BAGIAN PERTAMA
Matahari sudah mulai menyingsing tinggi ketika Ana membuka pintu rumah dengan hati yang lelah namun tetap penuh semangat. Tas kerja yang terasa semakin berat menggantung di bahunya, seragam guru putih dengan rok hitam yang selalu ia rapi dengan teliti kini sedikit kusut akibat perjalanan pulang dari sekolah. Ia mendorong pintu kayu dengan bahu, sambil mencoba menyeimbangkan tas dan plastik berisi makanan yang baru saja ia beli di pasar dekat sekolah.
“Bu, kamu pulang sudah?” suara gadis berusia empat belas tahun yang tengah duduk di ruang tamu, mengerjakan pekerjaan rumah matematika, terdengar menyambutnya. Itu adalah Zahra, anak perempuan pertama yang kini sedang berada di kelas tiga SMP. Di sebelahnya, Rafi – anak laki-laki berusia sembilan tahun yang masih bersekolah di kelas empat SD – sibuk bermain dengan mainan kereta api yang sudah cukup lama namun tetap ia sayangi.
“Ya nak, sudah. Rafi, jangan terlalu lama main mainan ya, besok kamu harus mengerjakan PR bahasa Indonesia yang sudah Bu guru berikan,” ujar Ana dengan nada lembut namun tegas, sambil menaruh barang-barangnya di meja dapur. Dari arah kamar belakang, terdengar suara jedag jedug dari ponsel pintar yang terus berulang kali menyala, menunjukkan bahwa seseorang sedang asyik dengan permainan atau media sosialnya.
Ana menarik nafas dalam-dalam sebelum memasuki kamar tidur yang juga dijadikan ruang tamu keluarga kecil mereka. Di sana, Safarudin – suaminya yang sudah tiga tahun tidak bekerja – sedang terlentang di kasur, mata terfokus penuh pada layar ponselnya. Rambutnya yang sedikit keriting kini tampak kusut, baju dalam yang ia kenakan sudah mulai menguning di bagian ketiak, dan bau keringat mulai tercium di setiap sudut kamar yang tidak terlalu luas.
“Hai, Abang sudah makan belum?” tanya Ana dengan nada yang tetap ramah, meskipun hati sudah mulai terasa berat melihat kondisi suaminya yang setiap hari hanya seperti itu.
Safarudin hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. “Sudah makan nasi yang kamu tinggalkan kemarin sore, Ana. Kamu pulang telat ya hari ini?”
“Iya, ada rapat dewan guru karena akan ada kunjungan dari dinas pendidikan minggu depan. Selain itu, sebagai kepala sekolah aku harus memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik,” jawab Ana sambil mulai membersihkan tempat tidur yang sedikit berantakan. “Abang, kamu sudah berpikir tentang pekerjaan lagi belum? Zahra akan mulai ujian akhir semester dan butuh biaya untuk buku pelengkap, Rafi juga butuh uang untuk ekstrakurikuler pramuka mereka.”
Safarudin menghela nafas panjang, akhirnya mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arah istrinya. Wajahnya yang dulu tampak bersemangat ketika masih berjualan buah di pasar kini tampak lesu dan penuh dengan keraguan. “Aku sudah coba cari tahu, Ana. Tapi sekarang banyak orang yang berjualan buah, persaingannya sangat ketat. Aku juga sudah pernah mencoba kerja di kontraktor milik teman, tapi mereka tidak butuh tenaga lagi setelah proyek selesai bulan lalu.”
Ana duduk di tepi kasur, menjemur tangan suaminya yang kini mulai sedikit kurus. Ia tahu bahwa kata-kata itu bukan hanya alasan belaka. Dulunya, Safarudin adalah pria yang sangat gigih bekerja. Ia berjualan buah dari pagi hingga malam di pasar utama kota, membawa dagangannya dengan sepeda motor yang sudah cukup tua, selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga. Namun ketika pasar mulai diatur ulang oleh pemerintah dan banyak pedagang baru yang datang dengan modal lebih besar, penjualannya mulai menurun drastis. Hingga akhirnya, ia terpaksa menghentikan usahanya dan sejak itu belum pernah menemukan pekerjaan yang stabil.
