*MENUNGGU DI PERSIMPANGAN JALAN*
Malam ini tanpa sinar rembulan yang menemani
Aku menunggumu di sini
Di persimpangan jalan yang selalu menjadi saksi pertemuan
Aku duduk di pinggiran trotoar yang dicat hitam putih
Menunggumu datang dengan menggosok telapak tangan menghalau dingin
---
Malam ini seperti awal bulan lalu yang kau janjikan
Agar aku manyambutmu yang akan datang
Seperti akhir-akhir bulan yang sebelumnya
Aku duduk di pinggir trotoar yang lalu-lalang pejalan kaki menjajaki gerobak pedagang kaki lima
Kulihat kakinya hanya dua
---
Di persimpangan jalan yang jadi saksi
Setiap kali kau turun dari dalam taksi
Lalu kita berjalan beriringan sepanjang trotoar
Menuju sejengkal rumah kos-kosan
Yang setahun lalu kau sewakan
Di dalam kita menyantap sepiring martabak manis
Mengesampingkan hidupku yang pahit
---
Yank... kok belum datang, sih? Sudah akhir bulan ini," gerutuku dari layar handphone. Sambil memanyunkan bibir aku berpura-pura merajuk pada suamiku di seberang yang sedang memandangku lesu.
"Sabar, Sayang... Aku masih di kantor ini. Malam ini masih harus lembur banyak kerjaan. Sudah mau penutupan buku." Mas Luky terlihat sangat lelah. Wajahnya kusut dan berkeringat. Sepertinya memang sedang sibuk banyak pekerjaan di kantor. Aku mencoba mengerti.
"Hmmm... Oke, deh. Aku tungguin sampe malam nanti. Kalau sudah pulang langsung ke sini, ya, Yank. Aku kangen banget. Masa ketemu suami sendiri cuma sebulan sekali." Aku mengeluh padanya. Karena memang aku sudah begitu merindukan suamiku itu. Yang hanya pulang sebulan sekali ke rumah.
"Iya, iya... Jangan manyun gitu, dong. Nanti hilang cantiknya," godanya sambil mengerlingkan sebelah mata.
"Ck, gombal!" kataku.
"Hahaha... Kamu makin cantik deh kalau ngambek. Sudah, ya, Mas mau kerja dulu. Biar bisa cepat pulang." Dia mulai membuka laptopnya kembali yang tadi sempat ditutupnya karena mengangkat panggilan video dariku.
"Hmmm..." sahutku lemah.
"Kiss dulu dong..." pintanya.
"Malas?" jawabku. Lalu kumatikan panggilan video tanpa membalas permintaannya.
Ku rebahkan badanku di atas kasur empuk rumah kostan yang disewakannya setahun yang lalu. Namun rasanya seperti berbaring di atas hamparan kerikil tajam yang menusuk ke ulu hati.
Dalam lelah aku tertidur sore ini dengan memeluk guling bergambar foto wajah Mas Luky.
***°°°***
Setiap akhir bulan, Mas Luky baru pulang. Aku akan menjemputnya di persimpangan jalan depan swalayan. Tak jauh dari rumah kost yang kami sewa. Karena mobil tidak bisa masuk ke gang tempat kami tinggal.
Ya, hanya di akhir bulan aku bisa mendapatkan waktunya. Yang selalu dihabiskan untuk kerja, kerja, dan kerja. Untuk menafkahiku alasannya. Meski aku tahu ada alasan lain di baliknya, aku percaya saja.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya yang telah kami lewati setahun ini. Dia datang dengan sebuah taxi online. Aku menyambutnya dengan lengkungan senyum yang merekah bak bulan sabit.
"Sayang...," panggilnya melambaikan tangan padaku. Wajahnya tampak penuh guratan lelah. Tapi dipaksakannya tersenyum untukku.
"Yank...," aku menyahutinya. Lalu berlari kecil ke arahnya, dan memeluk wangi tubuhnya dalam-dalam.
Dia membalas pelukanku dengan hangat dan mengecup keningku lembut. Kami pun kembali ke rumah kost setelah membeli sebungkus martabak manis rasa cokelat di abang langganan kami.
"Bagaimana pekerjaanmu, Yank?" tanyaku memulai obrolan santai kami sambil menikmati martabak dan secangkir kopi. Kami duduk bersila di karpet bulu di sebelah ranjang tempat tidur.
"Yach, seperti biasa, membosankan. Tapi tetap harus dikerjakan karena ada yang butuh uang jajan," jawabnya sambil mencubit hidungku pelan.
"Iihhh...." Aku menepis tangannya dari hidungku. "Nggak bisa nafas, tau."
"Hahaha. Habis hidungmu minimalis, sih. Jadi kurang loss nyedotnya." Dia tertawa.
