Banyak hal yang telah kulewati 3 tahun ini. Semuanya berjalan teratur dan monoton. Aku hanya berharap bahwa ada sesuatu yang menarik lagi.
Geisha.
Aku menutup buku diary bersampul biru dengan potret R.A Kartini tertempel diatas sampulnya. Namaku Geisha, sangat mengidolakan sosok pejuang wanita itu, R.A Kartini. Bagiku, dia adalah perjuangan bukti bahwa para perempuan memiliki hak dan kebahagiaannya sendiri. Namun sayangnya, dia berbeda denganku, aku sama sekali tidak punya keberanian untuk berjuang pada kebahagiaanku sendiri. Aku hanya mampu menurut meski harus dicucuk.
Aku lahir dari keluarga yang punya banyak mimpi. Mimpi orang tuaku terlalu banyak, saking banyaknya mereka sampai mengorbankan keluarganya sendiri. Hingga keluarga—tempat untuk pulang, kehilangan eksistensinya.
Hidupku monoton dan sangat membosankan. Pagi bersekolah, sore pulang ke rumah dan malam menulis diary. Satu-satunya yang bisa kuajak bicara di rumah ini adalah diary biruku, karena di rumah ini aku hanya tinggal sebatang kara. Orang tuaku memilih menetap di kota lain hingga tak punya waktu pulang. Mereka hanya mengirimkan sejumlah uang untuk keperluan sehari-hari dan membayar uang sekolah, selebihnya mereka bagai hilang bak ditelan bumi. Pekerjaan, sungguh aku iri pada kalian.
Hari ini Jakarta panas seperti biasanya, setelah bersekolah dengan biasanya dan belajar dengan sangat-sangat membosankannya, bel pulang berbunyi. Aku tak suka mengobrol pada teman sekelasku, jadi tak jarang mereka kadang mengganggapku tidak ada. Tapi tak masalah, karena aku pun tak suka berpura-pura bersikap baik demi menyenangkan mereka.
Aku berjalan kaki menuju rumah. Aku tak suka menggunakan kendaraan umum di cuaca sepanas ini, karena pasti udara panas akan lebih menyengat ketika ditempat tertutup seperti angkut yang pasti banyak mengeluarkan karbon dioksida dari banyak kepala yang naik.
Langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang anak perempuan berkuncir kuda sedang terduduk di aspal dengan lengan memegang lututnya yang berdarah. Nampak raut kesakitan di wajahnya namun anehnya dia tak menangis sama sekali meski wajahnya sudah memerah. Aku berlari kecil menghampiri anak perempuan itu lalu berjongkok didepannya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyaku.
Anak perempuan itu mendongak melihatku, matanya sudah berkaca-kaca tapi dia menggelengkan kepalanya, bersikap kuat.
“Sini kakak bantu,” aku menarik tangannya dan memapahnya menuju bangku yang tersedia di taman itu. Setelah itu, aku pamit untuk pergi membeli obat merah dan memintanya untuk tetap tinggal selama aku pergi. Setelah dia mengangguk, aku langsung melangkah pergi mencari apotek terdekat.
Setelah mendapat obat yang kubutuhkan, aku kembali menuju bangku tempat anak perempuan itu duduk dan mulai membersihkan lukanya. Dia hanya meringis dengan mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh anak yang kuat, tatkala anak lain seusianya mungkin akan menangis meraung-raung ketika terluka, dia hanya meringis dan tak mengeluarkan air mata sama sekali.
Aku selesai mengobatinya dan menutupnya dengan dua buah plester karena lukanya agak lebar.
“Terima kasih.” cicitnya sembari menunduk. Aku hanya tersenyum mengangguk.
“Nama kamu siapa? Kenapa bisa luka?” tanyaku.
“Namaku Rima kak. Tadi aku lagi ngamen dan ada motor yang menyerempetku lalu aku jatuh dan lututku tergores aspal.” jawabnya masih menunduk. Namun suaranya sudah agak besar dari sebelumnya.
“Kamu tidak sekolah?” aku tidak terlalu terkejut mendengar pernyataan bahwa dia habis mengamen, karena di kota megapolitan seperti Jakarta ini masih banyak anak dibawah umur mengamen demi mendapatkan sesuap nasi. Tapi hatiku tetap saja teriris melihat kenyataan itu.
“Aku sekolah pada malam hari, kak.”
“Orang tua kamu dimana?” tanyaku lagi.
Dia terdiam, tidak menjawab pertanyaan yang kulontarkan barusan. Sepertinya aku salah bicara dan bisa kulihat dia memendam kesedihan, dengan melihat ekspresinya saja, kuyakin dia sebatang kara.
Tak ingin anak perempuan berkaus belel berwarna pink itu bersedih, aku mengalihkan pembicaraan memintanya menyebutkan alamat dia tinggal. Aku harus mengantarnya pulang, kasihan bila dia ditinggal sendiri dengan lutut terluka.
Awalnya anak kecil itu tidak mau pulang, dia bilang uangnya masih belum cukup. Tapi aku tetap memaksanya pulang, hingga dia mau tak mau mengiyakan.