“Aku tidak memaksamu, Abang. Tapi kita harus berpikir untuk masa depan anak-anak. Aku sudah bekerja keras sebagai guru dan kepala sekolah, tapi gajiku saja tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga kita,” ujar Ana dengan suara yang mulai bergetar. Ia mencoba menahan air mata yang ingin keluar. Tidak pernah sekali pun ia menyalahkan suaminya karena tidak bekerja. Ia tahu bahwa keadaan ekonomi yang sulit dan kesempatan kerja yang terbatas adalah hal yang tidak bisa dihindari. Namun terkadang, rasa lelah yang datang dari menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga membuat hatinya terasa seperti akan retak.
“Saya tahu, Ana. Saya minta maaf karena tidak bisa membantu kamu lebih banyak,” kata Safarudin dengan suara rendah, mata kembali menatap layar ponselnya. Seolah itu adalah satu-satunya tempat yang bisa memberikan pelarian baginya dari kenyataan yang berat.
Sebentar kemudian, pintu rumah terdengar diketuk. Ana berdiri dan pergi membukanya, menemukan kedua adik perempuan suaminya – Siti dan Aminah – berdiri di depan pintu dengan senyum ramah. Mereka masing-masing sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari rumah Ana. Siti membawa mangkuk berisi bubur ayam yang sudah matang, sementara Aminah membawa bungkusan berisi kue kering yang baru saja ia buat.
“Hai Kak Ana, kami mampir sebentar ya. Kakak sudah makan belum?” tanya Siti dengan suara ceria, masuk ke dalam rumah dengan penuh keakraban. Ia sangat dekat dengan Ana, bahkan lebih dekat daripada dengan kakaknya sendiri. Ana selalu sangat royal terhadap kedua adik suaminya – ketika mereka membutuhkan uang untuk biaya sekolah anak-anak mereka, atau ketika ada masalah rumah tangga, Ana selalu siap membantu tanpa pamrih.
“Belum, Kak Siti. Kamu sudah datang tepat waktu nih,” jawab Ana dengan senyum yang kini kembali muncul di wajahnya. Kedua adik suaminya adalah salah satu sumber kekuatan bagi dirinya. Mereka selalu datang untuk membantu, baik itu dengan membawa makanan atau hanya untuk berbincang dan memberikan dukungan.
Sementara itu, Aminah sudah mendekati Safarudin yang masih terlentang di kasur. “Abang, kamu lagi apa tuh? Main hp terus saja, kan tidak baik buat mata. Kalau sudah tidak kerja, setidaknya tolong bantu Kak Ana mengurus rumah saja dong,” ujar Aminah dengan nada yang sedikit menyalahkan namun tetap penuh kasih sayang.
Safarudin hanya tersenyum pahit dan menutup ponselnya. “Iya, Min. Aku akan coba membantu lebih banyak ke depannya.”
Ketika mereka semua sedang duduk di ruang tamu, berbincang dan menikmati bubur ayam yang Siti bawa, Ana menyebutkan tentang saudara laki-laki suaminya – Baharudin – yang baru saja pulang dari kota besar bersama istrinya, Dewi. “Kamu tahu nggak, kemarin Kak Bahar dan Bu Dewi mampir sebentar di sekolah aku. Tapi kayaknya Bu Dewi masih sedikit cuek aja sama aku ya,” ujar Ana dengan nada yang sedikit sedih.
Siti mengangguk. “Ya Kak Ana, memang Bu Dewi itu dari dulu kurang akur sama kamu. Dia selalu bilang kalau kamu terlalu kuat dan mandiri, sehingga membuat Abang terlihat lemah. Padahal kita semua tahu bahwa Kak Ana melakukan itu karena mencintai keluarga.”
Ana menghela nafas. “Aku sudah berusaha untuk baik dengan dia, tapi sepertinya memang tidak bisa dipaksakan ya. Yang penting, kita sebagai keluarga harus tetap bersatu saja.”
Tak lama kemudian, pembicaraan mereka beralih ke ibunda Ana yang tinggal bersama adik laki-laki Ana, Budi, dan istrinya di rumah tua yang tidak jauh dari sana. “Kak Ana sudah pernah mampir ke rumah Bu nenek belum? Kemarin aku jalan-jalan lewat sana, Bu nenek lagi ngomong-ngomong tentang Kak Ana dan Abang,” kata Aminah dengan suara yang sedikit pelan.
Ana menggelengkan kepala dengan ekspresi wajah yang menjadi sedikit serius. “Belum, Min. Aku tahu kalau ibu pasti akan mulai cerewet lagi tentang Abang yang belum bekerja, bilang aku hanya menyia-nyiakan hidup dengan menikah dengan orang yang tidak bisa memberi nafkah. Aku sudah capek mendengar omongan seperti itu.”
