Bab 4 - Luka yang Diam
Ada waktu di mana aku mencoba mencintai, tapi cinta yang kuberi tak berbalas. Di sana aku belajar, bahwa cinta tak selalu butuh tempat kembali. Terkadang, ia hanya ingin dirasakan sebentar, lalu pergi meninggalkan jejak yang abadi.
Ada masa di mana aku berhenti mencari cinta bukan karena aku lelah,
Tapi karena aku mulai takut.
Takut menemukan lagi bayangan yang sama —
Bayangan tentang diriku sendiri yang belum pulih.
Aku mulai sadar, setiap rasa yang kuberi, setiap cinta yang kutanam,
Hanyalah cermin yang memantulkan kekosongan di dalam diriku.
Luka bukan datang dari orang lain.
Luka datang saat aku mencintai seseorang dengan harapan
Dia bisa menambal yang retak di dalamku.
Padahal, cinta tidak pernah dirancang untuk menyembuhkan.
Cinta hanya menyingkap apa yang selama ini kita sembunyikan dari diri sendiri.
Aku pernah mencoba mencintai dengan sepenuh hati.
Tapi ternyata, sepenuh hati yang kumaksud hanyalah keinginan
Agar seseorang bertahan di sisiku.
Aku ingin dicintai karena aku takut sendirian.
Dan di sanalah aku mengerti,
Bahwa banyak cinta yang tumbuh dari rasa takut — bukan dari keberanian.
Ada kalimat yang lama tertinggal di pikiranku:
“Kita tidak benar-benar kehilangan seseorang,
Kita hanya kehilangan bagian diri kita yang sempat hidup di dalam dirinya.”
Sejak itu, aku berhenti menyalahkan siapa pun.
Aku mulai mengerti bahwa setiap luka yang kuterima adalah pesan:
Tentang siapa aku sebenarnya,
Tentang bagian diriku yang belum siap untuk mencinta.
Cinta bukan soal menemukan orang yang tepat,
Tapi tentang menemukan dirimu dalam proses mencintai.
Kadang proses itu menyakitkan, kadang menghancurkan,
Tapi di antara puing-puingnya,
Kita perlahan mengenali diri sendiri — tanpa topeng, tanpa nama.
✨ Filosofi singkat di bawah halaman:
“Luka tidak datang untuk menghancurkan,
Tapi untuk memperlihatkan bagian dari diri yang belum kita peluk.
Karena kadang, yang paling perlu kita cintai… adalah diri sendiri.”