MALAM PERTAMA SI LUGU
BAGIAN PERTAMA: PERJANJIAN TANPA CINTA
Tanggal 17 Agustus tahun ini menjadi hari yang tak terlupakan bagi Arlin. Pada usia dua puluh dua tahun, tepatnya satu minggu setelah ulang tahunnya, ia menikah dengan seorang pemuda bernama Nail yang berusia dua puluh sembilan tahun. Kedua orang tua mereka telah menjodohkannya sejak setahun yang lalu, ketika Arlin baru menyelesaikan studi S1-nya dengan predikat cum laude dan Nail telah menjabat sebagai CEO di perusahaan milik ayahnya selama tiga tahun.
Keduanya sama-sama dikenal sebagai juara kelas sepanjang jenjang pendidikan mereka. Nail pernah meraih juara umum di tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi, sementara Arlin selalu berada di peringkat pertama di setiap jenjang yang ditempuhnya. Namun satu hal yang membuat mereka sama – keduanya sangat lugu dan tidak pernah memiliki pengalaman dalam percintaan. Nail selalu fokus pada pendidikan dan karirnya, sedangkan Arlin menghabiskan waktunya untuk belajar dan membantu orang tuanya di rumah.
Pada hari pernikahan, mereka berdiri bersanding di depan altar dengan wajah yang penuh dengan rasa sungkan dan cuek. Tidak ada senyum hangat atau tatapan cinta yang biasanya terlihat pada pasangan muda yang baru menikah. Mereka hanya mengikuti alur acara pernikahan dengan sopan, menyelesaikan setiap tahapan dengan cara yang paling cepat mungkin. Setelah acara selesai dan tamu undangan pulang, Nail membawa Arlin ke apartemennya yang terletak di lantai dua puluh lima sebuah gedung pencakar langit di pusat kota.
Apartemen yang luas dengan desain modern itu terasa sangat sunyi dan asing bagi Arlin. Ia hanya membawa beberapa tas barang pribadi, karena orang tuanya mengatakan bahwa ia bisa membeli apa saja yang dibutuhkan setelah menikah. Nail menunjukkan kamar tidur yang akan mereka tempati bersama, kemudian memberi tahu Arlin bahwa kamar sebelahnya bisa digunakan sebagai ruang belajar jika ia ingin melanjutkan studi.
“Kamu bisa menggunakan kamar itu jika kamu perlu tempat yang tenang untuk belajar,” ujar Nail dengan suara yang datar dan tanpa emosi, menempatkan tas Arlin di atas tempat tidur yang besar. “Aku biasanya bekerja hingga larut malam atau sering keluar untuk pertemuan bisnis. Makan malam sudah disiapkan oleh juru masak setiap hari, kamu bisa makan kapan saja sesuai keinginanmu.”
Arlin hanya mengangguk dengan rendah hati, tidak berani melihat wajah suaminya yang tampan namun dingin itu. “Terima kasih, Pak Nail,” jawabnya dengan suara yang kecil dan sedikit gemetar.
Nail mengerutkan kening sedikit. “Kamu tidak perlu memanggilku Pak Nail. Cukup panggil aku Nail saja. Kita sudah menikah, jadi tidak perlu terlalu formal.”
Setelah itu, Nail pergi ke ruang kerja di bagian dalam apartemen untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Arlin duduk sendirian di kamar tidur yang besar, melihat ke sekeliling ruangan yang penuh dengan barang-barang milik Nail namun tidak ada sedikit pun sentuhan dari dirinya. Ia merasa sangat asing dan sendirian, merindukan rumah kecil orang tuanya yang penuh dengan kehangatan dan suara keramaian.
