Bau. Bukan bau busuk yang sesekali tercium, tetapi bau busuk yang hidup. Bau itu adalah selimut, napas, dan takdir bagi Rindu. Ia berusia sebelas tahun, tetapi matanya memuat beban dari empat puluh tahun kehidupan di bibir jurang.
Rumah Rindu adalah petak seng berkarat di lereng Bukit Daur Ulang, sebutan ironis untuk sebuah gundukan raksasa, Pintu Gerbang menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantarangin.
Bantarangin bukan sekadar TPA, ia adalah lautan material yang ditolak dunia, sebuah kerajaan yang dibangun dari sampah kota metropolitan yang mewah, kota Gemerlap. Bagi penduduk kota Gemerlap, Bantarangin adalah aib yang harus disembunyikan di balik bukit-bukit buatan. Bagi Rindu, Bantarangin adalah Kebun.
Pagi hari, saat matahari masih malas merangkak, Rindu sudah siap. Pakaiannya lusuh, sobekan kain yang disatukan oleh debu dan keringat. Kakinya telanjang, kulitnya menebal, kebal terhadap pecahan kaca dan tajamnya kaleng. Di punggungnya tergantung karung goni yang hampir sama besar dengannya. Ia bukan anak yang mencari mainan, ia mencari hidup.
Rindu adalah seorang pemulung.
Ayahnya, Jaka, adalah seorang veteran di 'kebun' ini, pria bertubuh kurus yang batuknya terdengar seperti pecahan kristal. Ibunya, Sari, dulu membantu, tetapi paru-parunya menyerah setahun lalu. Sejak saat itu, karung goni Rindu harus terisi penuh, setiap hari.
“Rindu!” panggil Jaka, suaranya serak. Ia sedang merebus air dengan kayu bakar yang ia temukan. “Jangan terlalu jauh. Ingat, hari ini truk baru dari utara.”
Truk dari utara—kawasan elit—selalu membawa 'harta karun' seperti botol plastik yang lebih bersih, mungkin sisa makanan yang layak, atau bahkan sepotong tembaga bernilai tinggi. Persaingan di sektor ini sangat brutal.
“Iya, Pak,” jawab Rindu sambil melompat keluar dari bilik.
Pemandangan Bantarangin adalah panorama surealis. Ribuan ton sampah membentang sejauh mata memandang, bergerak perlahan, seolah-olah gundukan itu adalah makhluk hidup yang bernapas.
Burung-burung camar berputar-putar di langit kelabu, mereka juga tahu, Bantarangin adalah supermarket terbesar.
Rindu mulai bekerja. Ia menyusuri parit-parit kecil yang mengalirkan air berwarna hitam pekat. Ia tahu jenis plastik mana yang harganya lebih mahal. Botol PET jernih, kaleng aluminium, karton, semua punya nilai, punya tempat di hierarki kemiskinan. Tangannya cekatan, matanya tajam. Ia bisa membedakan jenis plastik hanya dari pantulan cahayanya.
“Hei, Rindu! Dapat apa kau hari ini?” Sapa Udin, anak laki-laki dengan kemeja yang terlalu besar, yang merupakan satu-satunya seragam sekolahnya. Udin adalah salah satu dari kelompok kecil mereka, Anak-Anak Plastik.
“Belum banyak, Din. Bau hari ini lebih pekat,” keluh Rindu.
Ketidakadilan adalah makanan sehari-hari mereka, sejelas mentari yang terbit. Rindu tahu, setiap kali ia mengumpulkan satu botol air mineral bekas, botol itu dulunya dipegang oleh seseorang yang tidak perlu khawatir tentang tempat tinggal, seseorang yang mungkin membuangnya bahkan tanpa menghabiskan isinya. Ia memulung kemewahan yang dibuang.
Mereka adalah bayangan dari sebuah kota yang bersih.
Saat itu, sebuah truk besar berwarna hijau lumut meraung masuk, membawa beban yang mengejutkan. Truk itu melaju ke sektor yang jarang dikunjungi, bagian paling tua dari Bantarangin, area yang sudah hampir sepuluh tahun tidak disorot lampu sorot. Para pemulung senior jarang ke sana, terlalu jauh, terlalu berbahaya.
Namun, di sana, di ujung cakrawala sampah yang bergelombang, Rindu melihat sesuatu yang aneh.
Di tengah lautan abu-abu dan cokelat sampah, ada sebercak warna hijau tua yang kontras.