Ibu Ana memang tidak pernah menyukai pernikahan Ana dengan Safarudin dari awal. Ketika mereka dipertemukan oleh keluarga pada tahun 2008, ibu Ana sudah menentangnya dengan tegas, mengatakan bahwa Safarudin hanya seorang pedagang buah yang tidak memiliki masa depan yang jelas. Namun Ana yang pada saat itu sangat mencintai Safarudin – atau mungkin lebih tepatnya, mencintai harapan akan kehidupan yang bahagia bersama orang yang dicintai – tetap memilih untuk menikahinya. Sejak itu, hubungan antara Ana dan ibunya menjadi renggang. Ibunya sering mengunjungi rumah mereka hanya untuk menyampaikan omelan tentang Safarudin yang tidak bekerja, hanya bermain hp, dan tidak bisa memberi nafkah kepada keluarga. Sedangkan dua saudara perempuan Ana sudah menikah dan tinggal jauh di luar kota, sehingga jarang sekali bisa mampir untuk mengunjunginya. Hanya Budi – adik laki-laki yang masih muda dan baru saja menikah – yang sering datang untuk membantu ketika Ana sedang kesusahan.
“Kamu jangan terlalu terpengaruh dengan kata-kata Bu nenek ya Kak Ana. Kita semua tahu bahwa kamu sudah melakukan yang terbaik untuk keluarga,” ujar Siti dengan penuh dukungan, menjamah tangan Ana yang sedang berada di mejanya.
Setelah kedua adik suaminya pulang, Ana kembali ke kamar untuk melihat suaminya yang sudah mulai tidur lelap di kasur. Ia melihat wajah suaminya yang sedang terlelap, dan ingatan tentang hari-hari awal pernikahan mereka muncul kembali di benaknya. Saat itu, Safarudin adalah pria yang penuh semangat, selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Ia mengingat bagaimana Safarudin akan membawa buah-buahan terbaik dari dagangannya hanya untuknya, bagaimana mereka akan berjalan-jalan bersama di taman kota pada malam hari, dan bagaimana mereka berdua berjanji untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
“Aku mencintaimu, Abang,” bisik Ana pelan di telinga suaminya, sebelum ia mulai membersihkan rumah dan menyiapkan makanan untuk anak-anak yang akan segera pulang dari les privat mereka. Ia tahu bahwa hidup tidak selalu seperti yang diharapkan. Ia tahu bahwa ada banyak kesulitan yang harus mereka hadapi bersama. Namun dalam hatinya yang paling dalam, Ana yakin bahwa cinta yang mereka miliki akan mampu mengatasi segala rintangan yang datang.
BAGIAN KEDUA
Empat hari kemudian, Safarudin datang mendekati Ana yang sedang mengoreksi tugas siswa di meja ruang tamu. Wajahnya terlihat sedikit gugup, tangannya yang biasa menyentuh ponsel kini terlihat gemetar sedikit ketika ia ingin mengambil tangan Ana.
“Ana, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu,” ujarnya dengan suara rendah namun jelas.
Ana mengangkat kepalanya, melihat wajah suaminya dengan ekspresi penuh perhatian. “Apa itu, Abang? Kamu tampak tidak seperti biasanya.”
“Aku ingin pergi keluar kota selama beberapa hari. Ada acara ziarah makam ulama yang sangat aku hormati di kota sebelah. Aku sudah berencana untuk pergi bersama beberapa teman dari komunitas agama kita,” jelas Safarudin dengan pandangan yang tetap pada wajah Ana. “Aku tahu kalau kamu akan kesusahan sendirian merawat anak-anak dan mengurus rumah, tapi ini sangat penting bagiku. Aku ingin meminta berkah dari ulama tersebut untuk keluarga kita, terutama untuk mencari jalan keluar dari kesulitan ekonomi yang kita alami.”
Ana menatap suaminya dengan mata yang penuh pengertian. Ia tahu bahwa Safarudin adalah orang yang sangat taat beragama dan sangat menghormati para ulama. Setiap kali ada acara ziarah atau kajian agama yang diadakan oleh komunitasnya, ia selalu berusaha untuk menghadiriinya. Bahkan ketika ia masih bekerja sebagai pedagang buah, ia akan menyewa orang lain untuk menggantikan dirinya di pasar hanya untuk bisa menghadiri acara tersebut.
