Tahun 1907, ketika tanah Jawa masih meresap kedengkalan bawah kekuasaan Belanda, desa Cikembar berdiri sunyi di lereng gunung yang tertutup hamparan kebun teh dan ladang padi yang hijau menyala. Udara malam selalu membawa aroma tanah basah dan bunga melati dari pekarangan rumah-rumah kayu yang berdiri rapi di sepanjang jalan tanah yang berlubuk-lubuk genangan air setiap musim hujan datang.
Di salah satu rumah kayu dengan atap jerami yang agak miring, seorang wanita muda bernama Rohana sedang duduk di teras rumah sambil menjemur pakaian yang baru dicuci. Perutnya yang mulai membuncit menunjukkan bahwa ia sedang mengandung anak pertama dari suaminya, Hasan, yang telah pergi merantau ke Batavia (sekarang Jakarta) hampir enam bulan yang lalu untuk bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik gula milik pengusaha Belanda.
“Bu Rohana, kamu tidak boleh terlalu capek ya. Sudah malam, lebih baik istirahat saja,” suara lembut dari seorang gadis bernama Siti, anak tetangga yang sering datang membantu pekerjaan rumah tangga Rohana sejak suaminya pergi merantau, terdengar dari dalam rumah.
Rohana menoleh dengan senyum lembut, tangannya yang ramping namun kuat terus bekerja menjemur pakaian di tali yang direntangkan di antara dua tiang kayu. “Tidak apa-apa, Siti. Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini sebelum hujan datang lagi. Kalau tidak, pakaiannya akan basah dan tidak bisa kering besok pagi,” jawabnya dengan nada yang tetap ramah, meskipun wajahnya yang cantik dengan mata hitam yang lembut sudah mulai menunjukkan rasa lelah.
Rambut hitam panjang Rohana yang biasanya ia ikat rapi kini sedikit kusut akibat keringat yang mengalir di dahinya. Baju kebaya batik merah tua yang ia kenakan sudah mulai membasahi di bagian punggung dan ketiak. Ia adalah wanita yang dikenal baik hati dan pekerja keras di desa ini. Selama suaminya pergi merantau, ia selalu membantu tetangga yang kesusahan, baik itu dengan membantu mengurus kebun atau hanya dengan memberikan nasi hangat ketika ada keluarga yang tidak punya apa-apa untuk dimakan.
Namun tidak semua orang di desa menyukai kebaikan Rohana. Di rumah yang tidak jauh dari sana, seorang wanita bernama Ratna sedang berdiri di depan jendela rumahnya, menatap Rohana dengan pandangan yang penuh dengan iri hati dan dendam. Ratna adalah seorang duda yang telah menikah dua kali dan keduanya bercerai karena alasan yang tidak jelas. Ia bekerja sebagai penjual kue di pasar desa setiap pagi, dan sering bercerita tentang kehidupan orang lain dengan cara yang tidak selalu benar.
“Lihat saja dia, bersih-bersih rumah seolah-olah dia adalah wanita paling suci di desa ini,” bisik Ratna dengan suara yang penuh dengan kemarahan, menggenggam tangan kanannya yang sedang memegang cangkir teh dengan kuat hingga hampir pecah. “Padahal siapa tahu apa yang dia lakukan ketika suaminya tidak ada di rumah. Seorang wanita muda dengan perut yang membuncit ditinggal suaminya begitu lama, pasti tidak mungkin bisa tetap suci.”
Ratna telah lama menyukai Hasan, suami Rohana. Ketika Hasan masih tinggal di desa sebelum pergi merantau, Ratna sering mencoba untuk mendekatinya dengan berbagai cara – mulai dari memberikan kue yang dibuatnya sendiri hingga mencari alasan untuk datang ke rumah Hasan dan Rohana. Namun Hasan selalu menjaga jarak dengan Ratna, karena hatinya sudah penuh dengan cinta untuk Rohana. Hal itu membuat Ratna semakin marah dan iri hati terhadap Rohana.
Hari-hari berlalu dengan cara yang sama bagi Rohana. Ia bangun lebih awal dari matahari terbit untuk mengurus kebun teh milik keluarga, kemudian pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, dan menghabiskan sore harinya dengan mengurus rumah dan membantu tetangga yang kesusahan. Setiap bulan, ia akan menerima surat dari Hasan yang selalu penuh dengan cinta dan doa agar Rohana dan anak yang dikandungnya selalu dalam keadaan sehat.
“Salam untukmu, cintaku Rohana,” begitu awal surat yang selalu ditulis Hasan. “Aku selalu merindukanmu setiap hari. Aku bekerja keras di sini agar kita bisa memiliki rumah yang lebih baik dan anak kita bisa mendapatkan pendidikan yang baik kelak. Mohon maaf karena aku harus meninggalkanmu dan membuatmu harus menghadapi segala sesuatu sendirian. Aku berjanji bahwa aku akan segera pulang ketika pekerjaanku di sini selesai. Cintaku padamu tidak akan pernah pudar, bahkan jika aku harus berada jauh darimu.”