Aku mengenggam tangan mungilnya, dia tidak menyebutkan alamatnya, katanya tak hafal namanya tapi dia hafal letaknya, sepertinya sudah terbiasa. Cukup lama dia membawaku berjalan kaki, menyusuri jalanan besar Jakarta yang macet dan panas. Hingga dia menuntunku menanjak pada jalan kecil kumuh yang dipenuhi sampah. Rumah-rumah reyot tak layak huni berjejer di kanan kiri jalan. Tak ada orang disana.
Lalu kami sampai pada sebuah bangunan mirip sekolah yang nampak rapuh karena kayu-kayu sebagai penyangganya nampak keropos dimakan rayap. Cat yang sudah terkelupas dan plang besi berkarat yang tulisannya sudah hampir memudar. Sekolah Pelangi, itu yang tertera di plangnya.
Dia lalu membawaku masuk dan aku langsung disuguhi deretan kursi dan meja kayu yang reyot dan keropos. Di depannya ada papan tulis hitam yang usang dengan lemari kayu tak layak pakai disampingnya. Anak perempuan itu terus menuntunku berjalan ke belakang, rupanya ada ruangan lain dibelakang kelas. Ruangan itu lumayan luas dan berserakan kasur lantai tipis yang tak layak digunakan lagi dan sebuah tirai tipis usang membelah ruangan di tengah-tengahnya. Nampaknya itu sebagai penghalang antara tempat tidur laki-laki dan perempuan.
Rima melepaskan genggamannya dan berjalan tertatih menghampiri wanita paruh baya yang kutaksir usianya berada di penghujung tiga puluh. Wanita itu berjongkok dan tersirat di wajahnya sorot kekhawatiran ketika ia melihat lutut Rima yang terluka. Lalu Rima menatapku dan menunjukku, dan wanita itu menatapku dan melangkahkan kaki menuju arahku.
“Saya Sari, saya guru di Sekolah Pelangi ini. Kata Rima, kamu yang sudah menolongnya dan mengantarkannya pulang. Terima kasih.” Ucap wanita itu seraya tersenyum tulus.
“Sama-sama.” Jawabku singkat.
Bu Sari lalu menyilakanku untuk duduk. Dia nampak tak enak hati karena aku hanya disuguhi air putih dan duduk diatas tikar usang.
“Oh ya, nama kamu siapa, nak?” tanya Bu Sari. Oh iya, aku belum sempat mengenalkan diri.
“Nama saya Geisha, bu.”
“Nak Geisha sekali lagi saya ucapkan terima kasih karena telah membantu Rima.” Ucapnya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu kuedarkan mataku menatap sekeliling ruangan ini. Langit-langitnya bolong-bolong dan banyak sarang laba-laba di tiap sudutnya. Tak ada lampu sama sekali, hanya ada beberapa buah lampu petromaks dan beberapa potong lilin tergeletak di sudut dekat pintu masuk tadi.
“Kalau boleh tahu, ini tempat apa bu?” tanyaku masih penasaran.
“Ini adalah Sekolah Pelangi. Sekolah ini dibangun oleh bapak saya 3 tiga tahun yang lalu. Saya masih ingat bagaimana perjuangan beliau ingin mendirikan sekolah ini meski beliau kini sudah berpulang setahun yang lalu.” Jawab Bu Sari sendu.
Aku terdiam, mengerti bagaimana kesedihan Bu Sari. Ditinggal oleh orang terkasih merupakan hal paling menyakitkan. “Lalu kata Rima tadi, dia sekolahnya pada malam hari, maksudnya bu?” tanyaku lagi. Jujur, aku penasaran sekali.
“Iya, yang dikatakan Rima benar. Awalnya mereka belajar pagi hari seperti sekolah pada umumnya, namun—“ bu Sari berhenti. Dia tiba-tiba memalingkan wajahnya dan kulihat dia menyeka air matanya. Dia menangis.
“Bu,” kuusap bahunya lembut, memberinya kekuatan. Lalu Bu Sari kembali berbalik dan tersenyum menatapku. “Maaf ya, Geisha. Ibu jadi cengeng.” Ujarnya sambil tertawa kecil. Tawa yang terkesan dipaksakan, tawa yang mengandung kesedihan.
“Tidak apa-apa bu. Bila ibu berkenan bercerita, saya siap mendengarnya, mungkin ada yang bisa saya lakukan.” Ucapku. Entah kenapa, aku merasakan bahwa ada permasalahan berat yang sedang dialami Bu Sari dan Sekolah Pelangi.
“Seperti yang ibu bilang, sekolah ini pada awalnya berjalan lancar. Anak-anak belajar pagi hari lalu siangnya mereka berkerja untuk biaya hidup sehari-hari. Namun sejak 6 bulan yang lalu, semuanya berubah. Kami harus mulai berkerja dari pagi-pagi buta hingga matahari terbenam lalu belajar pada malam harinya. Kami harus mengumpulkan uang yang banyak.”
“Ada perusahaan property yang akan membangun pusat perbelanjaan di daerah ini. Mereka sudah menguasai seluruh tanah di wilayah ini kecuali tanah ini. Kamu pasti melihat ketika kamu dan Rima berjalan menuju sekolah, banyak rumah-rumah dari seng yang kosong tak berpenghuni, itu karena mereka diusir paksa, tanah itu adalah tanah milik pemerintah yang dijual kepada perusahaan itu. Tapi untungnya, kami tidak ikut serta diusir, karena saya memohon untuk tinggal lebih lama lagi sebelum saya berhasil menemukan tempat lain.” Bu Sari mendesah pelan. Nampak sekali ada beban di pundaknya. Lalu dia melanjutkan bercerita.
“Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Kalau sampai tanah ini benar-benar akan dibangun, bagaimana anak-anak nanti. Mereka tak bisa lagi bersekolah dan punya tempat untuk berteduh. Sedangkan mencari lahan lain di Jakarta, sama sulitnya mencari jarum dalam jerami. Saya tidak tega membiarkan anak-anak luntang lantung.”
“Tapi saya tahu, bahwa cepat atau lambat kami pasti akan kehilangan tempat ini. Mereka bilang, akan menggunakan jalur hukum yang tentunya pasti akan merugikan kami. Hukum pasti akan berpihak pada mereka, apalagi mereka berduit tentu saja akan jauh lebih mudah. Mereka runcing dan tak berkawan pada kami.”
“Kenapa mereka menggunakan jalur hukum, apa yang mereka tuntut?” tanyaku.
“Tentu saja, karena tanah ini adalah tanah mereka juga sekolah ini ilegal. Kami tidak memiliki surat izin pendirian sekolah.”
“Bukannya ini cuma tempat belajar saja ya? Kenapa harus memiliki izin?”
“Meski begitu, orang-orang disekitar sini sudah lazim mendengar bahwa ini adalah sekolah. Tentu dengan anggapan demikian, tempat ini memang sekolah, kami juga memiliki ujian sama seperti sekolah lainnya, tapi hanya sebatas ujian penentu apakah masih harus mengulang atau dinyatakan lulus dan tak perlu belajar lagi. Pembelajarannya juga terbatas, hanya mengajarkan cara berhitung dan membaca. Dua hal itu adalah hal penting yang akan menjadi pegangan mereka ketika mencari sesuap nasi. Kami tidak berani memimpikan pekerjaan yang bagus.”
“Perusahaan itu tahu bahwa ini adalah sekolah ilegal dan mereka akan menuntut kami pada jalur hukum. “
“Maka dari itu, untuk mempersiapkan semuanya, kami bekerja keras mencari uang banyak untuk bisa melawan mereka. Saya tidak terlalu yakin apakah kami bisa memenangkan pertarungan itu, tapi kalau tidak dihadapi, kami akan kehilangan kesempatan mendapat bekal untuk mengarungi dunia luar yang keras dan tentunya kehilangan tempat tinggal.”
Aku mengerti. Rata-rata anak yang bersekolah disini adalah anak jalanan yang sudah tidak punya keluarga. Tak banyak yang mau menampung mereka untuk bersekolah dengan layak. Dan hanya Sekolah Pelangi lah yang mau menampung mereka. Tapi kini mereka terancam tidak akan mendapat pendidikan lagi. Hatiku teriris, di usia sekecil mereka, mereka dipaksa berjuang di jalanan berbatu untuk mempertahankan mimpi mereka meski harus merangkak hingga berdarah-darah.
Aku meneteskan air mata, seketika merasa beryukur akan hidupku yang sangat berkecukupan. Perbedaanku dengan mereka adalah, bahwa aku memiliki pendidikan dengan layak tanpa takut sewaktu-waktu sekolah ditutup apalagi digusur. Bersyukur, bahwa hanya dengan satu klik pada aplikasi delivery online, sepuluh menit kemudian makanan akan sampai tanpa perlu repot-repot berjalan jauh dan membanting tulang mencari uang untuk membayarnya. Semuanya tersedia untukku tidak seperti mereka. Mereka harus membanting tulang untuk bisa mendapatkan sesuap nasi. Hidup mereka dipenuhi kekhawatiran, khawatir apakah hari ini bisa makan, apakah besok bisa makan, apakah malam ini saya punya tempat untuk tidur, dimana lagi emperan toko yang bisa saya tiduri. Saking banyaknya kekhawatiran yang menggelayuti, mereka tak punya lagi pemikiran untuk mendapat pendidikan. Bagi mereka, pendidikan adakah makanan termahal, mereka tak punya uang untuk membelinya.
Namun dengan adanya Sekolah Pelangi, mereka yang tadinya kehilangan mimpi, jadi punya mimpi lagi. Mimpi untuk bisa menjalani hidup dengan baik. Mimpi mendapat banyak makanan tanpa khawatir besok bisa makan atau tidak. Mimpi berjuang agar bisa setara dengan orang lain.
Tapi kini, mereka terancam akan kehilangan itu semua. Mimpi yang mungkin akan menjadi ilusi dalam tidur mereka saja tanpa sempat bangun untuk mewujudkannya. Dan mereka tidak mau hanya pasrah dan harus menguburkan kembali mimpi mereka yang baru saja terkobar, meski harus kesakitan, mereka memilih mempertahankan Sekolah Pelangi, mempertahankan mimpi-mimpi mereka.
Kupegang kedua tangan Bu Sari, “Bu, saya berjanji saya akan membantu sekolah ini. Berjanji akan berjuang mempertahankan semua mimpi mereka.” Janjiku dengan tersenyum tulus. Bu Sari menatapku dengan linangan air mata di wajah yang mulai menua itu.
“Terima kasih, nak Geisha.” Ucapnya sembari sesenggukan. Kulihat Rima juga menangis.