Hari-hari berlalu dengan cara yang sama. Nail pergi bekerja setiap pagi sebelum matahari terbit dan pulang ketika Arlin sudah tidur atau sedang belajar di kamar studinya. Mereka jarang bertemu di meja makan, bahkan jika mereka makan bersamaan, tidak ada percakapan yang terjadi selain ucapan sederhana seperti “makanannya enak” atau “hari ini cuacanya panas”. Arlin merasa hubungan mereka lebih seperti teman sekamar yang tidak saling kenal ketimbang pasangan suami istri.
Setelah dua minggu menikah, Arlin memutuskan untuk membicarakan rencananya untuk melanjutkan studi S2 ke Nail. Ia menunggu di ruang tamu hingga larut malam, hingga akhirnya pintu apartemen terbuka dan Nail masuk dengan jas yang sedikit kusut dan wajah yang lelah.
“Maaf jika mengganggumu, Nail,” ujar Arlin dengan suara yang lembut ketika Nail ingin pergi ke kamar mandi. “Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
Nail berhenti dan menoleh padanya dengan ekspresi yang tidak jelas. “Baiklah. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Arlin berdiri dengan tubuh yang sedikit gemetar, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya. “Aku ingin melanjutkan kuliah S2 di fakultas ekonomi universitas negeri. Aku sudah mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa baru semester depan. Apakah kamu mengizinkanku untuk melanjutkan studi?”
Nail terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara yang tenang. “Tentu saja tidak apa-apa. Kamu memiliki hak untuk melanjutkan pendidikanmu. Yang penting kamu bisa menjaga dirimu sendiri dan tidak mengabaikan tanggung jawabmu sebagai istriku. Aku akan membayar semua biaya kuliah dan kebutuhanmu selama studi.”
Arlin merasa lega mendengar kata-kata itu. Ia mengucapkan terima kasih dengan tulus, merasa sedikit lebih dekat dengan suaminya yang selama ini tampak sangat jauh darinya. Namun setelah itu, Nail kembali pergi ke kamar mandi dan Arlin kembali sendirian di ruang tamu, menyadari bahwa meskipun mereka telah membicarakan sesuatu yang penting, jarak antara mereka masih terasa sangat jauh.
Selama dua minggu berikutnya, tidak ada satu pun sentuhan fisik yang terjadi antara mereka selain jabat tangan ketika mereka bertemu secara tidak sengaja. Mereka tidur di tempat tidur yang sama namun dengan jarak yang cukup jauh, masing-masing menghadap ke arah yang berbeda. Arlin sering bertanya pada dirinya sendiri mengapa mereka harus menikah jika mereka tidak saling mencintai dan bahkan tidak bisa berbicara dengan nyaman satu sama lain. Namun ia juga tahu bahwa orang tuanya melakukan ini karena mereka mencintainya dan percaya bahwa Nail adalah pria yang tepat untuknya.
BAGIAN KEDUA: KEJARINGAN YANG TIDAK DIINGINKAN
Pada malam hari yang cukup dingin, sekitar sebulan setelah mereka menikah, Arlin memutuskan untuk mandi larut malam setelah menyelesaikan tugas kuliahnya yang menumpuk. Ia memasuki kamar mandi yang luas dengan kamar mandi dalam dan jacuzzi, menyalakan lampu-lampu kecil yang memberikan cahaya hangat dan tenang. Ia melepas semua pakaiannya dengan perlahan, kemudian masuk ke dalam bak mandi yang telah diisi dengan air hangat dan garam epsom yang memberikan aroma yang menenangkan.
Sementara itu, Nail baru saja selesai bekerja dan merasa sangat lelah. Ia ingin segera mandi dan tidur karena besok paginya ia harus menghadiri rapat penting dengan investor dari luar negeri. Ia berjalan ke arah kamar mandi tanpa mengetuk atau memeriksa apakah pintunya terkunci – sebuah kebiasaan yang ia lakukan karena selama ini ia tinggal sendirian di apartemen tersebut.