Membaca surat dari suaminya selalu membuat Rohana merasa lega dan kuat. Ia percaya bahwa cinta mereka akan mampu mengatasi segala rintangan yang datang, termasuk jarak yang jauh dan kesusahan hidup yang harus mereka hadapi.
Namun kedamaian yang dirasakan Rohana tidak bertahan lama. Pada suatu malam ketika musim hujan sedang datang dengan derasnya, sebuah desas-desus mulai menyebar di desa Cikembar. Mulai dari tetangga yang berkata bahwa mereka melihat Rohana sedang bertemu dengan seorang pria tidak dikenal di hutan dekat kebun teh, hingga cerita bahwa Rohana sering pergi keluar rumah pada malam hari tanpa memberitahu siapapun.
Desas-desus itu berasal dari Ratna, yang dengan sengaja menyebarkan kebohongan tentang Rohana ke seluruh desa. Ia berkata bahwa ia sendiri pernah melihat Rohana sedang melakukan perbuatan tidak senonoh dengan seorang pria Belanda yang bekerja sebagai pengawas kebun teh milik perusahaan kolonial. Ia bahkan menunjukkan kain batik putih yang dikatakan sebagai bukti bahwa Rohana telah berbuat kesalahan, padahal kain itu adalah miliknya sendiri yang ia sengaja sobek dan beri noda untuk membuatnya tampak seperti telah digunakan dalam perbuatan terlarang.
“Aku tidak bohong, Pak Kades,” ujar Ratna dengan penuh keyakinan ketika menghadap kepala desa yang telah memanggilnya untuk membicarakan desas-desus yang ia sebarkan. “Aku sendiri yang melihatnya dengan mata kepalakuku. Rohana sedang berbuat mesum dengan seorang pria Belanda di hutan dekat kebun teh. Kain batik ini adalah buktinya – aku temukan di lokasi kejadian dan aku tahu bahwa kain itu milik Rohana karena aku pernah melihatnya memakainya ketika pergi ke pasar beberapa waktu yang lalu.”
Kepala desa yang bernama Pak Suroso adalah seorang pria tua yang mudah terpengaruh oleh kata-kata orang lain. Ia tidak menyukai Rohana karena merasa bahwa kebaikan Rohana membuatnya terlihat tidak berguna sebagai kepala desa. Jadi ketika mendengar cerita dari Ratna, ia langsung percaya tanpa melakukan penyelidikan yang cermat.
“Baiklah, Ratna. Aku akan menangani masalah ini dengan segera,” ujar Pak Suroso dengan suara yang tegas. “Kita tidak bisa membiarkan seorang wanita melakukan perbuatan terlarang di desa kita. Ini akan merusak nama baik desa Cikembar dan membuat kita menjadi bahan ejekan bagi desa-desa lain di sekitar sini.”
Pada hari berikutnya, Pak Suroso mengumpulkan semua warga desa di lapangan utama desa yang terletak di depan masjid tua yang dibangun pada zaman dahulu. Ia berdiri di atas panggung kayu yang sederhana, menatap warga dengan wajah yang penuh dengan kemarahan.
“Warga desa Cikembar yang terhormat,” mulai ujar Pak Suroso dengan suara yang keras agar bisa terdengar oleh semua orang. “Kita telah menerima kabar yang sangat memalukan bagi desa kita. Seorang wanita bernama Rohana, istri dari Hasan yang sedang merantau di Batavia, telah melakukan perbuatan mesum dengan seorang pria Belanda. Bukti telah ditemukan dan cerita ini telah dikonfirmasi oleh beberapa orang yang telah melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri.”
Suara bisik-bisik mulai terdengar di antara warga desa. Mereka melihat arah rumah Rohana dengan pandangan yang penuh dengan kejutan dan kemarahan. Banyak dari mereka yang tidak percaya bahwa Rohana – wanita yang dikenal baik hati dan pekerja keras – bisa melakukan hal seperti itu. Namun ada juga yang langsung percaya karena sudah sering mendengar desas-desus dari Ratna dan orang lain.
“Kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi tanpa ada hukuman yang sesuai,” lanjut Pak Suroso dengan suara yang semakin keras. “Menurut adat istiadat kita, seorang wanita yang melakukan perbuatan terlarang seperti ini harus dihukum dengan cara yang paling keras agar tidak ada orang lain yang berani melakukan hal yang sama. Rohana akan dibakar hidup-hidup di tengah lapangan desa ini sebagai contoh bagi semua orang.”
Suara teriakan dan sorak-sorai mulai terdengar di antara warga desa. Beberapa orang yang marah mulai mengambil kayu bakar dari sekitar lapangan dan menyusunnya menjadi tumpukan yang tinggi di tengah lapangan. Mereka tidak mau mendengar penjelasan apa pun dari Rohana, yang saat itu sedang berada di rumahnya dengan wajah yang penuh dengan ketakutan dan keterkejutan.
Rohana telah mendengar suara kerumunan yang sedang berkumpul di lapangan desa. Ia keluar dari rumah dengan tubuh yang gemetar, mencoba untuk menjelaskan bahwa semua yang dikatakan Ratna adalah kebohongan belaka. Namun ketika ia sampai di lapangan, ia langsung dikelilingi oleh warga desa yang marah. Mereka menarik rambutnya, memukulnya dengan tangan dan kayu yang mereka pegang, hingga wajahnya yang cantik menjadi penuh dengan luka dan darah.