“Tidak apa-apa, Abang. Kamu bisa pergi saja. Aku akan mengurus anak-anak dan rumah sendiri. Kamu hanya perlu berhati-hati di jalan ya,” ujar Ana dengan senyum lembut, menjamah tangan suaminya yang masih terasa dingin karena kegugupan. “Kamu berangkat kapan?”
“Besok pagi sekali. Aku akan pergi dengan mobil yang disewa oleh komunitas. Kita akan tinggal di sana selama lima hari saja, kemudian langsung pulang,” jawab Safarudin dengan suara yang mulai menjadi lebih tenang. Ia tampak lega melihat bahwa Ana tidak keberatan dengan rencananya.
Pada pagi hari berikutnya, Ana bangun lebih awal biasanya untuk menyiapkan makanan untuk suaminya yang akan berangkat. Ia memasak bubur ayam yang menjadi favorit Safarudin, membungkusnya dengan rapi beserta dengan beberapa buah dan air mineral. Ketika Safarudin bangun dan melihat apa yang Ana lakukan untuknya, mata hatinya terasa hangat dan penuh rasa syukur karena memiliki istri yang begitu baik dan pengertian.
“Terima kasih sudah bersedia aku pergi, Ana. Aku akan segera pulang dan kita akan berusaha mencari jalan keluar bersama untuk masalah ekonomi kita,” ujar Safarudin dengan penuh tekad, sebelum ia mencium dahi Ana dan anak-anak yang masih sedang tidur lelap.
Setelah Safarudin pergi, Ana merasa sedikit kesepian namun tetap berusaha untuk kuat. Ia menjalankan aktivitas hariannya seperti biasa – pergi bekerja ke sekolah, mengurus anak-anak, mengurus rumah, dan melakukan segala pekerjaan rumah tangga yang biasanya dibantu oleh suaminya meskipun hanya sedikit. Zahra dan Rafi tampak juga merindukan ayahnya. Mereka sering bertanya kapan ayah mereka akan pulang, dan Ana selalu menjawab dengan senyum bahwa ayah mereka akan segera pulang dan membawa oleh-oleh untuk mereka.
Selama lima hari keberadaan Safarudin, ia hanya menghubungi Ana sekali melalui ponsel. Ia mengatakan bahwa acara ziarah berjalan dengan lancar, dan ia sedang dalam kondisi yang baik. Ana merasa lega mendengar kabar itu, dan berharap bahwa setelah suaminya pulang, ia akan menjadi lebih bersemangat untuk mencari pekerjaan dan membantu keluarga.
Namun harapan itu segera sirna ketika pada hari kelima, Safarudin pulang lebih awal dari yang direncanakan. Ia tiba di rumah pada sore hari, ketika Ana baru saja pulang dari sekolah dan anak-anak sedang bermain di halaman rumah. Wajah Safarudin terlihat sangat pucat dan penuh dengan rasa bersalah. Ia tidak membawa oleh-oleh seperti yang biasanya dilakukan ketika ia pergi keluar kota, bahkan tasnya yang biasanya selalu ia bawa terlihat sangat ringan.
“Ana, ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu. Mari kita bicara di kamar saja ya,” ujar Safarudin dengan suara yang hampir tak terdengar, sebelum ia masuk ke kamar dan menutup pintunya dari dalam.
Ana merasa hati mulai berdebar kencang dengan rasa takut yang tidak ia mengerti. Ia menyuruh anak-anak untuk kembali ke kamar mereka dan mengerjakan pekerjaan rumah, sebelum ia mengikuti suaminya ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya.
Di dalam kamar yang kecil dan agak gelap, Safarudin duduk di tepi kasur dengan pandangan yang menunduk ke lantai. Tangannya saling bersilangan di depan dadanya, seperti sedang mencoba untuk menahan sesuatu yang sangat berat.
“Abang, apa yang terjadi? Kamu pulang lebih awal dari yang direncanakan, dan wajahmu sangat tidak baik,” tanya Ana dengan suara yang mulai bergetar, duduk di sisi suaminya.
Safarudin mengangkat kepalanya, dan Ana melihat bahwa matanya sudah merah karena menangis. Air mata mulai mengalir deras di wajahnya yang biasanya tampak tenang.
“Aku minta maaf, Ana. Aku sangat minta maaf,” ujarnya dengan suara yang bergetar dan penuh dengan rasa bersalah. “Yang kubicarakan ini akan sangat menyakitkan hatimu, tapi aku tidak bisa berbohong padamu lagi.”