“Sama-sama, bu. Saya memang belum tahu apa yang harus saya lakukan untuk membantu sekolah ini, tapi saya berjanji akan menemukan cara.”
Bu Sari masih menangis dan mengangguk-anggukan kepalanya. Nampak dia begitu bahagia, ada yang membantunya menopang beban ini.
Mataku beralih menatap Rima yang duduk disamping Bu Sari, ku pegang tangan mungilnya dan kupeluk dia, “Rima, kakak janji akan membantu Rima, Bu Sari dan Sekolah Pelangi agar kamu dan teman-teman kamu masih bisa belajar.”
Kejadian di Sekolah Pelangi masih berputar dalam awang-awangku. Otakku terus berputar mencari cara untuk membantu mereka. Sudah dua jam setelah kepulanganku dari sekolah dan aku masih duduk di meja belajar tanpa niat berganti baju dan mandi. Aku harus menemukan cara, bagaimanapun sekolah itu tidak boleh ditutup.
Aku mengacak rambutku, frustasi karena belum kunjung mendapat ide. Menyerah, ku langkahkan kaki menuju kamar mandi, membersihkan diri.
Keesokan paginya, sembari memakan sarapan, aku menonton berita. Aku bosan mendengarnya, selalu saja demo hingga kunyahanku berhenti ketika mendengar reporter berita mengatakan sesuatu.
Untuk saat ini, pihak perusahaan akan menggunakan jalur mediasi dan berbicara tatap muka dengan perwakilan pendemo. Cara ini diharapkan lebih bisa mendapat jalan keluar dan menampung aspirasi dari para pendemo itu agar demo bisa dihentikan.
“Tatap muka? Iya benar! Tentu saja kalau mau menyampaikan keinginan tentu harus bicara. Aku harus bicara pada pimpinan perusahaan itu.” Putusku. Aku tersenyum lebar, dan mempercepat kunyahan. Setelah sarapan, aku langsung mengambil tas dan mengunci pintu. Sepulang sekolah nanti, aku harus menemui pimpinan perusahaan itu.
Di sekolah, aku jadi lebih rajin tidak seperti biasanya. Aku yang biasanya ogah-ogahan menjawab pertanyaan dari guru, kini yang paling bersemangat menjawab dan tentunya itu mengundang kernyitan dahi dari guruku dan teman-teman sekelasku. Tapi aku tidak peduli, semenjak aku sadar bahwa aku adalah salah satu orang yang beruntung mendapat pendidikan, aku tak mau menyia-nyiakannya.
Sepulang sekolah, aku naik taksi menuju kantor pusat PT. Agra Jaya. Ternyata benar dugaanku, perusahaan ini adalah perusahaan besar dan tentunya akan sulit menghadapinya. Tapi kuyakinkan diri sendiri, selagi ada tekad dan kemauan, batu sebesar apapun akan hancur bila ditetesi air.
Aku berjalan masuk, lobi nya benar-benar mewah dan elegan sekali. Lalu aku menghampiri meja resepsionis. Sempat kulihat resepsionis itu mengernyitkan dahi, mungkin heran untuk apa anak SMA datang ke perusahaan. Lalu kemudian dia tersenyum ramah dan mulai bertanya apa keperluanku disini.
“Saya ingin bertemu dengan Pak Geovan, direktur perusahaan ini.” Jawabku.
“Maaf, sudah ada janji?” tanyanya dan aku menggeleng.
“Maaf, bila belum ada janji sebelumnya, Anda tidak bisa menemuinya.”
“Tapi saya ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan beliau.”
“Tapi, untuk sekarang tidak bisa, Anda tidak punya janji dan Pak Gilang sedang meeting di luar kantor.” Tolak resepsionis itu.
Aku tak kehabisan akal, pokoknya aku harus menemuinya. “Berapa lama lagi Pak Geovan tiba?”
“Sekitar tiga jam lagi.”
Aku menggigit bibir, “Bolehkah saya menunggunya di lobi?” tanyaku.
Resepsionis itu mendesah pelan lalu mengangguk, “Tapi saya tidak bisa berjanji bahwa Pak Geovan mau menemui Anda.”
“Tidak masalah. Terima kasih.” Ucapku lalu menghampiri salah satu kursi di sudut kanan lobi.
Aku duduk dengan gelisah. Tiga jam bukan waktu yang sebentar. Aku takut bahwa kesempatan satu-satunya ini akan hilang bila aku tak mengawasi dengan baik. Mataku terus tertuju pada pintu lobi, sesekali mengedarkan ke sekeliling. Banyak yang memperhatikanku dan berbisik-bisik. Tapi aku tak peduli, aku tak pernah memedulikan omongan orang lain kepadaku.
Mama pernah berkata—satu-satunya perkataan yang kurasa bermakna darinya, bahwa hidup kamu adalah milik kamu sendiri. Tak usah memedulikan apa yang dikatakan orang lain, mereka hanya figuran yang kadang ingin menjatuhkanmu. Tapi selagi telingamu tuli akan omongan mereka, kamu bisa tetap berdiri tegap.
Memikirkannya, membuatku merindukannya. Sudah setahun, aku tidak berbicara dengannya, sekedar mengirim pesan singkat pun baik diriku dan mama tidak melakukannya. Sebegitu buruknya hubunganku dengan mamaku sendiri.