“Tidak benar! Aku tidak melakukan apa-apa!” teriak Rohana dengan suara yang bergetar dan penuh dengan rasa sakit hati. “Aku mencintai suamiku dengan sepenuh hati. Aku tidak akan pernah melakukan hal yang bisa menyakiti dia atau merusak nama baik keluarga kita!”
Namun tidak seorang pun yang mau mendengar penjelasannya. Bahkan tetangga yang dulu sering dibantu oleh Rohana kini berdiri di antara kerumunan yang marah, memandangnya dengan pandangan yang penuh dengan kebencian. Hanya Siti, anak tetangga yang selalu membantu Rohana, yang berdiri di kejauhan dengan wajah yang penuh dengan kesusahan dan menangis melihat apa yang terjadi pada orang yang ia anggap sebagai kakak sendiri.
“Jangan lakukan ini kepada saya! Saya sedang mengandung anak suami saya!” teriak Rohana lagi dengan suara yang semakin lemah akibat pukulan yang terus menerus ia terima. “Mohon berikan saya kesempatan untuk membuktikan bahwa saya tidak bersalah!”
Tetapi kata-katanya tidak pernah sampai ke hati warga desa yang telah terbawa emosi oleh cerita bohong yang disebarkan oleh Ratna. Mereka mengikat tangan dan kaki Rohana dengan tali yang kuat, kemudian melemparkannya ke atas tumpukan kayu bakar yang telah mereka susun. Ratna berdiri di depan kerumunan dengan wajah yang penuh dengan senyum kejam, melihat dengan senang hati ketika Rohana sedang berjuang untuk bebas dari tali yang mengikatnya.
“Bakar dia! Bakar perempuan durhaka ini!” teriak salah satu warga desa dengan suara yang penuh dengan kemarahan, mengambil sebatang kayu bakar yang sudah menyala dan menodongkannya ke arah tumpukan kayu yang berada di bawah Rohana.
Kebakaran segera menyala dengan cepat, membakar tubuh Rohana yang masih hidup. Suara jeritan dan teriakan kesakitan yang menusuk hati terdengar di seluruh lapangan desa, namun tidak seorang pun yang berani untuk menghentikan apa yang sedang terjadi. Mereka hanya berdiri diam, melihat dengan wajah yang penuh dengan kebencian dan kepuasan ketika api menghanguskan tubuh wanita muda yang sedang mengandung anak.
Sebelum nyawa nya terlepas, Rohana mengangkat kepalanya dengan usaha yang sangat besar, menatap arah rumahnya dengan mata yang penuh dengan rasa sakit hati dan dendam. Ia mengeluarkan suara terakhir yang penuh dengan amukan dan doa balas dendam:
“Aku akan kembali! Aku akan membalas semua yang telah kalian lakukan padaku! Setiap orang yang terlibat dalam pembunuhan ini akan mendapatkan hukuman yang setimpal! Dan wanita yang telah menghasut kalian untuk melakukan ini akan menjadi yang terakhir!”
Setelah itu, nyawa Rohana terlepas bersama dengan anak yang dikandungnya di dalam perutnya. Api semakin besar membakar tubuhnya hingga hanya tinggal tulang belulang yang hitam dan rapuh. Warga desa kemudian membubarkan diri dengan hati yang merasa lega karena telah menghukum orang yang mereka anggap telah melakukan kesalahan besar. Namun mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan telah membangkitkan roh jahat yang akan mengganggu ketenangan desa Cikembar selama bertahun-tahun yang akan datang.
_______
Sejak malam itu, desa Cikembar menjadi tempat yang penuh dengan ketakutan dan kesusahan. Setiap malam, suara tangisan dan teriakan seorang wanita muda terdengar di seluruh desa, terutama di sekitar lapangan desa tempat Rohana dibakar hidup-hidup. Beberapa warga yang berani keluar rumah pada malam hari mengatakan bahwa mereka melihat sosok seorang wanita dengan rambut panjang yang kusut dan wajah yang terbakar hitam berkeliaran di sekitar desa, membawa anak bayi yang juga terbakar di dalam pelukannya.
Itu adalah kuntilanak Rohana, yang telah kembali untuk membalas dendam kepada semua orang yang terlibat dalam pembunuhannya.
Yang pertama menjadi korban adalah seorang pria bernama Joko, yang merupakan orang pertama yang menodongkan kayu bakar menyala ke arah tumpukan kayu di bawah Rohana. Pada malam ketiga setelah pembunuhan Rohana, Joko sedang pulang dari kebun teh miliknya yang terletak di kaki gunung. Ia merasa sangat lelah dan tidak menyadari bahwa ada sosok hitam yang mengikuti langkahnya dari kejauhan.
