Namaku Ranti. Dulu aku tinggal di sebuah desa pinggiran hutan. Di samping bangunan surau kecil. Tempat anak-anak menimba ilmu agama kala langit menghitam menggantikan senja.
Suara riuh tawa anak-anak selalu menggema tiap rona jingga menyapa. Mereka mengelilingi surau untuk mencari tempat bersembunyi. Sambil menunggu waktu magrib tiba.
Namaku Ranti. Dulu aku tinggal bersama keluargaku di desa. Tiap malam kami menikmati gemerisik suara angin yang menyusup di sela-sela dedaunan pepohonan. Mengintip ibu-ibu yang baru pulang dari pengajian. Sambil mengumpulkan dosa baru untuk bahan halal-bihalal lebaran akan datang. Mendengar resah-gelisah bapak-bapak yang bercerita sambil meronda. Maling mulai berkeliaran menjarah ternak warga.
Namun, suatu hari seseorang dari kota datang untuk mencari seorang gadis perawan. Untuk dibawanya ke kota metropolitan. Matanya berputar-putar mencari sosok yang berkenan di hatinya. Lalu telunjuknya mengacung mengarah kepadaku.
Deggg! Habis riwayatku.Keluargaku pun hanya bisa pasrah saat sekumpulan orang itu menarik badanku dengan paksa. Menyeretku menjauh dari kerumunan warga yang menyaksikan dalam diam. Tak ada yang berani bersuara. Orang dari kota adalah penguasa. Jika telunjuknya sudah bicara, kami rakyat kecil bisa apa.
Aku dibawa ke sebuah rumah kecil. Seorang pria segera mengusap-usapku. Mengukur jengkal demi jengkal tubuhku. Dengan sebuah spidol hitam dia menandaiku. Tangannya mulai mengukir sesuatu. Sedikit demi sedikit luruh air mataku.
Lalu, setelah pria itu selesai dengan pekerjaannya. Ada pria kaya yang datang dan membelai rambutku. Meraih pinggangku dan membawaku pergi lagi. Dia menyuruhku duduk di jok belakang mobil mewahnya. Jalanan terbelah roda-roda yang menggelinding cepat. Mambawa kami ke sebuah gedung perkantoran dengan berpuluh-puluh lantai.
***
Sudah beberapa minggu aku berada disini. Untuk melihat si pria kaya duduk-berdiri sepanjang pagi sampai sore. Kadang juga berjaga sampai malam. Di sampingku seorang gadis penari. Entah darimana dia berasal. Sepanjang hari dia melenggokkan tubuhnya. Sesekali ekor matanya mengarah pada pria koboi berkuda di seberang sana.Begitu pun sebaliknya. Mereka saling melirik tanpa sekalipun bertegur sapa. Entahlah, mungkin mereka bisa bercengkerama lewat tatapan mata. Aku hanya menghela napas menahan sesak dalam kerinduan.
Ya... Aku rindu kampung tempat aku tumbuh. Dimana semilir angin membawa lantunan ayat-ayat Tuhan. Yang dikumandangkan bibir-bibir mungil bocah-bocah di surau. Terbawa sampai jauh melewati sela-sela dedaunan ranting pepohonan.
Si pria kaya bangkit dari kursi kebesarannya. Menuju ke arahku. Ah, bukan. Dia meraih pinggang gadis penari di sebelahku dan membawanya ke mejanya. Membelai dengan sayangnya. Lekuk tubuhnya ditelusuri jari-jari besar pria tua. Matanya memancarkan kerinduan yang dalam. Mungkin dia ingat isterinya.
Kudengar dari salah satu kolega yang datang ke ruangan ini, isteri pria kaya itu sudah meninggal lima tahun lalu.
Kulihat koboi berkuda melirik mereka berdua. Meski dia tak bersuara, aku tahu dia memendam cemburu.
***
Malam ini begitu sunyi. Gadis penari masih berada di meja pria kaya. Sedangkan pria itu sudah pulang sejak magrib tadi. Koboi berkuda tak berani menghampirinya. Sama seperti malam-malam sebelumnya.
Aku semakin merindukan suasana malam hari di pedesaan. Dimana ibu-ibu selepas pulang pengajian mulai mengumpulkan dosa lagi. Dimana bapak-bapak meronda berkeliling desa sambil menguap silih-berganti. Dimana anak-anak mengaji di surau sambil bermain petak umpet.
Kadang aku juga merindukan si wanita bergaun putih berambut panjang yang sering duduk di dahanku sambil tertawa cekikikan. Mengusili orang-orang yang lewat di bawahku.