MASA SMA
Sebuah jalinan rantai besi sepanjang satu meter, melingkari telapak tangan hingga sikuku. Warnanya yang keperakan mengkilat tertimpa sinar matahari pagi. Kaki yang sudah menapak di depan gerbang Sekolah, tak melangkah ke dalam, namun berputar arah ke sebelah lahan parkiran di sisi kiri gedung sekolahan.
Dengan gontai kaki ini melangkah ke arah sekumpulan anak laki-laki dengan seragam sama dengan yang aku pakai. Mereka menghentikan obrolan melihat kedatanganku.
"Kau benar-benar akan ikut kali ini, Joe?" tanya salah satu anak laki-laki itu, sebut saja Digta.
"Ya, tentu saja. Kamu nggak lihat apa yang aku bawa?" Aku menunjukkan lilitan rantai di tanganku. Dengan ujung berbandul bola besi berduri.
"Hmmm... Jangan buat kami malu dengan keikutsertaanmu. Ini pertama kalinya kau ikut kegiatan tahunan kami." Digta menepuk-nepuk bahu kananku.
"Kau nanti berangkat membonceng Alka," lanjutnya.
Aku menganggukkan kepala tanda mengerti.
Ya, ini pertama kalinya aku ikut kegiatan mereka. Kegiatan tahunan yang mungkin bagi sebagian orang tidak berfaedah. Hanya menimbulkan kerusuhan dan kerusakan. Tapi aku ingin ikut, karena dia.
Dia dulu anggota geng yang dibawahi Digta. Rantai di tanganku adalah pemberiannya. Yang terakhir, setahun lalu. Setelah itu aku tak lagi bisa menemuinya. Hingga aku memutuskan untuk masuk menjadi anggota gengnya dulu.
Dulu dia sering mengajakku ikut ke markas. Mengenalkanku kepada teman-temannya. Dia adalah wakil Digta. Yang disegani karena kemampuannya mengalahkan lawan-lawan mereka.
Setelah semua anggota berkumpul, kami pun berangkat beriringan dengan motor. Menuju medan, perempatan lampu merah. Memarkirkan motor-motor kami di pinggir trotoar. Masing-masing kami berbaris menghadang laju kendaraan. Semua kendaraan menghindari lajur yang kami tempati.
Di kejauhan nampak barisan lawan dari sekolah lain datang. Aku berada di barisan belakang. Karena aku anggota baru. Sesuai instruksi, kami menunggu Digta memberi aba-aba.
Setelah barisan lawan berhenti di seberang kami, Digta mengangkat tangannya dan berteriak, "Serang!!!". Kami pun mengangkat senjata yang kami bawa dan menyerang lawan kami.
Aku tak mempedulikan perbedaanku yang mencolok. Aku melakukan ini hanya karena dia. Hanya untuk dia. Aku hanya ingin bertemu dengannya dengan cara yang sama dia meninggalkanku.
Di antara keributan yang kami ciptakan, aku melihatnya. Berlari ke arahku dengan wajah khawatir. Seolah berteriak, "Berhenti!". Tapi aku tak peduli. Aku memutar-mutar rantai besi di atas kepalaku bak koboi memutar tali laso. Kulontarkan ke arah remaja di hadapanku. Mengenai kepalanya, yang seketika berdarah.
Aku merasakan sensasinya. Ada kepuasan, ada kebanggaan, ada ketakutan berputar dalam jantungku. "Rupanya ini yang kamu rasakan selama itu," batinku.
Bayangannya muncul kembali di hadapanku. "Berhentilah, pulang sekarang. Jangan kembali lagi." Dia mengusap lenganku. Sejenak aku terpaku. Dia nyata.
"Ini kamu?" tanyaku.
"Ya, ini aku," jawabnya.
"Boleh aku memelukmu?"
"Hmmm..." Dia merentangkan kedua tangannya menyambut pelukanku.
BLESSS
Kurasakan dingin di perutku. Kulihat cairan merah merembes dari balik seragam putihku. Aku tertusuk. Kucabut belati yang menempel di perutku. Pandanganku mulai kabur. Samar aku melihat Digta berlari ke arahku. Lalu gelap.
"Joe! Bangun, Joe!"
"Julia, bangun, Sayang!"
"Hiks. Julia!!!"
Teriakan dan tangisan memenuhi telingaku. Tapi aku tak tahu ada dimana ini. Putih silau. Aku melangkahkan kaki ke sebuah padang ilalang di depan sana.
"Joe..." Terdengar suaranya memanggilku.
"Stevan?" Aku berlari menghambur padanya.
"Aku merindukanmu," kataku.
"Aku juga merindukanmu," sahutnya.
"Apakah kita sudah bisa bersama?"
"Tidak, kau harus pulang."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak. Aku ingin bersamamu disini."
"Kita akan bersama, nanti, bukan sekarang. Lihatlah mereka yang mencintaimu sedang menangis. Pulanglah pada ayah dan ibumu, adikmu. Mereka bersedih karenamu." Stevan mengelus lemput puncak kepalaku.
"Tapi Stevan, aku sudah sejauh ini untuk bertemu denganmu," sanggahku.
"Kita sudah bertemu, bukan? Aku akan selalu menunggumu, di sini." Stevan meletakkan telunjuknya di dadaku.
Lalu Stevan perlahan menjauh dariku. Semakin lama semakin hilang.
"Stevannn!!!" teriakku kehilangan.
Aku tersentak sadar.
Perlahan kukerjapkan mata melihat ke sekeliling. Ada ayah, ibu, dan adikku. Ada pula Digta dan teman-temannya.
"Ayah..." lirihku.
"Julia. Sayang." Ayah memelukku. "Akhirnya kamu bangun, Nak."
Ibu dan adikku ikut memelukku. Air mataku menetes.
Digta menghampiriku. "Joe...". Lalu menghambur memelukku. Aku terpaku.
"Maafkan aku tidak bisa menjagamu seperti janjiku pada Stevan." Dia menangis. Seorang anak laki-laki menangis di balik punggungku. Aku hampir tertawa sampai rasa nyeri merambat di perutku.
Kutepuk-tepuk punggungnya, "Aku sudah kembali.".
Aku tersenyum pada mereka semua yang ada di sana.
Juga Stevan.