Ketika ia sampai di jalan tanah yang sepi di dekat hutan, sosok itu tiba-tiba muncul di depannya. Joko terkejut melihat wajah wanita yang terbakar hitam dengan mata yang merah menyala dan mulut yang terbuka lebar mengeluarkan suara tangisan yang menusuk hati. Anak bayi yang terbakar di dalam pelukannya juga menangis dengan suara yang sangat keras hingga membuat telinga Joko berdenging.
“Kamu adalah salah satu orang yang telah membunuhku dan anakku!” suara kuntilanak terdengar seperti angin yang sejuk namun penuh dengan amukan. “Sekarang waktumu telah tiba untuk membayar semua yang telah kamu lakukan padaku!”
Sebelum Joko bisa berkata apa-apa atau berlari untuk menyelamatkan diri, kuntilanak tersebut melesat cepat ke arahnya dan menusuk lehernya dengan kuku yang panjang dan tajam seperti pisau. Darah segera menyembur deras dari leher Joko, yang kemudian jatuh ke tanah dengan mata yang terbuka lebar penuh dengan ketakutan. Tubuhnya kemudian menjadi dingin dan tidak bernyawa dalam hitungan detik.
Keesokan harinya, tubuh Joko ditemukan oleh seorang petani yang sedang pergi ke kebunnya. Wajahnya penuh dengan ekspresi ketakutan yang sangat dalam, dan ada bekas luka yang dalam di lehernya yang tampak seperti dibuat oleh kuku binatang buas. Kabar tentang kematian Joko segera menyebar ke seluruh desa, membuat warga menjadi semakin takut. Namun masih banyak yang tidak percaya bahwa kematian Joko ada hubungannya dengan roh Rohana yang telah mereka bunuh.
Namun ketika korban berikutnya muncul hanya beberapa hari kemudian, semua orang mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak wajar yang sedang terjadi di desa Cikembar. Kali ini yang menjadi korban adalah seorang wanita bernama Aminah, yang telah ikut serta dalam mengikat tangan dan kaki Rohana sebelum ia dibakar. Aminah ditemukan mati di dalam rumahnya dengan wajah yang penuh dengan ketakutan dan tubuhnya yang penuh dengan bekas luka yang mirip dengan bekas gigitan hewan liar.
Setelah itu, korban-korban lain mulai muncul satu demi satu. Setiap orang yang terlibat dalam pembunuhan Rohana – mulai dari mereka yang telah memberikan pukulan padanya hingga mereka yang telah menyebarkan desas-desus tentangnya – mengalami kematian yang tragis dan tak wajar. Beberapa ditemukan mati di dalam rumah mereka dengan wajah yang membeku dalam ekspresi ketakutan yang sangat dalam, beberapa ditemukan mati di hutan dengan tubuh yang penuh dengan luka dan goresan, dan yang paling mengerikan adalah seorang pria yang ditemukan mati di tengah lapangan desa tempat Rohana dibakar dengan tubuhnya yang terbakar hitam seperti telah dibakar oleh api yang sangat panas padahal tidak ada tanda-tanda kebakaran di sekitarnya.
Keterkejutan dan ketakutan mulai menyebar ke seluruh desa. Warga tidak berani keluar rumah pada malam hari lagi, bahkan beberapa yang memiliki cukup uang memutuskan untuk pindah dari desa Cikembar dan mencari tempat tinggal baru di desa lain atau di kota. Namun bagi mereka yang tidak punya pilihan lain selain tinggal di desa, hidup menjadi sangat sulit dan penuh dengan ketakutan.
Ratna sendiri mulai merasa takut setelah melihat apa yang terjadi pada orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Rohana. Ia mencoba untuk menyembunyikan perasaannya dan terus bekerja sebagai penjual kue di pasar desa seperti biasa, namun dalam hatinya yang paling dalam ia tahu bahwa suatu hari nanti, kuntilanak Rohana akan datang untuk membayar semua yang telah ia lakukan.
Setiap malam, Ratna akan mengunci pintu dan jendela rumahnya dengan sangat rapat, menyalakan lilin di setiap sudut rumah, dan berdoa kepada Tuhan agar dia tidak diganggu oleh roh jahat. Namun ia juga tahu bahwa doanya tidak akan pernah didengar karena apaapa yang telah ia lakukan adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan.
Pada malam yang sangat gelap dan hujan turun dengan derasnya, sekitar tiga bulan setelah pembunuhan Rohana, Ratna sedang duduk di ruang tamu rumahnya sambil mengupas kelapa untuk membuat kue besok pagi. Ia merasa sangat gelisah dan tidak bisa fokus pada pekerjaannya, karena setiap suara angin yang bertiup atau suara daun yang bergoyang membuatnya merasa seperti ada seseorang yang mengawasinya dari kejauhan.
Tiba-tiba, lampu minyak yang menyala di mejanya mulai berkedip-kedip dengan tidak teratur. Udara di dalam rumah yang biasanya hangat menjadi sangat dingin dalam sekejap, dan aroma bau bakar yang sangat kuat mulai memenuhi setiap sudut ruangan. Ratna merasa jantungnya berdebar kencang dan keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Ia ingin berdiri dan berlari untuk menyelamatkan diri, namun tubuhnya seperti terpaku di tempat dan tidak bisa bergerak sama sekali.
