Bagian 1
Pagi ini aku mengantar Mikaila, anak semata wayangku, ke Taman Kanak-Kanak dekat rumah. Kami berjalan kaki dari rumah sampai ke sekolah. Sesampai di TK, kutunggu Mikaila masuk ke kelasnya dan aku pun kembali ke rumah. Karena peraturannya orang tua tidak boleh menunggui anaknya di sekolah.
Sebelum sampai rumah, aku mampir di warung untuk membeli sayur dan bumbu dapur. Sepertinya aku akan masak sayur asem dengan ikan asin saja. Kebetulan tanggal di kalender sudah sampai angka 28.
"Pagi, Mbak Yu. Mau cari sayur apa?" tanya Bu Marsih, pemilik warung. Usianya mungkin sekitar 40 tahunan. Tinggal berdua saja dengan anak perempuannya, Nancy. Suaminya merantau ke luar pulau. Pulang hanya setahun sekali saat menjelang Lebaran.
"Ada sayur asem, Bu?" tanyaku. "Sama ikan asin kalau ada."
"Oh, ada ini, Mbak sayur asemnya. Ini ikan asinnya mau berapa kilo?" tanya Bu Marsih sambil mengambil beberapa ikan asin berkepala dua, tanda akhir bulan tiba, meletakkannya di atas timbangan.
"Dua ons saja, Bu. Suami saya sedang tidak di rumah. Takut nggak habis kalau masak banyak-banyak," jawabku.
Bu Marsih pun menimbangkan ikan asin dan memasukkannya ke dalam kantong plastik bersama dengan sebungkus sayur asem. "Tambah apa lagi, Mbak?"
"Sudah, Bu, itu saja. Berapa semuanya?"
"Lima belas ribu, Mbak."
Kuambil kantong plastik dari tangannya dan kusodorkan lembaran uang sejumlah lima belas ribu. Lalu aku segera kembali ke rumah untuk mengolah sayur dan ikan asin yang aku beli.
Suamiku masih di luar kota mengurusi proyek pembangunan rumah. Bukan kontraktor, hanya kebetulan ditunjuk jadi mandor. Mungkin dua hari lagi dia pulang. Sambil setoran uang bulanan.
Tak lama setelah masakanku matang, sudah waktunya aku menjemput anakku di sekolah. Karena masih TK jadi pulangnya tidak terlalu siang. Hanya sampai jam sepuluh.
Di depan rumah, tanpa sengaja aku mendengar tetangga yang sedang menggosip. Ah, biarlah, itu urusan mereka. Aku hanya lewat sambil mengulas senyuman.
"Mau jemput anakmu, Jeng?" tanya mbak Wati, tetangga depan rumahku.
"Iya, Mbak. Sudah jam sepuluh ini," jawabku. "Mari, Mbak."
"Ya," sahut mbak Wati dan mbak Enda, tetangga samping rumahnya.
"Kok mau-maunya si Lujeng merawat yang bukan anaknya." Kudengar mbak Wati kembali bergosip. Sepertinya kali ini namaku yang disebutnya.
"Iya. Padahal jelas-jelas itu anak suaminya dengan selingkuhannya. Kalau aku sih nggak bakal mau meskipun nggak bisa punya anak sendiri. Mending ngrumat (merawat) anak di panti asuhan," timpal mbak Enda.
Aku mendengarnya, namun aku tidak menghiraukannya. Biarlah mereka bicara apa. Toh, aku tidak minta mereka untuk menyumbang biaya makanku. Kulanjutkan langkahku ke sekolahan anakku.
Sekilas terlintas kembali kisah lama itu sembari aku berjalan.
TBC
...***...