Ana merasa dada nya menjadi sangat sesak, seperti sedang tercekik oleh sesuatu yang sangat berat. Ia sudah bisa merasakan bahwa akan ada kabar buruk yang akan datang dari mulut suaminya.
“Aku tidak pergi untuk ziarah makam, Ana,” ujar Safarudin dengan suara yang semakin pelan. “Aku pergi untuk menikah lagi. Dengan seorang wanita bernama Laila. Dia adalah seorang janda yang memiliki empat anak-anak.”
Kata-kata itu seperti kilat yang menyambar langsung ke hati Ana. Ia merasa seluruh tubuhnya menjadi kaku, telinganya berdenging keras, dan pandangannya menjadi kabur. Air mata yang sudah lama ia tahan mulai mengalir deras di wajahnya tanpa bisa ia kendalikan.
“Kamu apa… apa maksudmu, Abang?” ujar Ana dengan suara yang hampir tidak terdengar, tangannya mulai gemetar hebat. “Kita sudah menikah selama belas tahun, kita punya dua anak yang sangat mencintaimu. Bagaimana bisa kamu melakukan hal seperti itu padaku?”
Safarudin menangis semakin deras, menjamah tangan Ana yang sedang gemetar namun Ana menarik tangannya menjauh. “Aku tahu, Ana. Aku tahu bahwa aku telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Tapi aku harus jujur padamu. Ketika kita menikah dulu, aku tidak mencintaimu secara tulus. Kita dipertemukan oleh keluarga, dan aku hanya menerima karena merasa itu adalah jalan yang benar. Tapi aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupku,” jelas Safarudin dengan suara yang penuh dengan rasa sakit hati. “Kemudian aku bertemu dengan Laila tiga bulan yang lalu di sebuah kajian agama. Dia memahami diriku dengan benar, dia mencintainya"
“...dia mencintaiku apa adanya. Aku mencintainya dengan tulus, Ana. Itu adalah cinta yang aku cari selama ini,” ujar Safarudin sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis seperti anak kecil yang telah melakukan kesalahan besar.
Ana merasa dunia nya runtuh seketika. Ia tidak bisa berkata apa-apa selain menangis dengan suara terdahan, air mata mengalir deras menyiram wajahnya yang sudah pucat. Semua pengorbanan yang ia lakukan selama ini – bekerja keras sebagai guru dan kepala sekolah, menjadi tulang punggung keluarga, selalu mendukung suaminya meskipun ia tidak bekerja – seolah lenyap tanpa ada makna sama sekali.
“Tapi kenapa kamu harus berbohong padaku, Abang? Kamu bilang kamu pergi untuk ziarah, padahal kamu sedang menikah dengan wanita lain,” ujar Ana dengan suara yang bergetar, mencoba untuk mengontrol emosinya yang sudah hampir meledak. “Aku selalu mencintaimu dengan sepenuh hati, aku selalu melakukan yang terbaik untukmu dan anak-anak. Bagaimana bisa kamu tega melakukan ini?”
Safarudin mengangkat kepalanya, mata nya merah dan bengkak karena menangis. “Aku tidak punya keberanian untuk memberitahumu yang sebenarnya, Ana. Aku tahu bahwa ini akan menyakitkan hatimu sangat dalam. Tapi aku juga tidak bisa terus hidup dengan berdusta. Aku sayang padamu, aku sayang dengan anak-anak kita. Aku tidak ingin bercerai denganmu. Aku hanya ingin kamu bisa menerima bahwa aku sekarang memiliki dua istri, dan aku akan berusaha untuk memberi nafkah kepada kedua keluarga dengan sebaik mungkin,” jelasnya dengan harapan yang samar di matanya.
Kata-kata itu membuat Ana semakin terluka. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana bisa hidup bersama dengan suaminya yang kini sudah memiliki istri lain. Ia berdiri dengan tubuh yang gemetar, menatap suaminya dengan mata yang penuh dengan kecewa dan rasa sakit yang mendalam.
“Kamu mengira aku bisa menerima hal seperti itu, Abang? Aku adalah seorang wanita yang mencintaimu dengan tulus. Aku tidak bisa berbagi cinta mu dengan wanita lain,” ujar Ana dengan suara yang sudah mulai meradang, meskipun dalam hatinya ia masih sangat mencintai suaminya.
“Saya tahu ini sangat sulit untuk kamu terima, Ana. Tapi tolong berikan aku kesempatan. Aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik, aku akan mencari pekerjaan dan memberi nafkah kepada kamu dan anak-anak dengan benar,” pinta Safarudin dengan suara yang penuh harapan.
