Pada masa lalu, di sebuah desa yang dikelilingi sawah dan sungai, hiduplah seorang gadis bernama Bawang Putih. Sejak ibunya meninggal, ia tinggal bersama ibu tirinya, Bu Endang, dan saudara tirinya, Bawang Merah.
Bawang Putih dikenal pendiam dan rajin. Setiap hari ia mengerjakan pekerjaan rumah tanpa banyak bicara. Sebaliknya, Bawang Merah terbiasa hidup nyaman dan jarang membantu. Sikap pilih kasih Bu Endang membuat kehidupan Bawang Putih semakin berat.
Suatu hari, saat mencuci pakaian di sungai, selendang milik Bu Endang hanyut terbawa arus. Bawang Putih diminta mencarinya. Ia menyusuri sungai hingga jauh ke hulu, sampai akhirnya bertemu seorang perempuan tua bernama Nyi Ranten.
Nyi Ranten bersedia membantu, dengan satu syarat: Bawang Putih diminta membersihkan rumahnya. Tanpa ragu, Bawang Putih menyanggupi. Ia bekerja dengan tekun, tidak berharap apa pun.
Sebagai balasan, Nyi Ranten memberinya dua buah labu dan mempersilakan memilih salah satunya. Bawang Putih memilih labu yang kecil. Ketika dibelah di rumah, labu itu berisi emas dan permata.
Bukan kekayaan yang membuat Bawang Putih bahagia, melainkan rasa syukur karena niat baiknya tidak sia-sia.
Berbeda halnya dengan Bu Endang dan Bawang Merah. Didorong rasa iri, mereka meniru apa yang dilakukan Bawang Putih. Namun Bawang Merah bersikap malas dan tidak sopan saat bertemu Nyi Ranten. Ia memilih labu terbesar, berharap mendapat harta lebih banyak.
Saat labu itu dibelah, isinya bukan emas, melainkan hewan-hewan berbisa. Ketamakan mereka justru membawa ketakutan dan rasa malu.
Sejak peristiwa itu, Bu Endang dan Bawang Merah menyadari kesalahan mereka. Perlahan, sikap mereka berubah. Rumah itu kembali tenang, tanpa teriakan dan iri hati.
Dongeng ini mengajarkan bahwa kebaikan yang dilakukan dengan tulus akan menemukan jalannya sendiri, sementara keserakahan selalu meninggalkan penyesalan.