Bab 3 - Mengagumi Tanpa Memiliki
Pernah aku mengira, mungkin cinta itu tentang ingin memiliki. Tapi kemudian aku mengagumi seseorang tanpa keinginan untuk menggenggamnya, hanya ingin dia bahagia. Dan di situ aku bingung, apakah itu cinta, atau sekadar keikhlasan yang belum punya nama.
Aku pernah percaya bahwa semakin aku memikirkan seseorang, semakin nyata ia di dalam hatiku.
Aku kira itu cinta.
Padahal yang tumbuh waktu itu bukan kasih, melainkan obsesi —
Cinta yang kupaksa untuk tetap hidup, meski tak pernah bernafas.
Obsesi itu menipu.
Ia menyamar sebagai ketulusan, padahal ia hanya keinginan untuk memiliki.
Aku tak mencintainya karena siapa dirinya,
Aku mencintainya karena bayangan yang kubentuk tentang dirinya di kepalaku.
Sebuah versi sempurna yang hanya hidup di imajinasiku,
Dan perlahan-lahan aku mulai mencintai bayangan itu lebih dari orangnya sendiri.
Setiap hari, pikiranku penuh olehnya.
Setiap detik aku menunggu sesuatu yang bahkan tak pasti akan datang.
Aku menafsirkan keheningan sebagai sinyal,
Mencari makna di tempat yang sebenarnya kosong.
Aku menjadi pengamat dari perasaan yang kubangun sendiri,
Seperti memelihara bunga dari plastik dan berharap ia akan tumbuh.
Ternyata obsesi itu diam-diam membunuh.
Ia tidak membunuh dengan luka besar,
Tapi dengan ribuan tusukan halus dari harapan yang tak pernah dijawab.
Setiap kali aku memikirkannya, aku menyalakan api kecil di dalam dada,
Dan setiap kali api itu padam, aku menyalakannya lagi —
Hingga aku lupa bagaimana rasanya hidup tanpa terbakar.
Aku mulai sadar, cinta yang sejati tidak seharusnya menuntut seseorang untuk terus hadir dalam pikiran.
Cinta tidak mengekang, tidak memaksa, tidak membuat dada sesak hanya karena seseorang tidak membalas.
Tapi obsesi… obsesi ingin menang.
Ia ingin diakui, ingin dimiliki, bahkan jika itu berarti menghancurkan kedamaian sendiri.
Ada satu malam aku berdiri di depan cermin,
Menatap mataku sendiri, dan bertanya:
“Aku benar-benar mencintainya… atau aku hanya takut kehilangan sesuatu yang sebenarnya tak pernah kumiliki?”
Pertanyaan itu menggema di dalam kepalaku, tak pernah kujawab.
Karena mungkin aku tahu, jawabannya tak akan menenangkan.
Obsesi membuatku lupa bagaimana mencintai dengan tenang.
Aku mencintai dengan ketakutan,
Aku berharap dengan kecemasan,
Dan aku menunggu dengan putus asa.
Padahal cinta tidak seharusnya menyakitkan —
Yang menyakitkan adalah ketika aku terus menolak menerima bahwa rasa itu hanya milikku sendiri.
Kini aku belajar:
Kadang, melepaskan bukan berarti berhenti mencintai,
Tapi berhenti memaksa cinta yang tak pernah tumbuh.
✨ Filosofi singkat di bawah halaman:
“Obsesi bukan tentang siapa yang kita cintai,
Tapi tentang apa yang tidak bisa kita lepaskan — bahkan ketika itu tak pernah jadi milik kita.”