Sudah tiga jam aku menunggu. Tapi yang dicari belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Aku mulai frustasi, takut-takut aku tidak bisa menemuinya.
Lalu datang sebuah mobil mercedes hitam di depan pintu lobi. Si pengemudi yang berjas hitam itu turun lalu membukakan pintu penumpang dan keluarlah figur yang cukup dandy yang sedari tadi kutunggu, Geovan Aditama—direktur PT. Agra Jaya.
Aku berdiri dan menghampirinya. Mencoba menghadang jalannya, lalu resepsionis tadi datang dan mengatakan bahwa aku yang disebutkan menunggunya tadi.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Geovan ramah. Entah kenapa, kuyakin itu hanyalah kedoknya. Maafkan aku yang berburuk sangka.
“Saya ingin berbicara dengan Anda terkait pembangunan pusat perbelanjaan itu.” Jawabku.
Pak Geovan tidak merubah ekspresinya, masih ramah dan menyunggingkan senyuman, “Lalu?” tanyanya.
“Saya mohon pada Anda untuk membiarkan Sekolah Pelangi tetap ada dan mencabut tuntutan Anda.”
Senyum Pak Geovan luruh, dia menatap datar, “Saya tidak tahu apa hubungan kamu dengan sekolah itu tapi yang jelas saya akan tetap membangun pusat perbelanjaan itu yang artinya Sekolah Pelangi harus dirubuhkan. Dan tentu saja, kalian membangun sebuah bangunan di atas tanah saya, tanpa seizin saya, tentu saya tidak terima dan menuntut kalian. Siapkan saja pembelaan dengan baik dan berharap ada keajaiban.” Setelah mengatakan demikian, Pak Geovan langsung pergi.
“Pak Geovan!”
“Pak Geovan!”
Aku terus berteriak memanggil nama beliau, tapi aku tidak bisa menggapainya. Tubuhku ditahan oleh pihak keamanan lalu membawaku keluar kantor. Lalu mereka pergi, meninggalkanku dengan kekecewaan teramat besar.
Ternyata cara itu tidak berhasil, tentu saja siapa yang tidak mengenal Pak Geovan, aku lupa bahwa dia termasuk orang yang keras yang semua keinginannya harus terpenuhi tidak peduli bagaimana mendapatkannya, baginya yang terpenting adalah hasil akhirnya.
Sikap dinginnya lah yang membuat dia menjadi pengusaha besar. Tapi aku tidak menyangka bahwa sikap dinginnya tidak berbelas kasih pada anak-anak kecil yang membutuhkan pendidikan.
Aku menghela nafas kasar, berbicara dengan Pak Geovan sia-sia saja. Akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah dan memutar otak lagi.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan lesu. Memikirkan cara mempertahankan Sekolah Pelangi sangat sulit, tapi aku tak ingin menyerah, bila menyerah kemana anak-anak itu akan menggantungkan impian mereka lagi?
Sepulang sekolah aku memutuskan pergi ke Sekolah Pelangi. Ternyata sangat jauh dari kawasan sekolahku. Naik angkut hingga dua kali lalu jalan sejauh satu kilometer. Meskipun Sekolah Pelangi masih terletak di pusat kota, tetap saja membayangkan Rima harus berjalan kaki dan mengamen hingga sejauh ini membuatku merasa miris. Tak bisa kubayangkan pagi-pagi buta dia sudah mulai bekerja, menyusuri jalanan aspal demi mencari sekeping koin uang belum lagi bila dia kepanasan atau kehujanan, apakah dia bisa melindungi dirinya? Anak usia 5 tahun, kakinya masih terlalu mungil untuk dipaksa berjalan jauh.
Sesampainya di Sekolah Pelangi, Bu Sari menyambutku. Bu Sari tidak bekerja hari ini karena salah satu siswanya jatuh sakit. Sekolah Pelangi masih sepi, karena ini belum jam pulang kerja mereka.
Bu Sari membawaku ke pelataran sekolah, lalu pamit undur diri ingin melihat kondisi Dandi, anak yang jatuh sakit tadi. Tapi aku mencegahnya, ingin ikut bersama menjenguk. Lalu Bu Sari membawaku ke ruangan dibalik kelas, tempat mereka tidur. Di sudut, terbaring anak laki-laki yang diselimuti kain sarung usang dan di dahinya terdapat kain kompres.
“Bagaimana keadaannya bu?” tanyaku.
“Syukurlah, demamnya sudah turun.” Jawab Bu Sari lega. Aku tersenyum lega.
“Oh ya, Nak Geisha. Bagaimana kelanjutan masalah dengan perusahaan itu?” tanya Bu Sari, terlihat jelas raut gusar di wajahnya.
Aku menggeleng. “Saya sudah coba pergi ke perusahaannya dan berbicara dengan pimpinannya, tapi dia tidak mau mendengarkan.” Ujarku tersenyum lemah.
“Yasudah, tak apa. Masih banyak cara lain, masih ada hari esok.” Ucap Bu Sari tersenyum. Wanita itu memang tegar.
“Ibu tenang saja, saya akan membantu dengan segala kemampuan yang saya punya. Ibu mohon doanya.” Tandasku.
