak memilih satu di antara mereka. Peran itu dibagi. Dua angsa menari berdampingan—putih dan hitam—tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi.
Telaga Senja kembali sunyi. Namun sejak hari itu, orang-orang mengerti:
keutuhan bukan tentang memilih terang atau gelap, melainkan keberanian untuk mengakui keduanya dalam diri sendiri.