Rasa ingin tahu mendorong Rindu, mengalahkan rasa lelah dan bau yang menyengat. Ia meninggalkan sektor utara yang ramai, merangkak di antara tumpukan popok bekas, styrofoam, dan puing konstruksi.
Setelah berjalan hampir satu jam, Rindu akhirnya sampai di bagian TPA yang paling sunyi. Dan di sana, ia melihatnya.
Tegak, tinggi, dan kokoh, sebatang pohon karet tua berdiri seolah menantang kematian.
Batangnya tebal, kulitnya kasar, penuh luka bekas sayatan, tanda bahwa ia pernah disadap bertahun-tahun yang lalu, sebelum kawasan ini berubah menjadi neraka. Akarnya mencengkeram erat tanah yang sekarang hampir sepenuhnya tertutup oleh sampah yang mengeras dan lapisan tanah penutup. Daunnya yang lebat tampak berwarna hijau pekat, jauh lebih sehat daripada bayangan tanaman lain yang mencoba bertahan di pinggir TPA.
Udara di bawah kanopi pohon itu terasa berbeda. Bukan bau busuk, melainkan aroma yang samar, aroma tanah basah dan daun hijau. Itu adalah napas yang sudah lama Rindu lupakan. Itu adalah udara yang bersih.
Rindu menjatuhkan karung goni miliknya dan perlahan menyentuh batang pohon itu. Dingin. Keras. Hidup.
“Kau… bagaimana kau bisa bertahan di lingkungan seburuk ini?” bisik Rindu.
Ia menemukan celah kecil di antara akar-akar yang menonjol, membentuk sebuah ceruk yang terlindung. Itu adalah tempat berlindung yang sempurna. Cahaya matahari menembus dedaunan, menciptakan pola bayangan yang bergerak di tanah.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rindu merasa seperti berada di dalam hutan, bukan di tempat sampah.
Pohon itu menjadi surganya.
Sejak hari itu, setelah menyelesaikan kewajibannya mengumpulkan sampah, Rindu akan pergi ke pohon karet itu. Ia menamai pohon itu Pohon Hujan, karena di sana, saat hujan turun, ia merasa seperti hujan itu membersihkan, bukan hanya membasahi sampah.
Ia mulai membawa 'harta karun' terpilihnya ke sana. Selembar majalah bergambar pantai yang bersih. Botol plastik bening yang ia cuci hingga bersih. Sepotong cermin pecah yang memantulkan langit biru. Ia membangun sebuah 'istana' kecil di bawah akarnya.
Pohon Hujan menjadi rahasia Rindu.
Ia hanya membagi rahasia itu dengan Anak-Anak Plastik seperti Udin, Sasa (gadis kecil yang lincah yang selalu mencari kabel tembaga), dan Anton (si pendiam yang mahir memperbaiki barang rongsokan). Mereka semua menemukan kedamaian di bawah kanopi yang teduh. Mereka bisa duduk, beristirahat, dan untuk sesaat, melupakan bahwa mereka hidup di atas tumpukan kotoran orang lain.
“Rasanya seperti kita mencuri sedikit surga dari kota itu, ya?” kata Sasa suatu sore, sambil bersandar di batang Pohon Hujan.
“Bukan mencuri. Ini satu-satunya hal yang tidak mereka buang,” koreksi Rindu, sambil memungut daun karet yang gugur. “Ini milik kita, karena kita yang menemukannya.”
Namun, kedamaian itu berumur pendek.
Suatu pagi yang cerah, saat Rindu sedang mencari kaleng di sektor timur, ia melihat mobil-mobil mewah berkonvoi memasuki Bantarangin. Bukan truk sampah, melainkan SUV hitam mengkilap dengan plat nomor pejabat. Bersama mereka, ada beberapa orang asing berjas rapi, membawa gulungan kertas besar.
Mereka berhenti tepat di dekat Pohon Hujan.
Rindu merasakan ketakutan yang familiar menyergapnya, jenis ketakutan yang sama yang ia rasakan saat ayahnya batuk hingga mengeluarkan darah.
Ia bersembunyi di balik tumpukan karpet bekas, menguping.
“...Ya, di sini. Titik tertinggi. Pemandangan terbaik ke kota,” kata seorang pria gemuk berbaju batik mewah. Rindu mengenali suaranya—Wakil Walikota.
“Excellent. Kami bisa membangun lima tower di sini. ‘The Peak Residences at Bantarangin’. Nama yang ironis dan catchy,” jawab seorang pria asing berambut pirang, sambil menunjuk ke peta.
