Bagian 3 - Tamat
Di depan TK, aku melihat seorang wanita berkerudung mengintip dari pagar besi. Saat dia menoleh aku mengenalinya yang ternyata adalah Miranda.
Aku bergegas menghampirinya dan menarik tangannya agar menghadapku.
"Mbak Wil!" pekiknya.
"Kau yang wil!" sahutku. Kutarik dia menjauh dari area TK dimana ibu-ibu orang tua murid sedang menunggu bel pulang sekolah berbunyi.
Kami berada di bawah pohon kersen saat ini. Kutatap matanya yang sedari tadi menunduk.
"Apa yang kau lakukan disini?!" sentakku.
"Mbak Wilujeng... A-aku hanya ingin melihat Mika, anakku, Mbak," jawabnya.
"Bukankah kau sudah menyanggupi keputusanku waktu itu. Bahwa kau tidak akan mengusik kehidupan kami lagi. Dan Mika adalah anakku." Aku berusaha memelankan suaraku agar tak ada ibu-ibu yang curiga.
"Tapi, Mbak... Bagaimana pun dia adalah anak kandungku. Aku yang sembilan bulan mengandungnya, dan lalu melahirkannya. Aku juga ingin melihatnya tumbuh dewasa, Mbak." Matanya mulai berkaca-kaca.
Tidak! Aku tidak akan luluh lalu memberinya kesempatan untuk bertemu dengan anakku.
"Ayahnya adalah suamiku kalau kau lupa. Itu artinya dia juga anakku. Aku yang merawatnya selama bertahun-tahun. Setelah malam itu kau meninggalkannya di depan pintu rumahku bahkan sebelum aku memintanya darimu. Padahal aku memberikanmu kesempatan untuk memberikan air susu eksklusifmu untuknya sebelum aku mengambilnya setelah bayimu bisa menerima makanan pendamping ASI. Tapi kau malah meninggalkannya di tengah gerimis malam itu. Dan pergi entah kemana."
"Aku terpaksa karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga, Mbak."
"Kenapa tidak kau pikirkan hal itu sebelum melangkah terlalu jauh dengan suami orang. Lalu sekarang kau dengan seenaknya muncul di depan kami dan ingin menemui puteriku? Jangan harap aku akan mengijinkanmu menemui Mika. Kalau kau ingin melihatnya, silakan. Tapi jangan pernah kau menemuinya atau bahkan mengungkit siapa dirimu kepadanya. Karena bagaimana pun, dia anakku!" ancamku.
"Mbak Wilujeng... Aku mohon ijinkan aku bertemu Mika sekali saja. Aku mohon, Mbak...." Miranda memelas padaku sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya.
Sebenarnya aku tidak sekejam itu untuk memisahkan ibu dan anaknya. Aku sudah memberikan Miranda kesempatan untuk merawat anaknya sampai usia beberapa bulan, saat Mika sudah bisa menerima makanan pendamping ASI dan susu formula.
Bagaimanapun, aku bukan wanita mandul. Aku pernah beberapa kali mengandung, namun keguguran. Aku tahu rasanya saat sosok mungil hidup bergantung padaku. Setelah tiga kali keguguran, dokter memutuskan agar aku menunda untuk mempunyai momongan. Karena kandunganku terlalu lemah. Jika keguguran sekali lagi, maka akan membahayakan nyawaku.
Sebelumnya suamiku terkesan lapang dada menerima keadaanku yang tidak bisa memberikannya seorang anak. Sikapnya padaku tak berubah sedikit pun. Tak kusangka ternyata di belakangku dia berkhianat.
Ditambah lagi malah dengan teganya Miranda meninggalkan bayi merah itu di depan pintu rumahku saat gerimis turun malam hari. Lalu dia menghilang tanpa pesan. Kebencianku pun memuncak. Hingga sekarang saat dia memohon-mohon padaku, aku tidak akan luluh.
"Pergilah. Kau sudah melihatnya, bukan? Dia tumbuh dengan baik. Dia sangat cantik. Sayang kau tak melihat tumbuh kembangnya selama ini. Meskipun dia bukan darah dagingku, tapi aku mencintai dan menyayanginya dengan segenap hatiku. Jangan khawatir aku akan menyakitinya seperti seorang ibu tiri. Suatu saat nanti, setelah Mika bisa menerima kenyataan, aku akan menceritakan kebenaran tentangmu padanya. Tapi bukan sekarang." Akhirnya kupelankan nada bicaraku.
"Baik, Mbak. Aku percaya pada Mbak. Aku sudah melihatnya beberapa waktu ini. Mbak memperlakukan anakku seperti anak Mbak sendiri. Aku berterima kasih sangat, Mbak. Dan aku mohon maafkan kesalahanku yang telah mengusik rumah tanggamu dulu." Kulihat buliran bening jatuh di kain yang membalut kepalanya.
"Dengan aku menerima benih suamiku yang tidak tumbuh di rahimku, lalu aku merawatnya seperti anakku sendiri, apakah itu kurang bagimu? Itu lebih berharga dari sekedar kata maaf."
"Iya, Mbak. Maafkan aku. Aku akan pergi. Semoga kelak aku masih bisa bertemu dengan anakku." Matanya memancarkan harapan dan kesedihan.
"Ya, pergilah." Kuseka buliran bening yang menelusuri pipiku sendiri. Tentu aku tahu rasanya. Tapi aku tidak akan mengalah.
Miranda pun meninggalkanku dan menaiki taksi yang membawanya menjauh dari area sekolah Mika. Dan aku bergegas menjemput Mika untuk pulang ke rumah karena dia sudah menungguku di depan pagar sekolah.
___***___
TAMAT