Empat tahun dua bulan bukan waktu yang sebentar.
Dan selama itu pula Nayara Aveline terbiasa menjadi pihak yang paling bertahan.
Ia hafal jadwal Raka Mahendra lebih baik daripada jadwal hidupnya sendiri. Hafal kapan Raka sedang lelah dan tak ingin diganggu, hafal kapan Raka akan membalas chat dengan singkat, bahkan hafal nada suara Raka saat sudah mulai bosan mendengar keluhannya. Nayara menyesuaikan diri. Selalu.
Hubungan mereka tidak penuh kejutan romantis. Tidak juga dipenuhi janji manis. Namun Nayara mengira cinta memang seperti itu—tenang, sederhana, dan kadang melelahkan. Ia tidak pernah mempermasalahkan kenyataan bahwa dirinya yang lebih sering meminta maaf, lebih sering datang lebih dulu, dan lebih sering mengalah.
Raka jarang berkata “terima kasih”, apalagi “maaf”. Tapi Nayara tetap bertahan.
Hari itu adalah ulang tahun Raka yang ke-23.
Nayara bangun lebih pagi dari biasanya. Ia berdiri lama di depan cermin kamar, memastikan wajahnya terlihat cukup baik meski matanya sedikit sembap karena kurang tidur. Semalaman ia menyelesaikan pesanan kecil-kecilan demi menambah uang untuk membeli kue ulang tahun. Bukan kue besar, hanya kue sederhana dengan tulisan nama Raka yang ditulis rapi.
Ia tidak memberi tahu Raka akan datang. Nayara ingin memberi kejutan.
Ia ingin melihat wajah Raka yang terkejut—meski kecil kemungkinan Raka akan benar-benar menunjukkan antusiasme.
Sore menjelang malam ketika Nayara sampai di depan rumah Raka.
Tangannya memeluk kotak kue erat-erat, seolah itu satu-satunya pegangan agar ia tidak tiba-tiba ragu. Lampu teras rumah Raka menyala. Dari luar, suasana terlihat hangat. Nayara tersenyum kecil. Ia merasa langkahnya sedikit lebih ringan.
Namun langkah itu berhenti mendadak.
Di teras rumah, tepat di depan pintu, Raka berdiri. Tubuhnya sedikit condong ke depan, dan Seorang perempuan berdiri di hadapannya, memeluk Raka dengan erat, wajahnya tertutup oleh bahu Raka.
Nayara membeku.
Dadanya terasa seperti diremas.
Ia tidak mendengar suara tawa. Tidak ada adegan mesra berlebihan. Tapi pelukan itu cukup. Cukup untuk membuat dunia Nayara runtuh perlahan tanpa suara.
Nayara tidak sanggup lagi melihat.
Ia mundur satu langkah, lalu dua. Tangannya gemetar hebat. Kotak kue hampir terlepas dari pelukannya. Napasnya pendek, dadanya terasa sesak, seolah udara di sekitarnya mendadak menipis.
Tanpa menoleh lagi, Nayara berbalik dan berjalan menjauh.
Tidak ada air mata yang langsung jatuh. Justru itu yang paling menyakitkan. Ia berjalan dengan kepala tegak, meski di dalam kepalanya ribuan pertanyaan berteriak bersamaan.
Empat tahun.
Empat tahun yang ia habiskan dengan menunggu, memahami, dan memaafkan.
Dan ia bahkan tidak diberi penjelasan.
Beberapa menit setelah Nayara pergi, Raka akhirnya menyadari kejanggalan di udara. Ia menurunkan lengannya, sedikit mengernyit saat Keisha—perempuan yang tadi memeluknya—melangkah mundur.
“Maaf, Kak,” ucap Keisha malu malu “Refleks. Aku kira tadi Mamanya kak raka.”
Raka terdiam. “Nggak apa-apa.”
Keisha adalah sepupu jauhnya yang baru datang sore itu. Mereka jarang bertemu. Raka bahkan tidak tahu Keisha akan datang hari ini.
“Eh, Kak Raka,” Keisha menunjuk ke arah luar pagar. “Tadi aku kayak lihat ada orang… bawa kue.”
Raka menoleh cepat. “Apa?”
Namun halaman depan sudah kosong.
Raka tidak memikirkan itu terlalu lama. Ia mengira Keisha salah lihat. Sampai beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar.
Nama Nayara muncul di layar.
Namun hanya satu pesan, tanpa kata.
Sebuah foto.
Raka membuka pesan itu.
Foto kue ulang tahun. Kue kecil dengan tulisan sederhana: Selamat ulang tahun, sayang~.
Raka langsung berdiri. Dadanya mendadak berdebar tak karuan.
Ia berlari ke luar rumah, mengabaikan panggilan ibunya. Matanya menyapu jalanan di depan rumah, berharap melihat sosok Nayara berdiri di sana—marah, menangis, atau setidaknya menunggu penjelasan.
Namun Nayara tidak ada.
Raka menekan nomor Nayara berkali-kali. Tidak diangkat. Pesan-pesannya hanya bercentang satu.
“ara…” gumamnya, ada rasa asing yang merambat di dadanya. Panik.
Ia mengambil jaket dan kunci motor, lalu melaju tanpa tujuan pasti. Hujan mulai turun gerimis, membuat jalanan licin dan lampu-lampu jalan memantul di aspal basah.
Sementara itu, Nayara berjalan tanpa arah. Langkahnya membawa dirinya menjauh dari rumah Raka, menjauh dari kenangan, menjauh dari dirinya yang selama ini terlalu bertahan.
Air mata akhirnya jatuh.
Satu, lalu dua, lalu tak terbendung.
Ia tidak tahu sudah berapa lama berjalan ketika suara klakson memekakkan telinga terdengar dari samping. Nayara menoleh terlambat.
brakkk
Tubuhnya terlempar.
Dunia menjadi gelap.
Raka tiba di lokasi beberapa menit kemudian. Motor Nayara tergeletak di pinggir jalan. Kerumunan kecil sudah terbentuk. Jantung Raka berdegup liar saat melihat jaket abu-abu yang sangat dikenalnya.
“ara?” suaranya bergetar.
Ia berlari menerobos kerumunan. Di sana, Nayara terbaring tak bergerak. Wajahnya pucat, darah mengalir dari pelipisnya.
Raka jatuh berlutut.
“Bangun… ara, tolong bangun…aku minta maaf." suaranya pecah.
Sirene ambulans terdengar semakin dekat. Namun Raka tahu, seberapa cepat pun bantuan datang, ada sesuatu yang sudah terlambat.
Di rumah sakit, Raka duduk membeku. Tangannya gemetar, matanya kosong menatap lantai. Kata-kata dokter berputar samar di kepalanya—tentang benturan keras, tentang kondisi kritis.
Raka menunduk, air mata jatuh satu per satu.
Untuk pertama kalinya, ia mengingat semua hal yang dulu dianggap sepele: pesan Nayara yang tak pernah dibalas tepat waktu, permintaan sederhana yang selalu ia tunda, cinta yang selalu ia anggap pasti.
Dan malam itu, di hari ulang tahunnya sendiri, Raka menyadari satu hal paling kejam dalam hidupnya—