Bola panas matahari melambung tinggi, menerangi pucuk-pucuk daun pepohonan. Suara-suara alam bergema, di atas dahan pohon, seekor burung kutilang melantunkan nada. Serigala melolong, memanggil kawanannya, kera-kera dan sejenisnya berayuna dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, berseru dengan bahasa mereka.
Ditengah hutan lebat itu, secerca cahaya turun dari langit, menghantam bumi. Itulah dia, dari cahaya gemilang yang perlahan meredup, sesosok mahkluk baru telah muncul. Ialah yang dalam kisah kitab-kitab merupakan mahkluk yang terusir dari surga karena menantang tuhan, ialah sang manusia pertama.
Tubuhnya tinggi, sekitar 178 cm - jika diukur menggunakan satuan ukur sekarang - rambutnya pirang pendek, pupil matanya coklat dengan wajah dan kulit putih bersih bak bangsa eropa. Sang manusia pertama turun tanpa perbekalan, bahkan ia tidak mempunyai sehelai kain atau setidaknya sehelai daun untuk memutupi kemaluannya. Karena memang jika mengacu pada kitab kitab, di surga kemaluan itu tidak ada, maka maklum lah manusia pertama itu bingung dengan dirinya sendiri.
Sang manusia pertama itu sungguh tidak mengetahui apapun. Tubuhnya mematung, matanya terbelalak menyisir apapun di sekitar. Keringat dingin berkucurwn deras dari tubuhnya, menetes pada tanah coklat yang gembur.
"Dimana aku?" Manusia pertama bertanya, entah bertanya siapa.
Sekelilingnya hanya dipenuhi batang batang pohon yang menjulang setinggi 2 meter dengan rimbun dedaunan menutupi puncaknya, meneduhkan sang manusia pertama dari teriknya matahari.
Sang manusia pertama melangkahkan kakinya, langkah pertama bagi spesies yang kelak akan menjadi pemicu kerusakan alam dan habitat hewan. Sang manusia pertama melangkah entah kemana, menururuti insting hewani yang ia miliki. Melewati segunduk bebatuan, melewati lorong-lorong alam, pepohonan menjulang kemanapun ia melangkah.
Mengapa ia harus berjalan?, bukankah ia bisa dengan tenang menunggu ditempat semula untuk kemudian diselamatkan oleh tuhan dari tanah subur yang disebut penjara dunia ini?. Kau tahu, manusia pertama itu benar benar tidak tahu, bukan bodoh. Bukankah ada kemungkinan tuhan tidak akan menyelamatkan nya, karena tuhan itu sendiri yang mengusirnya. Lagipula cerita ini akan membosankan jika manusia itu hanya berdiam diri. Kemudian, persoalan bagaimana ia dapat tahu caranya berjalan, kita anggap kemampuan itu didapatkannya dari jalan jalan di surga.
Bola panas matahari telah bergeser menuju barat, cahaya terang itu berubah emas, menyirami pucuk pucuk pohon. Manusia pertama itu masih melangkah dengan kedua kakinya, kepalanya bergerakan, menoleh sana sini, kalian tahu apa yang tengah ia lakukan.
Sang manusia pertama itu tengah mengamati, suatu kemampuan yang dimiliki manusia dari ia lahir, bayi-bayi mengamati bentuk wajah, aroma, postur, suara dan segala macam ciri-ciri orang tua mereka. Entah kemampuan itu merupakan anugrah dari surga yang diberikan tuhan, atau datang dengan begitu alami. Dengan kemampuan dasyat itu, manusia dapat beradaptasi sangat cepat dengan lingkungannya.
Pepohonan rindang menutupi cahaya mentari, mengakibatkan hutan itu begitu redup. Ditengah redupnya cahaya itu, suara aneh merangsek masuk ke dalam telinganya.
"Kruuuk"
Itu adalah suara panggilan dari perutnya. Tentu, manusia itu sudah sangat jauh berjalan, menyusuri hutan setengah perjalanan matahari, perutnya kosong dan kini ia bersuara meminta untuk di isi.
