Kesan pertama waktu aku melihatnya,manis. Dengan kulit cokelat kehitam-hitaman,rambut cepak,senyum dari bibirnya yang tipis mampu menembus hatiku yang kaku. Wajahnya membuat aku selalu ingin memandangnya. Dia mungkin bisa digolongkan "cowok idaman".
Waktu itu, karena aku lupa, jadi aku tidak turun di pertigaan. Tapi langsung lurus ke terminal. Di terminal itulah aku menemukan seraut wajah yang asing bagiku. Kulitnya yg eksotis dibalut seragam SMA warna putih abu-abu. Rambut belakangnya semu berwarna pirang,dengan sedikit untaian rambut yang lebih panjang. Cakep... hihihi.
Matanya memanah ke dalam jiwaku. Senyumnya bagaikan durian masak di pohonnya. Dan ketika mata kami saling bertemu, darahku mengalir lebih cepat, jantungku berdebar lebih keras, dan mataku tak mampu beralih ke yang lain.
"Subhanallah!" jeritku dalam hati. Mungkin inilah namanya cinta pada pandangan pertama. Tapi sayang, belum puas aku memandang wajah itu, angkot yang kunaiki sudah berjalan.
"See you tomorrow,okey." Tanpa sadar aku melambaikan tangan padanya. Yang tentu saja dia tidak melihatnya.
Keesokan harinya,aku sengaja turun di terminal lagi, demi bisa melihat sosok manis kemarin. Kucari-cari dia di antara kerumunan siswa SMA yang bergerombol di sebelah kotak telepon.
"Hmm...Dia dimana,ya. Apa sudah naik angkot?" tanyaku dalam hati. Mataku memindai ke kanan kiri. Tak juga kutemukan dia. Sementara cuaca semakin panas. Keringatku pun berdesakan di bawah kaos seragamku. Kuputuskan segera menaiki angkot tujuanku.
Ketika angkot yang kunaiki berjalan, saat itulah baru aku melihat dia keluar dari toilet umum. "Yach... Ternyata dia di sana. Mana sudah jalan lagi angkotnya. Dari tadi dicariin gak ada," kesalku.
Setiap hari aku mulai rajin naik angkot di terminal. Padahal kalau nunggu di pertigaan juga bisa. Hanya sekedar ingin melihat lelaki manis yang memanjakan mata.
"Dia tinggal di mana, ya? Sepertinya kami tidak sejurusan," monologku sambil curi-curi pandang. Kuperhatikan gerakannya yang sedang meneguk es teh dari kemasan plastik. Jakunnya naik turun. "Aduh...Kenapa ganteng banget sih...," kagumku.
Angkot yang kunaiki tak jalan juga sampai lama. Keringatku semakin bercucuran dengan cuaca yang panas ini. Anak-anak berseragam sekolah mulai berdatangan menaiki angkot sesuai jurusan rumah mereka. Satu persatu angkot-angkot itu berlalu.
Tiba-tiba, saat aku menengok ke jendela di belakangku, ternyata dia sudah berdiri di samping angkot yang kunaiki. Hatiku seperti genderang yang bertalu-talu.
"Hai, Mbak manis, kenapa dari tadi kuperhatikan ngelihatin aku? Naksir, ya?" tanyanya padaku yg sontak gelagapan.
"Ah...Eh...Nggak kok. Siapa yang lihatin kamu. Aku nggak kok," kilahku.
"Nih buat Mbak e." Dia menyodorkan seplastik es teh padaku.
"Eh, apa ini...."
"Ya es teh lah."
"Maksudnya buat apa?"
"Buat diminum, Mbak e kayaknya kepanasan."
"Emm, makasih, ya." Terimaku sambil malu-malu.
"Tapi jangan lupa bayar. Nanti Emakku marah kalo Mbak e nggak bayar." Dia tertawa jahil.
"Oh...Ya sudah berapa?" Kuambil selembar uang lima ribuan di kantong bajuku.
"Ah, buat Mbak e gratis deh. Soale Mbak e cantik hehehe...." Lalu dia pun berlari ke bangku tunggu.
"Astaga, Le... Kalo aku masih sekolah, sudah aku jadiin pacar, kamu. Sayangnya aku cuma Mbak-Mbak buruh pabrik rokok. Mana mau kamu sama cewek bau tembakau & cengkeh," monologku setelah dia berlalu.
Sejak kejadian itu, aku putuskan tak lagi naik angkot di terminal. Aku tunggu angkot yang lewat di pertigaan sebelum terminal. Karena aku terlanjur malu kepergok ngelihatin anak orang. Nanti dikira nungguin es teh gratis lagi.
***