Malam tiba, dan aku masih berada di Sekolah Pelangi, menunggu anak-anak tangguh itu pulang kerja. Tak lama, satu persatu anak-anak kembali dan menukar senyum denganku dan Bu Sari. Terlihat jelas, raut letih dan lelah yang tergurat di wajah lugu mereka. Anak sekecil mereka harus bekerja dan memikul beban yang sama beratnya dengan orang dewasa.
Setelah semuanya kembali, kami melanjutkan dengan makan malam bersama. Menu makannya sangat sederhana, hanya nasi dan sayur kangkung yang Bu Sari pungut di pasar. Tapi anak-anak itu tidak pernah mengeluh dan protes, mereka menikmati dengan bahagia. Bagi mereka sudah bisa makan saja syukur. Aku terharu.
Lalu setelah makan malam, mereka berkumpul di ruang kelas dan mulai belajar. Aku ikut menemani mereka.
“Anak-anak, perkenalkan ini Kak Geisha. Kak Geisha ini adalah orang baik yang ingin membantu kita mempertahankan Sekolah Pelangi ini.” Ucap Bu Sari memperkenalkan diriku di depan kelas.
Aku tersenyum, “Halo semuanya, Kak Geisha akan berusaha sebisa mungkin untuk membantu kalian. Kalian juga harus lebih giat lagi belajar, ya!”
Setelah perkenalan singkat itu, pelajaran dimulai. Aku membantu Bu Sari mengajar. Mereka ternyata cukup pintar, bahkan Ringgo, anak laki-laki berumur 10 tahun itu sudah seperti kalkulator berjalan, penghitungannya sungguh cepat dan di luar kepala. Tapi sayang, dia begitu dingin dan seperti antipati.
Kelas ditutup pada pukul 9 malam, lalu mereka pun pergi tidur, menyisakan aku dan Bu Sari yang sedang membereskan sisa pembelajaran tadi.
“Mereka sungguh pintar bagi anak seusia mereka. Ringgo sepertinya jago matematika, dia punya perhitungan yang cepat. Bahkan saya pun yang duduk di bangku SMA, masih memerlukan kertas untuk mencari hasilnya.” Ujarku takjub.
“Begitulah, ibu pun pada awalnya terkejut. Anak-anak itu punya kemampuan luar biasa tapi sayang, banyak faktor seperti lingkungan dan ekonomi yang menghambat perkembangan mereka. Kalau saja nasib mereka sedikit jauh lebih baik, setidaknya mereka bisa bersekolah dengan layak.” Ucap Bu Sari sendu.
Aku mengusap bahunya lembut. Sungguh disayangkan memang, bakat mereka harus terpendam. Maka dari itu, aku tidak boleh menyerah, aku tidak ingin bakat luar biasa mereka hanya dikubur didalam diri mereka tanpa bisa menunjukkan pada dunia luar.
Keesokan harinya, aku sudah duduk manis di bangku kelas. Dengan buku yang berserakan dan kertas-kertas. Fikiranku berkelana, mencari ide. Tanpa kusadari, ada yang menepuk bahuku. Aku tersentak kaget lalu menoleh ke samping ke kanan, ternyata Caca—teman sebangkuku.
“Gei, apa ada masalah? Kenapa kamu melamun?” tanyanya. Caca adalah satu-satunya teman di kelasku yang masih menganggapku. Dia bahkan mendekatiku duluan dan mengajakku untuk duduk bersamanya. Tapi sayang, aku masih belum bisa menerima kehadirannya.
“Tidak ada.” jawabku seadanya.
“Gei, aku tahu kamu masih belum bisa menerima kehadiranku sebagai teman kamu, tapi menurutku bila kamu ada masalah, memendam sendirian itu sulit, kamu membutuhkan orang lain untuk setidaknya mendengarkan masalah kamu. Dan aku siap jadi tong sampah kamu.” Ucap Caca sambil terkekeh pelan.
Aku tersenyum, begitu baiknya Caca padaku. Aku menjadi tidak ragu untuk menceritakan masalahku padanya, seperti katanya tadi, masalah akan jauh lebih baik bila dibagi dengan orang lain.
“Aku sedang bingung bagaimana caranya membantu mereka,” lalu aku mulai menceritakan dari awal, ketika bertemu dengan Rima yang terluka lalu mengantarnya pulang dan masalah Sekolah Pelangi. “Jadi gitu. Aku harus bantu mereka. Meskipun tanah itu milik perusahaan mereka, tapi rasanya sungguh tega bila membiarkan Sekolah Pelangi dirubuhkan.” Aku mendesah pelan.
Caca tampak berfikir, sepertinya dia sama bingungnya denganku.lalu tiba-tiba dia menjetikkan jarinya dan tersenyum senang, “Gei, bagaimana kalau membuat petisi?” tanyanya.
“Petisi?” dahiku mengernyit bingung, lalu sedetik kemudian aku mengerti maksudnya. Tentu saja, itu adalah cara efektif.
“Ca, ide bagus!” seruku.
“Tentu, zaman sekarang, menarik perhatian masyarakat merupakan cara paling ampuh. Mau sesulit apapun lawan kita, kalau kita berhasil menarik simpati masyarakat, mereka pasti tidak akan berkutik. Tentu saja, uang mereka kan berasal dari uang masyarakat yang membeli produk mereka. Rakyat adalah raja,” ucap Caca terkekeh.