Peta itu, Rindu melihat, memiliki tanda silang merah yang besar. Tanda silang itu terletak tepat di tempat Pohon Hujan berdiri.
“Tapi, Tuan Walikota, ini kan TPA,” kata salah satu staf Walikota.
Wakil Walikota tertawa keras, suaranya seperti batu beradu. “TPA? Itu dulu. Sekarang, ini adalah ‘Lahan Reklamasi Kelas Satu’. Pemerintah sudah menjual hak guna lahannya. Semua sampah di area ini akan ditutup dengan lapisan tanah tebal, diolah, dan dikonversi. Proyek apartemen mewah ini akan menghapus jejak kemiskinan dari pandangan kita.”
“Lalu bagaimana dengan para pemulung dan gubuk-gubuk itu?” tanya pria asing itu.
“Mereka akan kami relokasi. Jauh. Di pinggir kota. Bersih. Kota ini harus terlihat cantik, gentlemen. Kemiskinan yang terlihat itu buruk bagi investasi.”
Rindu merasakan darahnya mendidih. Menghapus jejak kemiskinan. Mereka ingin menghapus dirinya.
Ia berlari kembali ke Pohon Hujan, napasnya tersengal.
“Udin! Sasa! Anton!”
Ia menjelaskan apa yang ia dengar, suaranya bergetar. Anak-Anak Plastik mendengarkan dengan tatapan horor. Pohon Hujan, satu-satunya napas bersih mereka, akan dihancurkan. Tempat berlindung mereka akan menjadi fondasi bagi kemewahan yang mereka benci.
“Kita tidak bisa biarkan itu terjadi,” kata Rindu, menggenggam erat batangnya.
“Bagaimana kita menghentikan Walikota, Rindu? Mereka punya uang, mereka punya buldoser,” kata Udin, matanya memancarkan rasa tidak berdaya yang familiar.
“Kita punya Pohon Hujan,” kata Rindu, tatapannya keras. “Dan kita punya… harta kita.”
Tiga hari kemudian, pekerjaan dimulai.
Pertama, datanglah truk-truk besar yang mulai menimbun sampah di area lain, memindahkan gundukan-gundukan kecil. Lalu, datanglah pagar kawat berduri tinggi, memisahkan area pembangunan dari sisa TPA.
Pagi itu, yang paling ditakuti Rindu muncul. Sebuah buldoser raksasa, berwarna kuning cerah, meraung-raung.
Rindu dan Anak-Anak Plastik—bersama beberapa pemulung muda lainnya yang ia yakinkan—sudah menunggu.
Rindu tidak hanya membawa dirinya. Ia membawa seluruh koleksi 'harta' yang ia dan teman-temannya kumpulkan:
• Ratusan botol plastik PET yang diikat menjadi jaring-jaring tebal.
• Ratusan kaleng aluminium yang dipipihkan dan disambung menjadi perisai mengkilap.
• Ribuan meter kabel tembaga yang diikat meliliti batang Pohon Hujan, seolah-olah memberinya lapisan pelindung baja.
• Bermacam-macam kayu bekas dan papan lapis yang membentuk barikade kecil.
"Kita tidak punya tembok batu! Kita punya ini!" teriak Rindu kepada teman-temannya. “Kita punya apa yang mereka buang! Kita akan gunakan sampah mereka untuk melindungi apa yang tidak bisa mereka buang!”
Mereka mulai bekerja gila-gilaan, menggunakan harta mereka untuk membungkus Pohon Hujan. Rindu memanjat pohon itu, mengikat kabel-kabel tembaga seerat mungkin, seperti urat baja.
Ketika buldoser mendekat, dipimpin oleh seorang mandor berkulit gelap dan bermuka masam, Rindu turun. Ia berdiri di depan pohon itu.
“Minggir, anak-anak!” bentak mandor itu, suaranya menggema. “Ini lahan proyek! Ini perintah Walikota!”
Rindu maju selangkah. Di belakangnya, berdiri Anak-Anak Plastik. Ada Udin yang memegang perisai kaleng mengkilap, Sasa dan Anton berdiri di sisi-sisi, memegang ujung jaring botol plastik.
“Anda tidak boleh menebangnya!” teriak Rindu, suaranya kecil namun tajam.
“Tidak boleh? Ini bukan pohon langka. Ini pohon karet tua di tengah tempat sampah!” ejek sang mandor.