Namun kau tahu, manusia pertama itu benar benar tidak tahu. Ia malah panik, menatap sekitar dengan cemas, matanya terbelalak, kepalanya memutar beberapa derajat, langkahnya benar benar terhenti, berganti panik dan takut. Setelah mendapati sekitarnya baik baik saja, sang manusia pertama kembali berjalan tanpa arah.
Namun kini ia merasakan sesuatu yang berbeda, tubuhnya lemas, kepalanya terasa berputar. Matahari sudah diujung tanduk, gelap sebentar lagi berkuasa. Manusia itu kemudian menyadari satu hal.
"Tubuhku terasa berbeda sebelum suara aneh itu terdengar, sekarang kaki ku terasa lelah setiap melangkah, lebih baik aku berhenti."
Maka dengan keputusan bijak itu, sang manusia pertama menyenderkan tubuhnya pada sebatang pohon. Perutnya mulai berkecamuk sakit. Kau tahu, manusia pertama itu sungguh tidak tahu bagaimana mengatasi sakit itu sampai ketika ia melihat. Seekor kera meraih buah dari pepohonan di hutan itu, bentuknya seperti mangga dengan kulit buah kuning khas nya. Manusia pertama mengamati kera itu, membuka kulit buah dan mengeluarkan isinya yang ke oranyean kemudia menggigit isi itu dengan mulutnya. Kemudian dengan rasa penasaran, orang pertama itu menitu kera yang ia lihat, mempraktekan hal yang sama dan memakan buah yang sama. Setelah mwmakan habis satu buah, perutnya yang sakit mulai berangsur sembuh. Kemudian dengan itu ia menyadari.
"Sakitku mulai tidak terasa setelah makan ini."
Maka setiap kali sang manusia pertama itu merasakan sakit diperutnya, ia akan makan buah yang sama dengan yang kera itu makan.
Manusia bukan hanya dianugrahi untuk bisa mengamati, namun juga rasa penasaran yang tinggi serta kemampuannya untuk meniru. Seorang bayi dapat mengamati dengan rasa penasaran yang tibggi terhadap apapun yang ibu atau orang tua mereka kerjakan kemudian menirunya dengan sangat baik. Itulah anugrah yang di dapat sang manusia pertama dari surga, yang kemudian kemampuan itu diturunkan pada anak cucunya.
Kehilangan 3 kemampuan itu bukanlah salah mereka, namun lingkungan yang tidak mendukung mereka untuk mengamati, bertanya, dan meniru. Meski memang benar ketiganya adalah anugrah, namun kebanyakan manusia khususnya pada zaman-zaman kebodohan, mengamati dan bertanya sudah ditinggalkan dan manusia hanya dituntut untuk meniru, tanpa mengamati dan berfikir apa itu benar atau salah?. Dengan katalain, kita sendiri yang membatasi segala potensi dari anugrah yang surga berikan pada manusia pertama.
Kombinasi dari ketiga kemampuan itu melahirkan konsep fundamental bagi peradaban umat manusia yakni prinsip atau hukum kausalitas, sebab akibat. Manusia pertama itu menyadari pengamatannya yang sederhana bahwa jika ia terus berjalan, perutnya akan berbunyi dan selepas bunyi itu tubuhnya terasa lemas. Kemudian dengan keingintahuannya ia mengamati kera yang dimatanya tentu terlihat aneh karena baru pertama kali melihat. Dengan melakukan percobaan dengan meniru kera itu, manusia pertama berhasil memgatasi sakit perutnya. Yang kemudian menyimpulkan bahwa ia harus makan buah itu saat tubuhnya lemas supaya segar dan kuat kembali.
Dari penjabaran diatas sudah terlihat bahwa ia dapat menyelesaikan masalahnya, dengan mengamati, bertanya, dan meniru. Kemudian lahir hukum atau prinsip sebab akibat. Yakni setiap ada sebab yang manusia itu rasakan seperti lapar pasti memiliki suatu akibat yakni kelelahan. Atau saat ia melakukan sebab dengan memakan buah maka akan menimbulkan akibat berupa kenyang.