Namun Ana sudah tidak bisa lagi mendengar kata-kata apa pun dari suaminya. Ia keluar dari kamar dengan cepat, pergi ke ruang tamu dan duduk di sofa sambil menangis tanpa henti. Zahra dan Rafi yang mendengar suara tangisan ibunya keluar dari kamar mereka, mendekati Ana dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
“Bu, kenapa kamu menangis? Ada apa dengan Ayah?” tanya Zahra dengan suara kecil, mencium air mata di wajah ibunya.
Ana merangkul kedua anaknya dengan erat, menangis semakin deras sambil mencoba untuk menjawab dengan suara yang stabil. “Tidak apa-apa nak, Bu hanya sedikit capek saja. Ayah ada urusan penting yang harus dibicarakan dengan Bu,” ujarnya dengan paksa, tidak berani memberitahu anak-anak tentang kebenaran yang akan menyakitkan hati mereka.
Tak lama kemudian, pintu rumah terdengar diketuk lagi. Ana mengangkat kepalanya dan melihat kedua adik perempuan suaminya – Siti dan Aminah – berdiri di depan pintu dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Mereka sudah mendengar kabar tentang apa yang terjadi dari tetangga yang melihat Safarudin pulang dengan wajah yang tidak baik dan mendengar suara tangisan Ana.
“Kak Ana, apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?” tanya Siti dengan cepat, mendekati Ana dan menjamah pundaknya dengan penuh perhatian.
Ana tidak bisa lagi menyembunyikan kebenaran. Ia menceritakan semua yang telah dikatakan Safarudin padanya – tentang pernikahannya dengan wanita lain, tentang kebohongan yang ia lakukan, dan tentang harapannya agar Ana bisa menerima keadaan tersebut. Kedua adik suaminya mendengarkan dengan wajah yang semakin memerah karena kemarahan.
“Bagaimana bisa Abang melakukan hal seperti itu? Kak Ana sudah melakukan segalanya untuknya dan keluarga,” ujar Aminah dengan suara yang penuh kemarahan, berdiri dan pergi ke kamar untuk menghadapi kakaknya.
Siti tetap bersama Ana, menepuk pundaknya dengan lembut sambil juga menangis melihat kesusahan yang dialami oleh orang yang ia anggap sebagai kakak sendiri. “Kamu jangan terlalu kuatir ya Kak Ana. Kami akan selalu ada di sini untukmu dan anak-anak,” ujarnya dengan penuh dukungan.
Di dalam kamar, Aminah menghadapi Safarudin yang masih duduk di tepi kasur dengan wajah yang penuh rasa bersalah. “Abang, bagaimana bisa kamu melakukan ini kepada Kak Ana? Dia sudah begitu baik padamu, selalu mendukungmu bahkan ketika kamu tidak bekerja sama sekali. Kamu tega menghancurkan hatinya seperti ini?” ujar Aminah dengan suara yang naik daun karena kemarahan.
Safarudin hanya diam dan menunduk, tidak bisa berkata apa-apa sebagai tanggapan atas kemarahan adik perempuannya. Tak lama kemudian, Siti juga masuk ke kamar bersama Ana yang sudah mulai bisa mengontrol emosinya.
“Abang, kamu harus memilih. Apakah kamu akan tetap bersama Kak Ana dan anak-anak, ataukah kamu akan pergi bersama wanita itu?” tanya Siti dengan nada yang tegas, menatap kakaknya dengan mata yang penuh dengan kekecewaan.
Safarudin mengangkat kepalanya, melihat wajah-wajah keluarga yang sangat dicintainya. Ia ingin memilih Ana dan anak-anak, tapi hatinya juga terikat dengan Laila yang telah memberikan cinta yang selama ini ia cari. Ia merasa bingung dan tidak tahu harus bagaimana.
“Aku tidak bisa memilih, Kak Siti. Aku sayang pada Ana dan anak-anak, tapi aku juga mencintai Laila. Aku ingin bisa menjaga kedua keluarga ini,” jawabnya dengan suara yang penuh kebingungan.
Kata-kata itu membuat kedua adiknya semakin marah. “Abang sudah tidak berakal lagi kah? Kamu berpikir bisa menjalankan dua rumah tangga dengan baik padahal kamu sendiri tidak bisa memberi nafkah pada satu keluarga saja?” ujar Aminah dengan suara yang semakin keras. “Jika Abang tetap ingin melanjutkan hubungan dengan wanita itu, maka kami tidak akan pernah mengakui dia sebagai saudara keluarga. Dan kami akan selalu berada di sisi Kak Ana dan anak-anak.”
