Setiap pagi, jam di kamar Raka selalu menunjukkan pukul 06.17.
Padahal ia bangun jam berapa pun—jam lima, jam tujuh, bahkan tengah malam—angka itu tidak pernah berubah. Jarumnya diam. Baterainya baru. Tukang jam sudah dua kali datang dan menggeleng heran.
“Jamnya normal,” katanya. “Mungkin kamarnya.”
Raka hanya tersenyum kecil. Ia tidak pernah menceritakan pada siapa pun kenapa angka itu begitu penting.
06.17 adalah waktu terakhir ayahnya pulang.
Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Raka duduk di tepi ranjang sambil menatap jam. Di luar, suara ibu menyiapkan sarapan terdengar samar—panci beradu, air mendidih, radio tua memutar lagu lama.
“Rak, jangan telat sekolah,” suara ibu memanggil.
“Iya,” jawab Raka pelan.
Ia tidak buru-buru. Ia tahu apa pun yang ia lakukan, jam itu tidak akan bergerak. Seolah waktu di kamar ini berhenti di titik tertentu—di titik ketika pintu rumah dibuka dan ayah berkata, “Ayah pulang.”
Hari itu, di sekolah, Raka kembali menemukan catatan kecil di laci mejanya.
Aku masih menunggumu.
Tulisan itu sudah ia temukan berkali-kali. Tinta hitam, huruf rapi, selalu muncul tanpa ia tahu siapa yang menaruhnya. Guru? Teman? Mustahil.
Raka meremas kertas itu. Dadanya sesak, bukan karena takut—melainkan karena rindu.
Pulang sekolah, ia langsung menuju kamar. Jam itu masih menunjukkan 06.17.
Ia duduk, memejamkan mata, dan berbisik, “Kalau Ayah masih di sini… tolong datang.”
Udara di kamar mendadak dingin.
Lalu terdengar bunyi pintu.
Pelan. Nyata.
Raka membuka mata.
Di ambang pintu berdiri seorang pria dengan jaket cokelat lusuh. Rambutnya sedikit lebih panjang dari ingatan terakhir. Senyumnya lelah—tapi utuh.
“Ayah?” suara Raka bergetar.
Pria itu melangkah masuk. Tidak menyentuh lantai. Tidak menimbulkan suara langkah.
“Maaf Ayah telat,” katanya. “Macet.”
Air mata Raka jatuh tanpa izin. Ia berdiri, ingin memeluk, tapi tubuhnya berhenti satu langkah sebelum menyentuh.
“Kok Ayah… beda?”
Ayah tersenyum. “Karena Ayah seharusnya tidak kembali.”
Jam di dinding berbunyi tik.
Untuk pertama kalinya, jarumnya bergerak.
06.18.
“Ayah cuma punya satu menit,” katanya pelan. “Kamu harus dengar baik-baik.”
Raka mengangguk panik.
“Ayah tidak hilang. Ayah tidak meninggalkan kalian. Ayah meninggal di jalan pagi itu.”
“Kecelakaan. Cepat. Tidak sakit.”
Dunia Raka retak dalam diam.
“Terus… jam ini?” tanyanya terbata.
“Itu bukan jam,” jawab ayah. “Itu kamu. Kamu yang berhenti di sana.”
Jam berdetak lagi.
06.19.
“Ayah bangga sama kamu,” lanjutnya. “Tapi kamu tidak boleh terus menunggu waktu yang tidak akan kembali.”
Raka terisak. “Kalau aku berhenti menunggu… Ayah pergi?”
Ayah mengangguk.
Jam berdetak.
06.20.
Dengan tangan gemetar, Raka mengambil jam itu dari dinding. Untuk pertama kalinya, ia membuka bagian belakangnya.
Tidak ada baterai.
Hanya secarik kertas kecil di dalamnya.
Tulisan tangan ayah.
Waktu akan berjalan jika kamu mengizinkannya.
Jam berdetak keras.
06.21.
Ayah mulai memudar, seperti asap yang diterpa angin.
“Rak,” katanya terakhir. “Hidup itu bukan tentang menunggu yang hilang… tapi melanjutkan yang tersisa.”
Dan ia menghilang.
Jam kembali normal.
Berjalan.
Hari itu, Raka keluar kamar tanpa membawa jam itu lagi. Ia turun ke dapur, memeluk ibunya dari belakang tanpa alasan.
Ibu terkejut. “Kenapa?”
Raka menggeleng. “Nggak apa-apa. Cuma… mau jalanin hari ini.”
Di kamar, jam itu tetap berdetak.
Karena akhirnya, Raka juga melakukannya.
---