Dari arah belakangnya, terdengar suara bayi yang menangis dengan sangat keras. Suaranya menusuk hati dan membuat telinga Ratna berdenging. Ia berusaha untuk memutar kepalanya untuk melihat apa yang terjadi, namun lehernya seperti terkunci dan tidak bisa bergerak. Suara tangisan bayi semakin dekat, diikuti oleh suara langkah kaki wanita yang lembut namun jelas terdengar di lantai kayu rumahnya.
“Kamu telah lama menungguku, Ratna,” suara yang dingin dan penuh dengan amukan terdengar di telinga Ratna. Suaranya sangat akrab baginya – itu adalah suara Rohana yang telah ia bunuh bersama dengan warga desa. “Kamu adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kematianku dan anakku. Kamu yang menyebarkan kebohongan tentangku, kamu yang menghasut warga desa untuk membunuhku. Sekarang waktumu telah tiba untuk membayar semua yang telah kamu lakukan.”
Akhirnya, Ratna bisa memutar kepalanya dan melihat sosok yang berdiri di belakangnya. Itu adalah Rohana, namun wajahnya yang dulu cantik kini telah berubah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan – kulitnya terbakar hitam dan penuh dengan lepuh, matanya merah menyala seperti bara api, dan rambutnya panjang kusut dengan percikan api yang terkadang muncul dari ujungnya. Di dalam pelukannya, ada seorang bayi yang juga terbakar hitam dengan mata yang sama merah menyala seperti ibunya.
“Tidak… tolong jangan lakukan ini padaku!” teriak Ratna dengan suara yang bergetar dan penuh dengan ketakutan, akhirnya bisa bergerak dan mencoba berlari ke arah pintu. Namun sebelum ia bisa mencapai pintu, kuntilanak Rohana melesat cepat ke arahnya dan menjepit lehernya dengan tangan yang dingin seperti es batu.
“Kamu tidak punya hak untuk meminta ampun setelah apa yang telah kamu lakukan padaku,” ujar kuntilanak dengan suara yang semakin dingin. “Kamu telah menghancurkan hidupku, menghancurkan harapanku untuk bersama suamiku dan anakku. Sekarang aku akan membuatmu merasakan rasa sakit dan penderitaan yang sama seperti yang telah kurasakan.”
Ratna merasa napasnya mulai tersumbat dan wajahnya menjadi biru akibat kurangnya oksigen. Ia mencoba untuk menarik diri dari tangan kuntilanak yang menjepit lehernya dengan kuat, namun tidak bisa melakukan apa-apa. Sebelum nyawanya terlepas, ia melihat wajah kuntilanak Rohana yang penuh dengan dendam dan mendengar kata-kata terakhir yang akan selalu mengganggunya bahkan setelah kematiannya:
“Kamu adalah yang terakhir, Ratna. Setelah kamu, tidak akan ada orang lain yang harus membayar untuk kejahatan yang telah dilakukan. Namun ingatlah – dosamu akan selalu mengikutimu bahkan di alam baka.”
Setelah itu, nyawa Ratna terlepas. Tubuhnya jatuh ke tanah dengan mata yang terbuka lebar penuh dengan ketakutan yang sangat dalam. Kuntilanak Rohana kemudian berdiri di atas tubuhnya dengan pandangan yang penuh dengan kepuasan namun juga rasa sakit hati yang mendalam. Ia melihat ke arah langit yang masih hujan deras, kemudian menghilang bersama dengan bayi yang ada dalam pelukannya, menyisakan aroma bau bakar dan kesunyian yang sangat dalam di rumah Ratna.
Keesokan harinya, tubuh Ratna ditemukan oleh tetangga yang merasa heran karena tidak melihatnya datang ke pasar seperti biasa. Kabar tentang kematian Ratna segera menyebar ke seluruh desa, dan warga yang tersisa merasa campur aduk antara lega dan takut. Mereka tahu bahwa sekarang sudah tidak ada orang lain yang akan menjadi korban kuntilanak Rohana, namun mereka juga tahu bahwa dosa yang telah mereka lakukan tidak akan pernah bisa terhapus begitu saja.
________
BAGIAN KETIGA: KEDATANGAN YANG DI TUNGGU-TUNGGU
Pada hari yang sama ketika tubuh Ratna ditemukan, sebuah kereta kuda berhenti di depan pintu masjid tua desa Cikembar. Dari dalam kereta tersebut keluar seorang pria muda dengan wajah yang tampak lelah namun penuh dengan keteguhan hati. Ia mengenakan baju koko putih bersih dengan sarung batik hitam, dan membawa sebuah tas kayu yang cukup besar di tangannya. Itu adalah Hasan, suami Rohana yang telah kembali dari Batavia setelah menerima kabar tentang apa yang terjadi pada istri dan anaknya yang belum lahir.
Hasan telah bekerja keras di pabrik gula selama enam bulan dengan harapan bisa mendapatkan uang yang cukup untuk membangun rumah yang lebih baik bagi keluarga kecilnya. Setiap hari ia merindukan Rohana dan selalu berdoa agar istri dan anaknya selalu dalam keadaan sehat. Namun beberapa hari yang lalu, ia menerima surat dari seorang teman yang tinggal di desa dekat Cikembar yang memberitahukan tentang pembunuhan Rohana oleh warga desa yang telah terpengaruh oleh cerita bohong yang disebarkan oleh Ratna.