Safarudin hanya diam mendengar kata-kata adik perempuannya. Ia tahu bahwa mereka benar. Ia tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar, dan ia harus menerima konsekuensi dari apa yang telah ia lakukan.
BAGIAN KETIGA
Setelah peristiwa itu, kehidupan keluarga Ana menjadi semakin sulit. Safarudin sering keluar rumah dan tidak kembali selama berhari-hari, diketahui ia pergi untuk menemui istri keduanya di kota lain. Ana harus menghadapi segala sesuatu sendirian – bekerja di sekolah, mengurus anak-anak, dan mengurus rumah tanpa ada bantuan sama sekali. Kadang kala, ia merasa sangat lelah dan ingin menyerah, namun melihat wajah anak-anak yang masih sangat membutuhkannya membuatnya tetap kuat.
Suatu hari, setelah enam bulan tidak pulang, Safarudin menghubungi Ana melalui telepon. Suaranya terdengar lemah dan penuh dengan rasa minta maaf.
“Halo Ana, aku minta maaf sudah lama tidak menghubungi kamu. Aku sekarang di kota lain dan butuh uang untuk pulang kampung. Bisakah kamu mengirimkan sejumlah uang padaku?” ujarnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Ana merasa hati nya terasa berat mendengar suara suaminya. Meskipun ia sangat kecewa dan terluka oleh apa yang telah dilakukan Safarudin, dalam hatinya yang paling dalam ia masih mencintainya dan tidak bisa melihatnya dalam kesusahan.
“Berapa yang kamu butuhkan, Abang?” tanya Ana dengan suara yang lembut, tanpa berpikir panjang.
Setelah Ana mengirimkan uang yang diminta, Safarudin kembali ke kampung beberapa hari kemudian. Namun apa yang dilihat Ana membuat hatinya semakin terluka – Safarudin datang bersama istri keduanya, Laila, dan empat anaknya. Mereka menyewa rumah kecil di pinggiran kota dan tinggal di sana.
Kedua adik suaminya sangat marah ketika mengetahui hal itu. Mereka datang ke rumah Ana dengan wajah yang penuh kemarahan dan kesusahan.
“Bagaimana bisa Abang melakukan hal seperti itu? Dia bahkan membawa wanita itu dan anak-anaknya tinggal di kampung kita,” ujar Siti dengan suara yang penuh kemarahan. “Kita harus berbicara dengannya lagi, Kak Ana. Dia tidak bisa diperbolehkan untuk menghina kamu seperti ini.”
Namun Ana hanya menggelengkan kepala dengan lembut. Ia sudah legowo dengan keadaan yang ada. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah hati suaminya. Ia hanya bisa berdoa agar suatu hari nanti Safarudin akan menyadari kesalahannya dan kembali kepada keluarga yang sebenarnya.
“Tidak apa-apa Kak Siti. Aku sudah menerima keadaan ini. Yang penting, aku harus menjaga anak-anak dan membuat mereka tetap bahagia,” ujar Ana dengan suara yang penuh dengan keteguhan hati, meskipun air mata masih mengucur diam-diam di wajahnya.
Beberapa bulan kemudian, Safarudin dan istri mudanya tetap tinggal di kampung. Kadang kala, Safarudin akan datang ke rumah Ana untuk melihat anak-anak, namun ia tidak pernah tinggal lama. Ia hanya akan bertanya tentang kondisi anak-anak dan kemudian pergi kembali ke rumahnya dengan Laila. Ana selalu menerima kedatangannya dengan lapang dada, meskipun hatinya selalu terasa sakit setiap kali melihat wajah suaminya.
Suatu hari, Laila datang ke rumah Ana tanpa didampingi Safarudin. Wajahnya terlihat penuh dengan rasa minta maaf dan kesusahan.
“Ibu Ana, aku minta maaf telah menyebabkan kamu dan keluarga mengalami kesusahan,” ujarnya dengan suara yang lembut, menangis sambil melihat wajah Ana yang tenang. “Aku tidak tahu bahwa Abang sudah memiliki istri dan keluarga yang bahagia. Ketika dia datang padaku, dia bilang dia sudah tidak memiliki keluarga lagi.”