Tanpa sengaja, Nail membuka pintu kamar mandi dan langsung melihat tubuh Arlin yang sedang berada di dalam bak mandi tanpa busana. Cahaya lembut dari lampu kamar mandi menerangi setiap lekukan tubuhnya yang indah – bahu yang ramping, payudara yang penuh dengan bentuk yang cantik, pinggang yang kecil, dan paha yang lembut. Arlin terkejut sepenuhnya, mata nya terbuka lebar dan mulut nya terbuka untuk menjerit.
Sebelum suara jeritannya bisa terdengar keras, Nail dengan cepat memasuki kamar mandi dan menutup mulut Arlin dengan tangannya yang besar. “Jangan berteriak,” bisiknya dengan suara yang rendah namun tegas, matanya tidak bisa berpaling dari pemandangan tubuh istri nya yang indah itu. “Suaramu akan sangat berisik dan mungkin mengganggu tetangga kita.”
Arlin merasa wajahnya menjadi sangat panas karena rasa malu yang luar biasa. Ia mencoba untuk menarik diri dari tangan Nail yang menutupi mulutnya, namun tubuhnya seperti membeku dan tidak bisa bergerak sama sekali. Matanya tidak bisa menghindari tatapan Nail yang semakin dalam dan penuh dengan sesuatu yang tidak ia mengerti.
Setelah beberapa saat, Nail perlahan melepaskan tangannya dari mulut Arlin. Ia tidak pergi atau berpaling, melainkan tetap berdiri di depan bak mandi dengan mata yang tetap menatap tubuh istri nya. “Kita adalah suami istri, Arlin,” ujarnya dengan suara yang sedikit lebih lembut namun tetap penuh dengan keyakinan. “Mengapa kita harus merasa malu satu sama lain? Kamu adalah istriku, dan aku memiliki hak untuk melihat tubuhmu.”
Arlin merasa hati nya berdebar kencang dan keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Ia cepat mengambil handuk besar yang berada di tepi bak mandi untuk menutupi tubuhnya, namun sebelum ia bisa melakukannya, Nail mengambil tangannya dengan lembut dan menghentikannya.
“Jangan menutup dirimu dariku,” bisik Nail dengan suara yang penuh dengan emosi yang baru saja muncul di dalam dirinya. Ia tidak bisa berpura-pura lagi bahwa ia tidak merasa apa-apa terhadap istri nya yang cantik dan lugu itu. Sejak hari pertama mereka bertemu, ia telah merasa ada sesuatu yang menarik dirinya pada Arlin, namun rasa malu dan ketidakpercayaan dirinya membuatnya tidak bisa menunjukkan perasaannya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Nail mendekat dengan cepat dan mencium bibir Arlin yang terkejut dengan keras. Ciuman itu awalnya sangat kasar dan brutal, seperti orang yang telah menahan hasratnya selama sangat lama. Namun perlahan, ciuman itu menjadi lebih lembut dan penuh dengan hasrat, dengan lidahnya yang mulai menjelajahi mulut Arlin dengan penuh keinginan.
Arlin merasa seluruh tubuhnya menjadi panas dan lembut. Ia tidak pernah berpikir bahwa akan merasakan sesuatu seperti ini – sensasi yang luar biasa yang membuatnya ingin lebih banyak dari sentuhan suaminya. Meskipun awalnya ia terkejut dan sedikit takut, perlahan ia mulai merespons ciuman Nail dengan penuh hasrat, menggenggam bahu suaminya dengan kuat sambil menikmati setiap sentuhan yang membuatnya merasa hidup seperti tidak pernah sebelumnya.
Nail mulai menurunkan ciumannya dari bibir Arlin ke bagian lehernya yang sensitif, kemudian ke bahu dan payudaranya yang penuh dengan bentuk yang cantik. Setiap sentuhan bibirnya membuat Arlin mengeluarkan suara hembusan napas yang lembut dan menggairahkan. Ia merasa seperti sedang berada di atas awan, terlupakan segala sesuatu di sekitarnya kecuali kehadiran suaminya yang kini sedang menjelajahi tubuhnya dengan penuh cinta dan hasrat.