“Kalau gitu, ayo kita buat. Kita gunakan dua metode, online dan konvensional.” Tandasku.
Caca mengangguk, “Oke, kalau online biar aku yang urus. Kakaknya temanku, ada yang gabung di website aspirasi gitu, dia pasti bisa bantu. Oh ya, Gei, kamu kan jago menulis, bagaimana kalau kamu kirim juga ke tabloid atau koran-koran? Semakin banyak yang melihat, semakin bagus.”
“Oke, kebetulan aku langganan salah satu koran. Semoga tulisanku bisa diterbitkan.”
“Kalau petisi konvensional, aku rasa kita mulai dari membagikannya dengan teman sekelas dulu. Kita yakinkan mereka, baru setelah itu mereka pasti akan membantu menyebarkannya. Cara mouth to mouth masih sangat ampuh dilakukan,” ujar Caca berbisik.
“Ide bagus, Ca. Ayo mulai bekerja!” aku mengepalkan tangan diikuti oleh Caca. Kami pun tertawa bersama.
Kali ini aku benar-benar harus bekerja keras. Beban yang dipikul kini jauh lebih ringan ketika bisa berbagi dengan Caca. Apalagi Caca juga membantu mencari solusinya. Ternyata memiliki teman bisa semenyenangkan ini.
Di rumah selepas pulang sekolah, aku langsung membuat contoh tulisan untuk petisi. Ku sebutkan bahwa tanah ini milik perusahaan yang ingin membangun pusat perbelanjaan. Sekolah Pelangi tidak bisa bertahan lama lagi karena kini sedang dituntut oleh pihak perusahaan, karena sewaktu-waktu bisa ditutup, tak kututupi juga bahwa sekolah tidak memiliki surat izin pendirian sekolah. Namun, aku tak menyebutkan nama perusahaan Pak Geovan, hanya kusebutkan bahwa tanah itu akan digunakan untuk pembangunan pusat perbelanjaan. Di akhir petisi, kutuliskan harapan semoga dengan adanya petisi ini pihak perusahaan tetap mengizinkan sekolah pelangi tetap ada dan tak lagi memaksa agar kami menyerahkan tanah itu.
Setelah selesai, kukirimkan tulisanku pada beberapa koran dan tabloid, tak lupa kukirimkan juga pada Caca. Setelah terkirim, aku menghela nafas lega. Semoga dengan petisi ini, bisa menarik simpati masyarakat dan Pak Geovan juga bisa menyadari betapa pentingnya Sekolah Pelangi.
Keesokan paginya, di sekolah Caca memberitahuku bahwa dalam semalam petisi ini sudah mendapat 500 tanda tangan. Aku senang bukan main, kini aku tinggal menunggu kabar dari koran dan tabloid yang sudah kukirimkan tulisanku. Semoga ini selesai dengan baik.
Sepulang sekolah, aku mengajak Caca untuk pergi ke Sekolah Pelangi sekaligus memberikan kabar gembira ini. Aku juga membawa sekotak besar kue. Aku ingin membagikannya pada anak-anak Sekolah Pelangi agar ketika malam tiba, mereka bisa memakannya.
Aku dan Caca bersenda gurau di sepanjang perjalanan,namun langkah kami terhenti ketika mendengar suara jeritan Bu Sari dan tangisan anak-anak. Aku dan Caca berlari menuju sumber suara dan betapa terkejutnya kami, ketika melihat banyak laki-laki bertubuh besar sedang mengeluarkan barang-barang dari dalam sekolah yang dihalang-halangi oleh Bu Sari dan anak-anak itu.
Aku menjatuhkan kotak kue itu dan berlari menghampiri Bu Sari yang kini sedang bersimpuh di atas tanah sambil menangis.
“Bu, ada apa ini?” tanyaku panik. Bu Sari hanya menangis dan menunjuk-nunjuk pada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kap mobil. Kini aku mengerti maksudnya, lalu ku hampiri Pak Geovan.
“Pak Geovan! Apa yang bapak lakukan?” tanyaku marah.
Pak Geovan hanya tersenyum sinis, “Saya cukup sabar memberi waktu yang cukup lama agar kalian bisa bersiap-siap bila menghadapi situasi ini, tapi gara-gara petisi itu saya kehilangan kesabaran!” seru Pak Geovan marah.
“Saya yang membuat petisi ini karena saya kira bisa menarik simpati bapak.”
“Maksud kamu menarik simpati masyarakat agar membela kalian dan membenci saya!”tukas Pak Geovan.
“Bukan begitu pak, kami benar-benar kehabisan cara bagaimana membujuk bapak untuk tetap mempertahankan Sekolah Pelangi. Apa bapak tega, membiarkan anak-anak itu luntang lantung di jalan dan kehilangan mimpi mereka?” ujarku lantang.
“Mereka kehilangan keluarga mereka, di usia sekecil mereka, mereka terpaksa untuk bisa berdiri dengan kaki mereka sendiri. Tak ada yang mau menolong mereka, hanya Bu Sari dan Sekolah Pelangi lah yang mau menampung mereka. Mereka hanya ingin tempat berteduh dan ingin setidaknya untuk menghadapi dunia luar, mereka tidak buta huruf.”