Ana melihat wanita di depannya dengan mata yang penuh dengan pengertian. Ia tahu bahwa Laila juga adalah korban dari kebohongan yang dilakukan oleh Safarudin. Ia mendekati Laila dan menepuk pundaknya dengan lembut.
“Itu tidak apa-apa, Bu Laila. Aku tidak menyalahkan kamu. Yang salah adalah Abang yang tidak jujur kepada kita berdua,” ujar Ana dengan suara yang lembut namun tegas. “Kita sama-sama wanita yang dicintai oleh satu pria. Mungkin ini adalah takdir yang harus kita terima dengan lapang dada.”
Setelah itu, Laila memutuskan untuk kembali ke kotanya bersama anak-anaknya. Ia menyadari bahwa tidak benar untuk terus tinggal bersama Safarudin dan menghancurkan keluarga yang sudah ada lebih dulu. Sebelum pergi, ia datang ke rumah Ana untuk mengucapkan selamat tinggal dan meminta maaf sekali lagi atas segala kesusahan yang telah ia timbulkan.
Safarudin merasa sangat sedih ketika mengetahui bahwa Laila telah pergi. Ia datang ke rumah Ana dengan wajah yang penuh dengan kesusahan dan rasa bersalah.
“Aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar, Ana. Aku telah kehilangan dua wanita yang mencintaiku karena kebodohanku sendiri,” ujarnya dengan suara yang penuh dengan rasa sakit hati, menangis di depan istri yang selama ini selalu ia sakiti. “Aku minta maaf atas segala sesuatu yang telah kulakukan padamu dan anak-anak. Aku tahu bahwa maafanku tidak akan pernah bisa menghapus rasa sakit yang telah kukasihkan padamu. Tapi aku berjanji bahwa aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik, untuk mencari pekerjaan dan menjadi ayah yang benar-benar bertanggung jawab bagi anak-anak kita.”
Ana melihat suaminya dengan mata yang penuh dengan pengertian dan cinta yang masih ada di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Safarudin telah menyadari kesalahannya dan benar-benar ingin berubah menjadi lebih baik.
“Itu tidak apa-apa, Abang. Kita semua pernah melakukan kesalahan. Yang penting adalah kita bisa belajar dari kesalahan tersebut dan menjadi orang yang lebih baik,” ujar Ana dengan suara yang lembut, menjamah tangan suaminya yang sudah mulai kurus karena kesusahan. “Aku masih mencintaimu, Abang. Dan aku akan selalu ada di sini untukmu dan anak-anak, selama kamu benar-benar ingin berubah dan menjadi bagian dari keluarga kita kembali.”
Safarudin menangis semakin deras mendengar kata-kata istri yang telah ia sakiti selama ini. Ia berjanji bahwa ia akan melakukan segala yang bisa untuk memperbaiki kesalahannya dan menjadi suami serta ayah yang baik bagi keluarga yang dicintainya.
Sejak itu, Safarudin benar-benar berubah. Ia mulai mencari pekerjaan dengan sungguh-sungguh, akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan di sebuah toko bahan bangunan di kota. Ia bekerja keras setiap hari, pulang terlambat namun selalu membawa uang untuk membantu keluarga. Ana selalu mendukungnya dengan penuh cinta dan pengertian, membantu ia ketika ia merasa lelah atau kesusahan.
Kehidupan mereka tidak pernah kembali seperti dulu. Ada luka dalam hati Ana yang tidak akan pernah benar-benar hilang. Namun dengan cinta dan pengertian yang mereka miliki satu sama lain, mereka mampu menjalani hidup dengan lebih baik dan bahagia bersama anak-anak yang mereka cintai.
Zahra dan Rafi tumbuh menjadi anak-anak yang baik dan cerdas. Mereka selalu menghargai pengorbanan yang dilakukan oleh ibu mereka dan menyadari bahwa ayah mereka telah berubah menjadi orang yang lebih baik. Mereka sering berdoa agar keluarga mereka selalu diberikan kekuatan dan kebahagiaan oleh Tuhan.
Hingga saat ini, Ana dan Safarudin masih hidup bersama sebagai keluarga yang utuh. Meskipun ada banyak kesulitan dan cobaan yang telah mereka lalui bersama, cinta yang mereka miliki satu sama lain membuat mereka mampu mengatasi segala rintangan yang datang. Ana tahu bahwa cinta tidak selalu sempurna, namun cinta yang tulus dan penuh pengertian akan selalu mampu menemukan jalan untuk tetap bersama dalam suka dan duka.