Hasan merasa dunia nya runtuh ketika membaca surat itu. Ia segera mengajukan permohonan untuk cuti dan mengambil semua uang yang telah ia tabung selama ini untuk membeli tiket kereta kuda pulang ke desa. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana bisa istri yang dicintainya dengan sepenuh hati dibunuh dengan cara yang begitu kejam oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.
Ketika Hasan sampai di desa Cikembar, yang pertama kali ia lakukan adalah pergi ke rumahnya yang kini sudah kosong dan hampa. Ia melihat furnitur dan barang-barang yang masih ada di rumah dengan mata yang penuh dengan kesedihan dan kemarahan. Foto kecil Rohana yang ditempel di dinding kamar tidur mereka masih terlihat jelas, dengan senyumnya yang manis yang selalu membuat hatinya merasa hangat.
“Aku minta maaf, cintaku,” bisik Hasan dengan suara yang bergetar dan penuh dengan kesedihan, menangis sambil mencium foto istri yang dicintainya. “Aku tidak seharusnya pergi meninggalkanmu sendirian. Jika aku ada di sini, aku pasti akan melindungimu dan anak kita dari bahaya.”
Setelah itu, Hasan pergi ke rumah Kyai Mansur – seorang ulama yang sangat dihormati di desa Cikembar dan sekitarnya. Kyai Mansur adalah orang yang pertama kali mengajarkan agama kepada Hasan dan Rohana ketika mereka masih muda, dan ia selalu menjadi tempat berbagi bagi mereka ketika menghadapi kesulitan hidup.
Saat sampai di depan rumah kayu Kyai Mansur yang terletak di belakang masjid tua, Hasan membersihkan wajahnya dan mengatur pakaiannya dengan rapi sebelum mengetuk pintu dengan lembut.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kyai,” ujar Hasan dengan suara yang jelas dan penuh dengan rasa hormat ketika pintu dibuka oleh salah satu santri Kyai Mansur.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Hasan,” jawab Kyai Mansur yang sudah berdiri di dalam ruangan dengan wajah yang penuh dengan kesedihan dan pengertian. Ia telah mengetahui tentang apa yang terjadi pada Rohana dan dampaknya terhadap desa Cikembar. Ia juga telah berdoa setiap hari agar roh Rohana bisa menemukan kedamaian dan tidak terus menerus mengganggu warga desa. “Kamu sudah kembali ya, anakku. Masuklah dan duduklah.”
Hasan masuk dan duduk di lantai dengan sikap yang sopan, meletakkan tas kayu yang dibawanya di sisi kanannya. Ia melihat Kyai Mansur yang sudah berusia lanjut dengan rambut dan janggut yang putih bersih dengan mata yang penuh dengan kasih sayang dan kebijaksanaan.
“Kyai, aku sudah kembali,” ujar Hasan dengan suara yang rendah. “Aku telah mendengar semua yang terjadi pada Rohana dan anak kita. Aku datang untuk meminta bimbingan dan bantuan dari Kyai. Aku tahu bahwa apa yang terjadi pada Rohana bukan hanya karena kesedihan dan dendamnya semata. Terdapat kekuatan jin qorin yang telah menguasai dirinya setelah kematiannya yang kejam. Mohon bantuannya untuk membereskan kekuatan tersebut dengan doa dan keteguhan hati kita berlindung kepada Allah SWT.”
Kyai Mansur mengangguk dengan lembut, mengambil sebuah gelas air putih dan memberikannya kepada Hasan. “Aku sudah menunggumu, Hasan. Aku tahu bahwa kamu akan kembali segera setelah mengetahui apa yang terjadi pada Rohana. Apa yang telah dilakukan oleh warga desa terhadap Rohana adalah sebuah kejahatan yang sangat besar. Mereka telah menyalahgunakan hukum adat untuk melakukan pembunuhan yang kejam tanpa melakukan penyelidikan yang cermat terlebih dahulu.”
“Dan benar seperti yang kamu katakan, anakku,” lanjut Kyai Mansur sambil mengambil sebuah kitab suci yang terletak di mejanya. “Setiap manusia memiliki jin qorin yang selalu mengikutinya selama hidupnya. Ketika seseorang meninggal dunia dengan hati yang penuh dengan dendam dan kesedihan yang mendalam, jin qorin tersebut bisa menjadi kuat dan menguasai rohnya, membuatnya menjadi makhluk halus yang mengganggu ketenangan orang lain. Itulah yang terjadi pada Rohana.”
“Namun kita tidak bisa menggunakan kekerasan untuk menghadapi kekuatan tersebut,” tegas Kyai Mansur dengan mata yang penuh dengan keyakinan. “Kita hanya bisa menggunakan kekuatan doa dan keimanan kita kepada Allah SWT untuk membereskan jin qorin tersebut dan membuat damai roh Rohana. Kita akan berlindung kepada Allah dari godaan syaitan dan kekuatan jin yang tidak baik. Kamu bersedia membantu aku untuk melakukan hal ini, bukan?”