“Ini satu-satunya napas kami!” balas Rindu. “Setiap napas yang kami hirup di tempat ini, kotoran dari kekayaan Anda, semua racun, semua debu, diserap olehnya! Dia satu-satunya yang membersihkan udara untuk kami! Anda punya taman di rumah, Anda punya AC! Kami hanya punya Pohon Hujan!”
Mandor itu tidak peduli. Ia memberi isyarat kepada operator buldoser.
Mesin baja itu mulai bergerak maju. Suaranya memekakkan telinga.
Rindu tahu ini sia-sia, tetapi ia tidak akan lari. Ia berlutut di depan pohon itu, memeluk akarnya. Udin, Sasa, dan Anton segera ikut berlutut, melindungi batang pohon dengan tubuh mereka yang kecil.
“Jangan injak kami!” teriak Sasa, matanya terpejam.
Operator buldoser ragu sejenak. Ia tidak ingin melindas anak-anak.
Namun, dari belakang, mandor itu berteriak, “Lanjutkan! Mereka hanya anak-anak liar! Anggap saja seperti gundukan sampah!”
Buldoser itu bergerak lagi. Tiba-tiba, ia menabrak barikade kayu dan jaring plastik yang dibuat Rindu. Barikade itu tentu saja hancur, tetapi menyebabkan goyangan kecil pada buldoser, memperlambatnya sedikit.
Di tengah kekacauan itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Seorang wanita muda, mengenakan rompi pers dan memegang kamera video kecil, berlari ke tengah area, melompati sampah. Ia adalah seorang jurnalis lepas yang sedang membuat laporan tentang kehidupan pemulung. Ia telah merekam semua yang terjadi, dari awal.
“Tunggu! Anda tidak bisa melindas mereka! Saya merekam!” teriak jurnalis itu.
Mandor itu marah besar. Ia berlari ke arah jurnalis itu, mencoba merebut kameranya.
Dalam kekacauan perkelahian itu, operator buldoser menerima perintah yang salah atau mungkin kehilangan kendali karena stres.
Buldoser itu meraung. Bukan lagi maju, melainkan berbelok ke samping, dan mata pisau bajanya yang berat menghantam batang Pohon Hujan.
KRAKK!
Suara itu lebih keras daripada raungan buldoser. Suara kayu yang patah, suara kehidupan yang menyerah.
Rindu merasakan getaran hebat melalui tanah. Ia melihat ke atas, dengan mata terbuka lebar.
Pohon Hujan, pohon karet tua yang perkasa, pohon harapan, perlahan-lahan mulai miring. Ia tidak runtuh dengan cepat; ia berjuang, kayunya meratap, akarnya dicabut dari tanah yang ia lindungi.
Rindu menjerit. Ia mencoba meraihnya, seolah-olah lengannya yang kecil bisa menahan bobot sejarah.
Namun, mustahil.
Dengan debu yang mengepul tinggi dan suara hantaman yang mematikan, Pohon Karet Terakhir itu ambruk.
Batangnya patah, daun-daun hijaunya yang lebat menimpa sampah, menciptakan kontras yang menyakitkan. Akar-akarnya, yang mencengkeram erat lapisan tanah, kini terpapar, tampak seperti urat yang diputus.
Rindu berdiri di antara puing-puing, dikelilingi oleh pecahan 'harta' mereka. Air matanya bercampur dengan debu TPA. Pohon Hujan telah hilang.
Keheningan yang menyusul kehancuran itu lebih buruk daripada suara buldoser.
Mandor itu, meskipun puas, memerintahkan pekerjanya untuk segera membersihkan pohon yang tumbang.
Rindu hanya bisa berdiri, tubuhnya gemetar, menatap lubang besar di bumi tempat Pohon Hujan pernah berdiri. Ia kalah. Semua perjuangan mereka, semua 'harta' yang dikumpulkan, semua harapan yang diikatkan pada pohon itu, semuanya sia-sia di hadapan kekuasaan dan uang.
Jurnalis muda itu, yang kameranya berhasil ia pertahankan, mendekati Rindu.
“Siapa namamu, Nak?” tanyanya lembut.
“Rindu,” jawab Rindu, suaranya nyaris tak terdengar.
“Rindu,” kata jurnalis itu sambil mengarahkan kamera ke wajah Rindu yang kotor dan basah air mata. “Katakan padaku, apa yang ingin kau katakan kepada orang-orang kota itu?”
Rindu menarik napas dalam-dalam. Itu adalah napas yang berat, napas yang penuh bau lindi dan sampah. Pohon Hujan sudah tidak ada untuk menyaringnya.