Dengan lembut, Nail mengangkat Arlin dari dalam bak mandi dan membawa nya ke atas wastafel kamar mandi yang telah dibungkus dengan handuk lembut. Ia melanjutkan untuk mencium setiap bagian tubuh Arlin dengan penuh perhatian dan kasih sayang, sementara tangan nya menjelajahi setiap lekukan tubuhnya yang membuatnya merasa terpesona. Arlin merespons dengan memberikan suara-suara kecil yang menggairahkan, menunjukkan bahwa ia menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh suaminya.
Setelah beberapa saat, Nail membawa Arlin dengan lembut keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur yang besar. Ia meletakkan nya dengan hati-hati di atas tempat tidur yang empuk, kemudian mulai perlahan melepas jas dan kemejanya yang masih dikenakannya. Arlin melihatnya dengan mata yang penuh dengan kagum dan hasrat, mengangkat tangan nya untuk menyentuh dada suaminya yang berotot dan hangat.
Keduanya tidak bisa lagi menahan hasrat yang telah lama tertahan itu. Mereka saling menjelajahi tubuh masing-masing dengan penuh cinta dan keinginan, menemukan setiap titik yang membuat mereka merasa senang dan terlupakan dunia luar yang ada di sekitar mereka. Udara malam yang sejuk masuk ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka sedikit, menciptakan suasana yang hangat dan penuh dengan cinta. Mereka merasakan hubungan yang mendalam tidak hanya pada tingkat fisik semata, namun juga pada tingkat emosional – sebuah ikatan yang menghubungkan hati dan jiwa mereka menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
BAGIAN KETIGA: MULANYA CINTA
Ketika matahari mulai bersinar terang melalui celah tirai kamar tidur, Arlin perlahan membuka matanya dengan rasa lelah namun penuh dengan kebahagiaan yang luar biasa. Ia merasakan tangan yang kuat dan hangat yang berada di sekitar pinggangnya, dengan badan suaminya yang hangat menyangga punggungnya dari belakang. Nail masih tidur lelap, dengan wajahnya yang tampan bersandar pada bantal dengan ekspresi yang damai dan tenang.
Arlin perlahan berbalik menghadap Nail, melihat wajah lelaki yang telah mengubah hidupnya dalam sekejap itu. Ia mengusap lembut pipinya dengan ujung jari nya, merasa sangat bersyukur telah memiliki orang seperti dia dalam hidupnya. Nail perlahan membuka matanya, melihat Arlin dengan mata yang penuh dengan cinta dan rasa sayang – sesuatu yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.
“Selamat pagi, cintaku,” ujar Nail dengan suara yang masih sedikit serak karena baru saja bangun tidur, memberikan ciuman lembut pada dahi Arlin. “Apakah kamu merasa baik-baik saja? Aku minta maaf jika aku terlalu kasar padamu tadi malam. Aku hanya tidak bisa mengendalikan diriku ketika melihat kamu.”
Arlin tersenyum dengan senyum yang manis dan hangat, menyematkan wajahnya pada dada Nail sambil menjawab dengan suara yang lembut: “Aku merasa sangat baik, Nail. Jangan pernah minta maaf untuk itu. Aku juga merasa hal yang sama padamu. Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah merasa ada sesuatu yang spesial tentangmu, namun aku terlalu sungkan untuk memberitahumu.”
Nail merasa hati nya menjadi sangat hangat mendengar kata-kata itu. Ia mengelus lembut rambut panjang Arlin yang berwarna hitam seperti arang, sebelum berkata dengan suara yang penuh dengan emosi: “Aku juga merasa hal yang sama padamu, Arlin. Aku selalu melihatmu sebagai wanita yang cantik, pintar, dan baik hati. Namun aku terlalu takut untuk menunjukkan perasaanku karena aku berpikir kamu tidak akan pernah mencintaiku seperti aku mencintaimu. Aku merasa sangat bodoh karena tidak pernah berusaha untuk mengenalmu lebih baik selama ini.”