Hasan mengangguk dengan tegas, menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat. “Aku akan melakukan apa saja yang diperlukan, Kyai. Aku hanya ingin Rohana dan anak kita bisa menemukan kedamaian yang layak bagi mereka. Dan aku juga berharap agar warga desa bisa menyadari kesalahan mereka dan meminta maaf dengan tulus kepada Rohana.”
Setelah itu, Kyai Mansur menjelaskan rencananya kepada Hasan. Ia akan mengumpulkan seluruh warga desa yang masih tinggal di Cikembar untuk meminta maaf secara langsung kepada roh Rohana. Kemudian Kyai akan melakukan sebuah upacara doa untuk memanggil roh Rohana, membereskan jin qorin yang menguasainya dengan doa dan bacaan suci, serta meminta agar ia bisa menemukan kedamaian dan pergi meninggalkan desa Cikembar dengan damai. Upacara tersebut akan dilakukan pada malam berikutnya di lapangan desa tempat Rohana dibakar, karena itu adalah tempat di mana energi dari kematiannya paling kuat dan paling mudah untuk dijangkau.
“Kita tidak akan melakukan apa-apa yang menyimpang dari ajaran agama kita,” jelas Kyai Mansur dengan suara yang tegas. “Semua yang kita lakukan akan berdasarkan doa dan keteguhan hati kita berlindung kepada Allah SWT. Hanya dengan kekuatan-Nya lah kita bisa mengatasi segala kekuatan yang tidak baik dan membawa kedamaian bagi semua pihak.”
Pada malam yang telah ditentukan, seluruh warga desa yang masih tinggal di Cikembar berkumpul di lapangan desa. Mereka berdiri dengan wajah yang penuh dengan rasa takut dan bersalah, menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan terhadap Rohana adalah sebuah kesalahan yang sangat besar. Sebelum memulai doa, Kyai Mansur berdiri di depan kerumunan dengan suara yang kuat dan jelas terdengar:
“Warga desa Cikembar yang terhormat, sebelum kita memulai doa untuk Rohana, mari kita semua meminta maaf dengan tulus kepada almarhumah dan mengucapkan permintaan maaf kita dengan hati yang tulus, karena hanya dengan maaf yang tulus lah kedamaian bisa datang.”
Dengan segera, seluruh warga desa termasuk Pak Suroso sebagai kepala desa berlutut di tanah dengan pandangan yang menunduk ke lantai. Pak Suroso yang dulu sombong kini berdiri dengan wajah yang penuh dengan kesedihan dan rasa bersalah:
“Ya Allah, sungguh kami telah berbuat salah besar,” mulai ujar Pak Suroso dengan suara yang bergetar dan penuh dengan tangisan. “Kami meminta maaf kepada-Mu atas dosa yang telah kami lakukan dengan membunuh Rohana yang tidak bersalah. Dan kami juga meminta maaf kepada almarhumah Rohana dan keluarga besarnya. Kami telah terbawa emosi oleh cerita bohong dan telah melakukan hal yang sangat kejam padanya. Kami tidak punya alasan yang bisa membenarkan perbuatan kami. Mohon ampunilah kami, ya Allah, dan berikanlah kekuatan kepada kami untuk menjadi orang yang lebih baik di masa depan.”
Setelah Pak Suroso selesai berbicara, satu per satu warga desa mengucapkan permintaan maaf mereka dengan hati yang tulus. Beberapa menangis tidak henti, menyadari betapa besar kesalahan yang telah mereka lakukan terhadap wanita yang dulu selalu membantu mereka dengan senang hati.
Setelah semua warga desa selesai meminta maaf, Kyai Mansur mulai membaca doa dan bacaan suci dari kitab suci. Suaranya yang dalam dan penuh dengan keyakinan terdengar jelas di tengah kesunyian malam, membuat semua orang yang hadir merasa seperti ada kekuatan yang hebat yang sedang hadir di sekitar mereka.
“Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari godaan syaitan yang terkutuk dan dari segala kekuatan jin yang tidak baik,” ucap Kyai Mansur dengan suara yang penuh dengan keteguhan hati. “Ya Allah, berikanlah kekuatan kepada kami untuk mengatasi segala yang tidak baik, dan berikanlah kedamaian kepada roh almarhumah Rohana serta anaknya yang belum lahir. Ampunilah dosa mereka dan dosa kami semua, ya Allah.”
Setelah beberapa saat, angin mulai bertiup dengan kencang, dan awan-awan mulai menutupi bulan yang tadinya bersinar terang. Udara menjadi sangat dingin, dan aroma bau bakar yang sudah tidak terasa selama beberapa hari kembali memenuhi udara. Dari kejauhan, terdengar suara tangisan bayi yang perlahan semakin dekat, diikuti oleh sosok seorang wanita dengan rambut panjang yang kusut yang muncul dari dalam kegelapan.