"Apa sih. Huh!" Aku merajuk karena dibilang hidungku minimalis, alias pesek.
"Ututu... ngambek, ya? Ya sudah, aku nggak jadi kasih uang jajan kalau ngambek." Dia memasukkan tangan kanannya ke saku celana.
"Bodo amat. Nggak perlu jajan juga. Kan nggak pernah dianggap ada." Aku menundukkan kepala.
"Hey, kenapa ngomong begitu, hemm?" Mas Luky meraih daguku dan membuatku mendongak menatap matanya.
"Emang bener, kan. Aku nggak pernah ada dalam hidupmu, Yank. Aku hanya seperti mimpi yang hilang saat kau membuka mata di pagi hari. Aku tidak nyata." Perlahan air mataku mulai luruh ke pipi.
Mas Luky merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Mengelus pelan punggungku. Dan mengusap air mataku.
"Kamu jangan merasa begitu. Aku juga mencintaimu. Kamu istriku. Mana mungkin aku menganggapmu tidak ada."
"Tapi hanya siri, kan. Pernikahan kita belum terdaftar di KUA. Belum disahkan negara. Aku tidak punya hak apa-apa atas dirimu." Aku berusaha melepaskan diri pelukan Mas Luky. Tapi dia semakin erat memelukku.
"Sabar, Sayang. Aku sedang mengusahakannya," sahutnya.
"Sampai kapan, Yank aku hanya jadi simpananmu? Kapan kau akan mengenalkanku pada istri sahmu? Agar dia tahu, aku juga ada dalam hidupmu. Dan aku juga butuh kamu di sisi lain ranjangku." Ku lepaskan uneg-uneg yang selama ini ku pendam.
"Aku sedang berusaha, Sayang," ujarmu. Lalu kita berpelukan sampai tertidur di lantai yang dingin.
Esok paginya kau harus kembali ke kehidupan utamamu. Sebagai seorang suami setia. Dan meninggalkanku untuk satu bulan lagi. Membosankan.
***°°°***
Aku terbangun saat di luar sudah gelap. Ku lihat jam di handphone sudah setengah sembilan. Tak ada tanda-tanda kedatangan Mas Luky. Tidak ada juga notifikasi pesan di ponselku. Aku bergegas bangun, merapikan diri dan keluar dari rumah menuju persimpangan.
Aku menunggu di trotoar sambil bermain ponsel. Sesekali ku kirimkan pesan pada Mas Luky menanyakan kapan akan datang. Tapi semua pesanku hanya centang satu.
Dia sedang bersama maduku. "Hahaha...." Aku tertawa getir. Menertawakan nasibku yang hanya dijadikan pelampiasan. Seorang istri simpanan. Seorang pelakor istilah kerennya.
Padahal aku yang lebih dulu menjalin kasih dengannya. Tapi nasib berkata lain. Karena orang kaya gemar menjodohkan anak-anak mereka dengan yang setara, selevel.
Meski pun kami saling mencintai, tak menjamin kami bisa bahagia bersama. Mas Luky dinikahkan dengan putri teman bisnis papanya. Lalu aku, dengan bodohnya menunggu dia datang melamar seperti janjinya.
Memang sekarang aku sudah menjadi istrinya, seperti janji yang kami ucapkan dulu. Namun bukan status seperti ini yang aku inginkan. Aku ingin status yang sah sebagai seorang istri, di mata agama dan negara. Aku ingin anak-anakku nanti tidak dipersulit saat mengurus dokumen-dokumen kependudukan. Aku ingin dikenalkan pada dunia bahwa aku juga istrinya.
Ku langkahkan kakiku gontai menyusuri trotoar yang dipenuhi pedagang kaki lima dan para pemburu kuliner malam. Aku berpikir untuk membeli apa untuk makanku malam ini.
Tiba-tiba abang penjual martabak memanggilku dan menyerahkan sebungkus martabak manis kesukaanku. "Pasti Mas Luky yang nyuruh." Aku hanya bisa pasrah.
Sedetik kemudian notifikasi pesan muncul di ponselku.
"Mas nggak bisa pulang, Sayang. SIM belum aku kantongi." Isi pesannya.
Baiklah. Aku masih bisa menunggu lagi. Karena aku masih bodoh.
***°°°***
Tapi malam ini kau tak lagi datang
Aku masih menunggu di persimpangan jalan
Seperti malam-malam akhir bulan kemarin
Kau datang sesuai jadwal untukku
Sebagai istri simpananmu
Sudah pegal kakiku menunggumu
Mungkinkah ijin tak lagi kau kantongi dari maduku
---
Pedagang kaki lima menghampiriku
Menyerahkan sebungkus martabak manis padaku
Ini dari suami ibu
Malam ini aku menikmati sebungkus martabak manis ditemani hanya secangkir kopi pahit
***°°°***