“Katakan pada mereka…” Rindu mulai, suaranya serak, tetapi semakin kuat.
“Katakan pada mereka bahwa kami tidak meminta apartemen mereka. Kami tidak meminta kekayaan mereka. Kami hanya meminta satu hal yang mereka buang.
Udara. Kami hanya meminta tempat di mana kami bisa bernapas tanpa harus mati pelan-pelan. Pohon ini… dia memberikan kami udara yang seharusnya menjadi hak semua orang! Kalian buang kehidupan kalian di sini, dan sekarang kalian ingin merampas sisa-sisa kehidupan kami!”
Kata-katanya keras, penuh kepedihan dan kemarahan yang jujur. Anak-Anak Plastik mengangguk di belakangnya, mata mereka menatap ke kamera.
Keesokan harinya, video pendek berjudul "Anak-Anak Plastik Melindungi Pohon Terakhir" meledak di media sosial dan portal berita nasional.
Rekaman perjuangan anak-anak kecil yang mencoba menghentikan buldoser dengan perisai kaleng dan tubuh mereka yang kurus, disertai dengan kesaksian Rindu yang memilukan, menyentuh saraf kemarahan publik. Orang-orang kota Gemerlap yang selama ini memilih untuk tidak melihat Bantarangin, kini dipaksa untuk melihatnya.
Video itu menjadi viral.
Tagar seperti #SuaraBantarangin dan #HentikanApartemenSampah mendominasi tren. Kisah Rindu menjadi wajah dari ketidakadilan lingkungan yang selama ini tersembunyi. Mereka yang miskin dipaksa menanggung beban polusi agar yang kaya bisa menikmati pemandangan yang bersih.
Proyek The Peak Residences tidak berhenti. Pemerintah kota terlalu terikat kontrak. Pohon yang tumbang itu diangkat, dan pekerjaan konstruksi berlanjut. Rindu dan Anak-Anak Plastik kehilangan tempat berlindung mereka. Bau busuk kembali menjadi selimut mereka, lebih berat, lebih pekat, tanpa saringan Pohon Hujan.
Namun, perjuangan itu tidak sepenuhnya sia-sia.
Dua minggu setelah video itu viral, Walikota Kota Gemerlap mengadakan konferensi pers mendadak, terlihat jelas tertekan.
“Pemerintah kota menyesali insiden yang terjadi,” katanya, dengan wajah yang dihiasi senyum palsu. “Sebagai bentuk komitmen kami terhadap warga Bantarangin, kami telah memutuskan untuk menangguhkan relokasi massal. Kami akan membangun sebuah Taman Komunitas Hijau di perbatasan TPA, jauh dari area proyek, lengkap dengan fasilitas penyaringan air dan unit kesehatan permanen.”
Rindu dan Ayahnya mendengar berita itu dari radio transistor tua.
“Kau dengar itu, Rindu? Taman Hijau,” kata Jaka, matanya berkaca-kaca.
Rindu memandang ke arah TPA, ke tempat di mana Pohon Hujan telah dihancurkan. Itu adalah kemenangan kecil, yang dibayar dengan harga yang sangat mahal. Udara di Taman Komunitas nanti mungkin tidak akan pernah sesejuk dan semurni di bawah kanopi Pohon Hujan.
Rindu kehilangan pohonnya, tetapi ia menemukan sesuatu yang lebih kuat, yaitu Suara.
Sejak saat itu, Rindu tidak hanya memulung sampah. Ia mulai berbicara. Jurnalis itu kembali, dan kali ini, Rindu berbicara tentang sanitasi, tentang hak atas pendidikan, tentang upah yang adil bagi pemulung. Ia menjadi juru bicara tidak resmi Anak-Anak Plastik, suara yang muncul dari timbunan sampah, mengingatkan kota Gemerlap tentang biaya manusiawi dari kemewahan mereka.
Ia telah kehilangan tempatnya untuk bernapas, tetapi kini, ia bisa bernapas dengan kebenaran. Ia tahu bahwa meskipun Pohon Hujan sudah tiada, setiap botol plastik yang ia kumpulkan sekarang, setiap kaleng yang ia tukar, adalah bukti dari sebuah perlawanan abadi.
Rindu tidak lagi hanya mencari nafkah. Ia mencari keadilan. Dan bagi para Anak-Anak Plastik yang tersisa, itulah bibit harapan baru, yang jauh lebih sulit untuk ditebang daripada pohon manapun.