Itu adalah Rohana yang telah menjadi kuntilanak, dengan wajah yang masih mengerikan namun kini juga terlihat penuh dengan rasa sakit hati dan kesedihan. Jin qorin yang menguasainya tampak sebagai bentuk bayangan hitam yang mengelilingi tubuhnya, dengan mata yang merah menyala dan mulut yang terbuka lebar mengeluarkan suara mengerikan.
Kyai Mansur tetap berdiri dengan tenang, terus membaca bacaan suci dengan suara yang semakin kuat dan jelas. “Wahai jin qorin kamu tidak berhak untuk terus mengikatnya dan membuatnya menderita. Kami berlindung kepada Allah SWT dari kekuatanmu yang tidak baik. Lepaskanlah dirimu dari roh almarhumah Rohana dan pergilah meninggalkan desa ini dengan damai!”
Saat Kyai Mansur mengucapkan kata-kata tersebut, sinar cahaya putih mulai muncul dari arah masjid tua, menerangi seluruh lapangan desa. Jin qorin yang mengelilingi Rohana mulai bergetar dan bersandar ke belakang, seolah terkena kekuatan yang sangat kuat. Hasan dengan berani melangkah ke depan dan berdiri di hadapan Rohana, mengangkat kalung perak yang pernah dikenakannya dengan kedua tangannya:
“Cintaku Rohana, aku sudah kembali,” ujar Hasan dengan suara yang lembut namun jelas terdengar. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu mencintaimu. Tapi kamu harus melepaskan rasa dendam yang ada di hatimu dan biarkan jin qorin ini pergi. Bersandarilah kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia akan memberikan kedamaian yang kamu butuhkan.”
Pada saat itu, Kyai Mansur membaca ayat suci dengan suara yang semakin kuat: “Qul huwa Allahu Ahad, Allahus Samad…”
Seiring dengan bacaan tersebut, jin qorin yang menguasai Rohana mulai memudar perlahan ke dalam udara malam, dengan suara jeritan yang menusuk hati namun semakin redup seiring waktu. Setelah jin qorin benar-benar hilang, wajah Rohana yang dulu mengerikan mulai perlahan berubah menjadi seperti wajah Rohana yang dikenal oleh semua orang – cantik dengan mata yang lembut dan penuh dengan cinta. Air mata mulai mengalir dari matanya, bukan darah melainkan air mata yang sebenar-benarnya.
Bulan muncul kembali dari balik awan dengan cahaya yang terang dan hangat. Udara menjadi hangat kembali, dan aroma bau bakar yang menyengat digantikan oleh aroma bunga melati yang harum. Semua warga desa merasa seperti ada beban yang sangat berat yang telah diangkat dari pundak mereka, dan mereka berdiri dengan wajah yang penuh dengan rasa lega dan harapan.
________
Sejak malam itu, kehidupan di desa Cikembar mulai kembali normal. Warga desa yang dulunya hidup dalam ketakutan kini mulai hidup dengan penuh harapan dan semangat untuk membangun desa yang lebih baik. Mereka bekerja sama untuk memperbaiki rumah-rumah yang rusak, membersihkan kebun teh dan ladang padi yang telah ditinggalkan, dan membangun hubungan yang lebih erat dan saling menghargai satu sama lain.
Hasan memutuskan untuk tinggal di desa Cikembar dan melanjutkan usaha yang pernah dilakukan oleh Rohana – mengurus kebun teh milik keluarga dan membantu tetangga yang kesusahan. Ia tidak pernah melupakan istri dan anaknya yang telah terbunuh dengan kejam, namun ia memilih untuk mengubah rasa sakit yang ada di hatinya menjadi kekuatan untuk melakukan kebaikan bagi orang lain.
Pada setiap pertemuan masyarakat desa, warga selalu mengingatkan satu sama lain tentang pentingnya tidak mudah terpengaruh oleh cerita bohong dan selalu mencari kebenaran sebelum mengambil keputusan. Pak Suroso yang dulunya menjadi kepala desa yang mudah terpengaruh telah mengundurkan diri dari jabatannya dan memilih untuk menjadi seorang petani biasa yang selalu membantu orang lain dengan senang hati.
Desa Cikembar akhirnya kembali menjadi desa yang damai dan penuh dengan kedamaian. Meskipun kejadian yang menyakitkan pada Rohana tidak bisa dihapus dari ingatan mereka, namun mereka memilih untuk mengambil hikmah dari peristiwa tersebut dan menjadi orang yang lebih baik. Mereka tahu bahwa hanya dengan cinta, pengertian, dan keimanan yang kuat kepada Allah SWT lah kehidupan bisa menjadi lebih baik dan penuh dengan harapan.
“Ya Allah, berikanlah kepada kita kekuatan untuk selalu mencari kebenaran, kasih sayang untuk sesama manusia, dan keimanan yang kuat kepada-Mu,” ujar Kyai Mansur setiap kali ia mengajak warga desa berdoa bersama. “Semoga kita semua bisa hidup dalam kedamaian dan membawa kebaikan bagi sesama.”
Dan demikianlah desa Cikembar hidup damai hingga kini, dengan ingatan akan Rohana yang selalu menjadi pengingat akan pentingnya kebenaran, cinta, dan keimanan dalam kehidupan.