“Mereka adalah anak jalanan dengan segudang kemampuan yang luar biasa. Ringgo, anak kecil berusia 10 tahun yang jago matematika, dia bahkan bisa menghitung dengan cepat dan di luar kepala. Sinta, anak itu baru berumur 4 tahun tapi bisa membaca cepat tanpa harus dieja. Rima, dia gadis kecil yang tangguh, berjalan kaki berkilo-kilo meter demi mencari sesuap nasi bahkan dia tidak menangis ketika ada yang menyerempetnya dan lututnya terluka. Dandi bahkan hanya bisa terbaring lemas dengan kain kompresan ketika sakit, mereka tidak punya uang bahkan untuk membeli obat di warung. Sehari-hari mereka makan seadanya, hanya nasi dan sayur yang dipungut Bu Sari di pasar.”
“Penderitaan mereka makin menjadi, ketika bapak ingin membangun pusat perbelanjaan. Saya tahu, tanah ini milik bapak, tapi tak seharusnya bapak menuntut mereka. Uang darimana mereka untuk membayar pengacara bahkan untuk makan sehari-hari saja mereka harus banting tulang dari subuh hingga matahari terbenam? Kaki-kaki kecil mereka harus berjalan jauh hanya untuk mencari uang untuk makan hari itu. Setelah kenyang, mereka harus memikirkan lagi esok harus dapat uang dimana agar dapat makan lagi.” Pak Geovan terdiam, kulanjutkan apa yang kupendam dalam isi hatiku selama ini padanya. Dengan air mata yang mengalir deras,aku melanjutkan.
“Mereka tidak sama dengan bapak atau bahkan anak-anak lain yang nasibnya jauh lebih baik. Bapak mungkin bisa jalan-jalan ke luar negeri sebulan sekali, bapak punya segalanya. Apakah bapak masih mau egois dan serakah, menghancurkan harapan anak-anak ini? saya mohon pak, biarkan mereka menggantungkan mimpi mereka. Biarkan mereka memiliki tempat untuk pulang.” Suaraku nyaris lirih, tenggorokanku tercekat. Tak bisa kubayangkan, apa yang akan terjadi pada mereka bila Pak Geovan tetap kekeh untuk meratakan Sekolah Pelangi. Akan kemana mereka pergi dan bagaimana pendidikan mereka?
Suasana sangat hening, sedari tadi hanya suaraku yang menghiasi keheningan sore hari itu. Kulihat Bu Sari masih menangis sesenggukkan, anak-anak pun masih menangis dengan Caca yang memeluk mereka. Pak Geovan memalingkan muka, dan mendesah pelan. Lalu kemudian berbalik menatap kami satu persatu.
“Kamu benar, saya memang tidak sama dengan anak-anak itu. Saya terlahir dari keluarga yang berada, saya tidak pernah ada di posisi kalian makanya saya tidak mengerti rasanya. Tapi, pembangunan itu tetap harus dilanjut, jika tidak dilanjutkan, bukan hanya saya yang rugi milyaran rupiah tapi semua investor juga. Bisnis tetaplah bisnis.” Ucap Pak Geovan. Aku hampir saja akan membalas, ketika suara Pak Geovan kembali terdengar.
“Tapi saya tidak bisa membiarkan anak-anak itu kehilangan tempat tinggal maka dari itu saya akan mengirim mereka ke sebuah panti khusus anak jalanan yang berada dibawah naungan yayasan pendidikan milik teman saya. Saya berharap, mereka dapat memiliki pendidikan yang layak dan tak perlu khawatir akan tempat tinggal. Dan Bu Sari juga bisa tinggal disana. Saya akan meminta bantuan pada teman saya. Dan saya akan mencabut tuntutan saya.”
Aku tersenyum bahagia, Bu Sari pun bersujud syukur dan anak-anak Sekolah Pelangi juga berteriak senang. Tuhan, sungguh aku bahagia.
“Terima kasih pak,” ucap kami tulus.
Pak Geovan tersenyum, “Saya yang harus berterima kasih pada kalian. Kalian mengajarkan saya betapa pentingnya saling menolong. Kalian mengajarkan pada saya pentingnya perjuangan meski banyak badai yang mendera kalian tetap semangat dan tak pantang menyerah apalagi kalian masih kecil untuk tahu bagaimana rasanya memikul beban. Seharusnya kalian sedang bermain dengan teman sebaya kalian, tapi kalian malah harus bekerja. Saya sungguh salut.” Ucap Pak Geovan tersenyum.
Seusai itu, Pak Geovan pamit pulang dan berjanji akan membawa Bu Sari dan anak-anak Sekolah Pelangi besok pindah ke panti milik temannya itu. Aku begitu bahagia dan bersyukur bahwa masalah ini selesai dengan bahagia. Bu Sari pun mengucap terima kasih padaku dan Caca akan bantuan kami. Aku pun mengangguk ikut senang.
Sepulangnya dari sana, aku menyadari bahwa hidupku sungguh beruntung. Lahir dari keluarga berkecukupan dan memiliki orang tua lengkap. Bila aku tidak bertemu Bu Sari dan Sekolah Pelangi, aku tak akan pernah sadar betapa berharganya apa yang kumiliki saat ini. Lalu kuambil buku diary ku dan menulis sederet kalimat.
Sekolah Pelangi, terima kasih.
Geisha.
Lalu kuambil ponselku dan mengetikkan pesan,
Mama, cepat pulang. Geisha rindu.