Bgian 2
Sekilas terlintas kembali kisah lama itu sembari aku berjalan.
---
Flashback...
Malam itu, setelah menghabiskan sebungkus martabak yang dibawa suamiku sepulang dari tempat kerja, aku keluar rumah untuk membuang bungkus martabak ke tempat sampah di luar. Kulihat seorang wanita dengan perut membuncit berjalan ke arah rumahku. Aku pun berbalik arah hendak masuk ke rumah karena merasa tidak mengenalnya.
Tapi sebelum aku masuk ke rumah, dia memanggilku.
"Mbak Lujeng... Tunggu sebentar...." Bagaimana dia bisa tahu namaku. Aku pun berbalik kembali dan menunggu wanita itu menghampiriku.
"Maaf, Anda siapa, ya? Sepertinya kita belum pernah saling kenal," kataku sambil berpikir mungkin kami pernah bertemu di suatu tempat. Namun, tak juga aku mengingatnya. Sepertinya memang kami belum pernah bertemu.
"Saya Miranda," jawab wanita itu. Dia mengelus pelan perutnya. Karena suasana dingin dan mendung hampir hujan, akhirnya aku mempersilakannya masuk ke rumah.
"Silakan masuk dulu. Sepertinya ada yang ingin Anda sampaikan." Aku melangkah masuk ke rumah diikuti olehnya.
"Terima kasih," ucapnya.
Di ruang tamu tak kulihat keberadaan suamiku. Mungkin dia sudah masuk ke kamar untuk beristirahat. Karena baru saja pulang dari luar kota.
"Silakan duduk." Miranda pun mendudukkan pantatnya di kursi rotan yang sudah mulai usang.
"Mau minum apa?" tawarku.
"Tidak usah repot, Mbak. Saya ada perlu penting dengan Mbak Lujeng dan Mas Dalu." Miranda menundukkan kepalanya sambil meremas roknya.
"Kamu kenal suamiku juga?"
"Iya, Mbak. Dan saya sekarang sedang mengandung anak Mas Dalu," akunya.
Deg!!!
"Apa?!" pekikku. Kututup mulutku dengan telapak tangan.
"Ada apa, Ma, kok teriak?" mas Dalu bertanya sambil keluar dari dalam kamar.
Dia pun terkejut melihat kehadiran Miranda.
"Mir...-" belum selesai mas Dalu menyebut namanya sudah kupotong.
"Jelaskan semua ini, Mas!" teriakku. Aku tidak memintanya dengan lembut. Aku tidak punya kesabaran yang tebal. Hanya setipis kulit ari yang habis dikeroki uang logam.
"Apa yang kamu lakukan disini, Mir?" Bukannya menjelaskan padaku, mas Dalu malah menanyai wanita itu. Aku menggebrak meja kayu jati di depanku.
Brakkk!!!
"Jelaskan, Mas! Siapa wanita ini dan apa benar yang dia katakan bahwa dia sedang mengandung anakmu?!!" teriakku dengan mata melotot ke arah mereka berdua.
Mas Dalu memegang tanganku dan berkata, "Maaf, Ma. Dia Miranda. Dan... benar itu anakku. Aku hilaf, Ma."
Seketika mataku berkunang-kunang, namun aku menahan untuk tidak pingsan. Aku tidak akan melewatkan sedetikpun momen ini. Akan kurekam dalam otakku tentang penghianatan ini.
"Duduk kalian berdua." Aku pun duduk di salah satu kursi, mas Dalu menyusul duduk di sebelahku, di depan Miranda.
"Apa maumu, Miranda," tanyaku to the point. Aku bukan tukang basa-basi.
"Saya ingin Mas Dalu menepati janjinya untuk bertanggung jawab," jawab Miranda.
"Maksudmu, menikahimu?"
"Iya, Mbak."
"Tidak akan pernah," sahutku.
"Ma..." Mas Dalu hendak menginterupsi. Tetapi keputusanku sudah bulat dan mutlak.
"Aku tidak akan mengijinkan suamiku menikahimu. Aku pun tidak akan meminta suamiku menceraikanku untuk lalu menikahimu. Aku tidak pernah berbagi." Bulir bening mulai menetes, segera kuseka kasar.
"Aku akan membiayai kehamilan dan persalinanmu. Setelah bayi itu lahir, dia milikku. Anakku. Selama kamu hamil, kamu boleh minta apa saja yang menjadi kebutuhanmu, tapi jangan mengambil kesempatan. Suamiku bukan kebutuhanmu. Setelah anakku lahir, tinggalkan kami dan jangan kembali mengusik hidup kami. Anggap saja suamiku hanya menitipkan benihnya di rahimmu," lanjutku. Aku bangkit dan berjalan menuju ke kamar.
Kuletakkan selembar amplop berisi lembaran uang di meja depan Miranda. "Ini biaya untuk satu bulan. Cukup cukupkan. Aku tahu harga bahan-bahan makanan. Jangan melunjak."
"Tapi, Mbak. Aku tidak mungkin hamil tanpa suami. Bagaimana kata orang nanti."
"Apakah sebelumnya kamu berpikir kesana?"
Miranda menggeleng.
"Itulah, otak ditaruh di antara paha," sinisku.
Mas Dalu hanya bisa diam. Karena dia tahu apa yang bisa kulakukan bila dia membantah. Proyek yang dia kerjakan adalah perintah dari kakekku.
"Sekarang ambil ini dan pulanglah. Sebelum aku berubah pikiran."
"Pulanglah dulu, Mir," ucap mas Dalu.
"Kamu jangan coba-coba menemuinya lagi, Mas," sahutku.
"Iya, Ma. Maaf."
TBC
...***...