I. Pukul 02:00. Frekuensi yang Salah
Kota ini tidak dibangun dari semen, melainkan dari sisa-sisa keinginan yang tidak sampai. Namanya Veridia, sebuah metropolis yang ditenagai oleh "Mekanisme Jantung Pusat"—sebuah mesin uap raksasa di bawah tanah yang berdetak setiap empat detik.
Tugas saya adalah seorang Audio-Suturer. Saya menjahit suara. Di kota ini, jika Anda kehilangan suara karena trauma atau polusi industri, Anda datang kepada saya. Saya akan mengambil potongan suara dari masa lalu—bunyi gesekan biola tua, suara air terjun, atau tawa anak kecil dan menjahitnya ke pita suara Anda menggunakan benang perak elektrostatis.
Malam itu, seorang pria masuk dengan leher yang dibalut perban hitam. Matanya adalah dua lubang hampa yang tampaknya telah melihat akhir dari dunia.
II. Pukul 02:15. Prosedur Diagnosa
"Saya ingin suara yang tidak bisa didengar oleh manusia," bisiknya. Suaranya saat ini hanyalah desis uap bocor. Tajam, namun rapuh.
Saya menyesuaikan mikroskop elektron saya. "Secara sistematis, itu mustahil, Tuan. Suara adalah getaran yang memerlukan medium. Jika manusia tidak bisa mendengarnya, maka suara itu tidak ada bagi Anda."
Ia meletakkan sebuah botol kecil di meja kerja saya. Di dalamnya tidak ada cairan. Hanya ada kegelapan yang seolah-olah bergerak-gerak seperti lintah. "Gunakan ini. Ini adalah frekuensi dari kesunyian di dalam liang lahat ibu saya."
Saya terdiam. Atmosfer di ruangan itu mendadak menjadi dingin, seolah-olah suhu dihisap oleh botol kecil tersebut. Secara teknis, ini adalah pelanggaran kode etik Lembaga Akustik Negara. Namun, ada rasa lapar artistik yang tajam di perut saya. Saya mulai menyiapkan jarum.
III. Pukul 03:00. Pembedahan Bunyi
Prosedur dimulai. Saya membedah tenggorokannya dengan laser presisi. Di bawah lapisan epidermisnya, saya tidak menemukan otot atau urat syaraf. Saya menemukan roda gigi.
Pria ini adalah seorang Automata—manusia mekanis sisa perang besar. Setiap kali jantung pusat kota berdetak, roda gigi di lehernya ikut berputar satu derajat.
Saya menuangkan "isi" botol itu ke dalam modulator suaranya. Seketika, ruangan laboratorium saya kehilangan semua bunyinya. Detik jam dinding saya berhenti bersuara, meski jarumnya tetap bergerak. Nafas saya menjadi bisu. Dunia seolah-olah sedang menahan nafas di bawah tekanan air yang sangat dalam.
Saya menjahit sisa luka itu dengan benang perak. Sistematis. Rapi. Tanpa cela.
IV. Pukul 03:45. Gema yang Terbalik
"Selesai," kata saya, meski kata itu hanya muncul sebagai gerakan bibir tanpa suara.
Pria itu berdiri. Ia membuka mulutnya. Tidak ada suara yang keluar. Namun, di dalam kepala saya, saya mulai mendengar sesuatu yang mengerikan. Itu bukan suara pria itu. Itu adalah suara saya.
Saya mendengar pikiran-pikiran paling kotor saya. Saya mendengar rahasia yang saya kubur saat berusia sepuluh tahun. Saya mendengar suara tangisan mantan istri saya di malam saya meninggalkannya.
Pria itu tidak mendapatkan suara baru. Botol itu adalah sebuah "Vakum Akustik". Siapa pun yang berada di dekatnya akan mendengar pantulan dari dosa-dosa mereka sendiri yang selama ini diredam oleh kebisingan dunia.
"Terima kasih," katanya. Kali ini, suaranya terdengar seperti ribuan kaca yang pecah di dalam otak saya. "Sekarang, semua orang akan dipaksa untuk mendengarkan diri mereka sendiri."
V.Jantung yang Berhenti
Pria itu berjalan keluar menuju pusat kota, tepat saat matahari fajar yang pucat mulai menyembul. Ia berdiri di atas menara jam utama, tempat di mana "Mekanisme Jantung Pusat" berada.
Ia mulai bicara—atau lebih tepatnya, ia mulai memancarkan kesunyian.
Tiba-tiba, detak jantung kota yang biasanya berdentum setiap empat detik itu... berhenti. Kesunyian yang ia bawa bukan sekadar absennya suara, tapi sebuah anti-materi bunyi. Mesin raksasa di bawah tanah itu macet karena frekuensi kesunyian itu merusak resonansi logamnya.
Kota Veridia mati seketika. Lampu-lampu padam. Kereta uap berhenti di tengah rel. Ribuan orang keluar ke jalanan dalam kegelapan total.
Saya berlari mengejarnya, namun saya berhenti di cermin lorong kantor saya. Saya melihat leher saya sendiri. Di sana, ada bekas jahitan perak yang masih basah.
Saya meraba tenggorokan saya. Tidak ada denyut nadi. Hanya ada suara detak roda gigi yang kecil. Krak. Krak. Krak.
VI. Interval Akhir: Produk Pabrik
Sebuah memori yang dipaksa muncul meledak di benak saya: Saya tidak pernah menjahit suaranya. Dia yang menjahit saya.
Pria itu adalah sang Pencipta Kota, dan saya hanyalah salah satu unit Audio-Suturer yang baru saja "diperbarui" perangkat lunaknya. Prosedur tadi bukan tentang menyembuhkannya, tapi tentang memindahkan kesadaran "Dosa Kota" ke dalam unit-unit seperti saya agar mesin pusat bisa beristirahat.
Saya menatap tangan saya yang kini berubah menjadi perunggu mengkilap. Di luar sana, ribuan Audio-Suturer lainnya keluar dari bengkel mereka masing-masing, membawa botol-botol kosong, siap memanen penyesalan dari manusia-manusia asli yang tersisa di kota yang kini bisu ini.
Dunia tidak berakhir dengan ledakan. Dunia berakhir dengan jahitan yang sangat rapi.