Maka dengan hukum kausalitas mereka membangun peradaban, melalui mengamati, bertanya, dan meniru dari alam. Sebagaimana pohon mangga yang menjatuhkan buahnya untuk kemudian hari tumbuh, maka manusia mulai menanam, bercocpk tanam dari spesies tumbuhan yang mereka sukai. Dari sini kemudian kebidupan manusia berubah drastis, hidupnya tak lagi nomaden, mereka menetap dan membuat kelompok kecil yang kemudian hari akan menjadi peradaban yang lebih maju.
Setelah ribuan tahun, setelah peradaban, peradaban terbentuk, manusia mulai memahami alam melalui pola dengan menggunakan hukum kausalitas, "hari ini musim kemarau, maka sebaiknya kita tidak usah menanam, karena akan sulit menemukan air di musim kemarau" begitulah. Mereka terus mendeskripsikan gejala alam dengan melihat sebab dan akibatnya secara sederhana.
Namun kemudian mereka menyentuh hukum kausalitas yang lebih tinggi, "jika sesuatu itu ada, maka apa penyebabnya ada?" "Petir itu ada, dan ia selalu datang setiap bagai melanda, tapi kenapa petir itu bisa ada dan tercipta?" Begitulah kira kira. Kemudian sebagian mengatakan itu mudah, petir itu ada karena badai itu ada, karena kalau tidak ada badai, petir itu pasti tidak ada. Namun, sebagian lain lagi yang memiliki imajinasi dan daya khayal yang tinggi membawa suatu yang lain. Sesuatu itu ada pasti ada penyebabnya bisa ada. Petir itu ada karena sesuatu menciptakan petir itu untuk membuatnya ada. Makan dari golongan kedua ini, lahir lah yang disebut Dewa dan kepercayaan terhadap penciptaan. Itu sangat logis dan mudah dimengerti, sesuatu sebab pasti ada awal, atau akibat yang menciptakanya dan dengan mudah, konsep dewa ini diterima.
Maka semakin jelas bahwa pembahasan kita mengarah pada eksistensi, atau keberadaan sesuatu dengan menggunakan hukum sebab akibat sebagai dasar penalaran kita. Kemudian, bagaimana jika kita menggunakan konsep eksistensi dewa ini terhadap eksistensi tuhan tunggal?.
Manusia telah berkembang jauh, dengan bantuan dari para filosof dan tokoh tokoh yang melopori pemikiran- pemikiran hebat serta pengenalan cara berfikir logika dan sistematis. Kita mampu menhelaskan apa yang disebut orang mesopotami sebagai sihir, kini kita menyebutnya sains. Maka setelah kekuatan dewa terdeskripsi dengan lengkap oleh sains, kita masih tidak lepas dari pertanyaan eksistensi tentang keberadaan kita sendiri.
Siapa kita?, darimana kita berasal?, untuk apa tujuan kuta?, kemana kita setelah pergi dari dunia?, apa yang menyebabkan terciptanya alam semesta?. Semua pertanyaan itu masih samar jawabannya. Maka jika kita mengikut tabiat pendahulu kita yang suka berimajinasi, kita akan membayangkan sesosok makhluk menciptakan segala sesuatu. Bukan karena itu kebenarannya, mungkin. Namun karena kita kembali ke titik yang sama seperti pendahulu kita menemukan dewa. Sesuatu yang tidak kita ketahui, kemudian menjadikan tuhan sebagai kambing hitam, atau penyebab dari segala sesuatu yang ada.
"Segala sesuatu yang tidak mampu di jelaskan oleh akal manusia, maka ialah tuhan, dan hanya zat yang paling mulia itulah yang memiliki semua jawaban atas segala sesuatu itu"
Itu bukan tanda dari kepasrahan manusia menjelaskan alam semesta, tapi karena semesta itu sendiri yang membatasinya. Tempat kita dan tuhan terpisah melalui sekat yang sangat tipis yakni kemampuan manusia yang terbatas.