Arlin mengangkat dagu Nail dengan lembut, menatap mata nya dengan pandangan yang penuh dengan cinta dan pengertian. “Itu tidak penting lagi, Nail. Yang penting adalah kita sekarang saling mengerti dan mencintai satu sama lain. Kita masih memiliki banyak waktu untuk mengenal satu sama lain dengan lebih baik dan membangun hubungan yang kuat dan bahagia bersama.”
Setelah itu, mereka berbagi ciuman lembut yang penuh dengan cinta dan janji untuk selalu bersama dalam suka dan duka. Mereka berbaring bersandar pada bantal, saling bercerita tentang diri masing-masing dengan cara yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Nail menceritakan tentang masa kecilnya yang penuh dengan tuntutan dari orang tuanya untuk selalu menjadi yang terbaik, sedangkan Arlin menceritakan tentang impiannya untuk menjadi seorang ahli ekonomi yang bisa membantu orang banyak keluar dari kemiskinan.
Ketika mereka merasa lapar, Nail mengajak Arlin untuk sarapan bersama di ruang makan. Mereka pergi ke dapur dengan tangan yang saling bergandengan, sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Nail memasak telur mata sapi dan roti bakar untuk mereka berdua, sementara Arlin membuat kopi yang menjadi favorit Nail. Mereka makan bersama dengan senyum yang terus menerus muncul di wajah mereka, berbagi candaan dan cerita yang membuat mereka merasa semakin dekat satu sama lain.
Setelah sarapan, Nail mengajak Arlin untuk berjalan-jalan di balkon apartemen yang menghadap ke pemandangan kota yang indah. Ia membungkus tubuh Arlin yang masih sedikit dingin dengan jaketnya, kemudian berkata dengan suara yang penuh dengan keteguhan hati: “Aku berjanji bahwa aku akan selalu mencintaimu dan melindungimu, Arlin. Aku akan membuatmu bahagia setiap hari dan akan selalu ada di sisimu untuk mendukung impian-impianmu. Aku tidak akan pernah lagi menjadi pria yang dingin dan cuek seperti sebelumnya. Aku akan menunjukkan padamu betapa banyak aku mencintaimu setiap hari.”
Arlin menangis dengan rasa bahagia yang luar biasa, menyematkan wajahnya pada bahu Nail sambil menjawab: “Aku juga berjanji akan selalu mencintaimu dan mendukungmu dalam segala hal, Nail. Aku akan menjadi istri yang baik dan akan selalu ada di sisimu untukmu. Kita akan membangun kehidupan yang bahagia bersama dan akan selalu saling mencintai hingga akhir hayat kita.”
Mereka berdiri seperti itu selama beberapa saat, menikmati kehangatan satu sama lain dan pemandangan kota yang indah di depan mata mereka. Matahari terus bersinar terang di langit, memberikan cahaya hangat yang mencerminkan kebahagiaan yang mereka rasakan dalam hati. Mereka tahu bahwa perjalanan hidup mereka tidak akan selalu mudah, namun dengan cinta dan dukungan satu sama lain, mereka yakin bahwa mereka bisa mengatasi segala rintangan yang datang dan membangun keluarga yang bahagia dan penuh dengan cinta.
Sejak malam itu, hubungan mereka berubah secara drastis. Mereka mulai saling berbicara dengan nyaman, makan bersama setiap hari, dan menghabiskan waktu luang mereka untuk melakukan hal-hal yang mereka sukai bersama – seperti menonton film, berjalan-jalan di taman kota, atau hanya duduk bersama di ruang tamu sambil membaca buku. Nail mulai lebih sering pulang kerja lebih awal untuk bisa menghabiskan waktu bersama Arlin, dan Arlin selalu menunggunya dengan makanan hangat dan senyum yang manja.