Hujan sore itu membasahi kota Bandung dengan melodi sendu. Di sebuah rumah tua di kawasan Dago, seorang wanita bernama Lintang duduk termenung di depan jendela. Usianya senja, rambutnya memutih, namun matanya masih menyimpan kilau semangat yang dulu pernah membara.
Lintang adalah seorang pianis. Dulu, ia adalah bintang panggung yang memukau ribuan penonton dengan jemarinya yang lincah menari di atas piano. Ia berkeliling dunia, mengharumkan nama Indonesia dengan musik klasiknya.
Namun, kejayaan itu kini tinggal kenangan. Sepuluh tahun lalu, Lintang mengalami kecelakaan yang merenggut kemampuan tangannya untuk bermain piano. Ia kehilangan segalanya: karir, impian, dan identitasnya.
Sejak saat itu, Lintang mengasingkan diri di rumah tuanya. Ia jarang keluar rumah, jarang bertemu orang. Ia hanya menghabiskan waktunya dengan mendengarkan rekaman-rekaman penampilannya dulu, meratapi masa lalu yang tak mungkin kembali.
Hujan semakin deras. Suara gemuruh petir menggelegar di langit. Lintang memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara piano. Suara itu lirih, namun jelas terdengar di tengah gemuruh hujan. Suara itu berasal dari rumah tetangganya, sebuah rumah kos yang dihuni oleh mahasiswa-mahasiswa dari berbagai daerah.
Lintang membuka matanya. Ia penasaran dengan siapa yang sedang bermain piano di tengah hujan badai seperti ini. Ia berjalan menuju jendela dan mengintip ke arah rumah kos itu.
Di salah satu kamar, ia melihat seorang pemuda sedang duduk di depan piano. Pemuda itu terlihat sangat serius dan fokus. Jemarinya menari di atas клавиши dengan lincah dan penuh semangat.
Lintang tertegun. Ia merasa seperti melihat dirinya sendiri di masa lalu. Ia merasakan kembali semangat dan gairah yang dulu pernah ia miliki.
Lintang terus memperhatikan pemuda itu. Ia terpukau dengan bakat dan dedikasinya. Ia merasa bahwa pemuda itu memiliki potensi yang besar untuk menjadi seorang pianis hebat.
Setelah beberapa saat, pemuda itu berhenti bermain piano. Ia terlihat lelah dan menghela napas panjang.
Lintang memberanikan diri untuk keluar rumah. Ia berjalan menuju rumah kos itu dan mengetuk pintu kamar pemuda itu.
Pemuda itu membuka pintu. Ia terkejut melihat seorang wanita tua berdiri di depan kamarnya.
"Maaf mengganggu," kata Lintang dengan suara lembut. "Saya tetangga Anda. Saya mendengar Anda bermain piano tadi. Permainan Anda sangat bagus."
Pemuda itu tersenyum malu. "Terima kasih, Bu," jawabnya. "Saya hanya sedang berlatih."
"Siapa nama Anda?" tanya Lintang.
"Nama saya Arya, Bu," jawab pemuda itu. "Saya mahasiswa musik di universitas dekat sini."
"Saya Lintang," kata Lintang sambil mengulurkan tangannya. "Saya dulu seorang pianis."
Arya terkejut mendengar pengakuan Lintang. Ia tahu bahwa Lintang adalah seorang pianis legendaris. Ia merasa sangat terhormat bisa bertemu dengannya.
"Saya sangat mengagumi Ibu," kata Arya dengan tulus. "Saya sering mendengarkan rekaman-rekaman penampilan Ibu."
Lintang tersenyum. "Terima kasih, Arya," katanya. "Saya senang mendengar itu."
Lintang dan Arya kemudian terlibat dalam percakapan yang panjang. Mereka berbicara tentang musik, piano, dan kehidupan. Lintang memberikan banyak nasihat dan motivasi kepada Arya.
Arya merasa sangat terinspirasi oleh Lintang. Ia merasa bahwa Lintang adalah mentor yang tepat untuk membantunya mengembangkan bakatnya.
Sejak saat itu, Lintang dan Arya menjadi sahabat dekat. Setiap hari, Arya datang ke rumah Lintang untuk berlatih piano. Lintang memberikan bimbingan dan arahan kepada Arya.
Lintang merasa sangat bahagia karena bisa berbagi pengetahuannya dengan Arya. Ia merasa bahwa dirinya telah menemukan kembali смысл hidupnya. Ia tidak lagi merasa kesepian dan tidak berguna.
Arya semakin berkembang pesat di bawah bimbingan Lintang. Ia berhasil memenangkan berbagai macam kompetisi piano. Ia menjadi salah satu pianis muda yang paling menjanjikan di Indonesia.
Suatu hari, Arya mendapatkan tawaran untuk tampil di sebuah konser besar di Jakarta. Ia merasa sangat gugup dan takut.
Lintang memberikan semangat kepada Arya. Ia mengatakan bahwa Arya harus percaya pada dirinya sendiri dan memberikan yang terbaik.
Pada hari konser, Arya tampil dengan sangat memukau. Ia berhasil menghipnotis ribuan penonton dengan permainannya yang indah dan penuh emosi.
Setelah konser selesai, Arya menghampiri Lintang yang duduk di kursi penonton. Ia memeluk Lintang dengan erat.
"...Terima kasih, Bu," kata Arya dengan air mata berlinang. "Tanpa Ibu, aku bukan siapa-siapa."
Lintang membalas pelukan Arya dengan erat. Air mata juga menetes di pipinya. "Kamu hebat, Arya," bisiknya. "Kamu sudah membuktikan bahwa kamu bisa meraih impianmu."
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya menghampiri mereka. Pria itu adalah seorang produser musik terkenal.
"Arya, permainanmu sangat luar biasa," kata produser itu. "Saya ingin menawarkan kamu kontrak rekaman."
Arya terkejut dan senang. Ia tidak menyangka akan mendapatkan tawaran seperti ini. Ia menatap Lintang dengan tatapan memohon.
Lintang mengangguk. "Terima saja, Arya," katanya. "Ini adalah kesempatan emas untukmu."
Arya menerima tawaran itu dengan senang hati. Ia berjanji akan selalu mengingat jasa-jasa Lintang dan tidak akan pernah melupakannya.
Beberapa bulan kemudian, Arya merilis album pertamanya. Album itu menjadi sangat populer dan terjual jutaan kopi di seluruh dunia. Arya menjadi seorang bintang yang sangat terkenal.
Namun, di tengah kesuksesannya, Arya tidak pernah melupakan Lintang. Ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Lintang di rumahnya. Ia seringkali bermain piano untuk Lintang, menghibur hatinya yang kesepian.
Suatu malam, saat Arya sedang bermain piano untuk Lintang, Lintang tiba-tiba merasa sakit di dadanya. Ia memegangi dadanya dengan erat dan sulit bernapas.
Arya panik. Ia segera memanggil ambulans dan membawa Lintang ke rumah sakit.
Di rumah sakit, dokter mengatakan bahwa Lintang mengalami serangan jantung. Kondisinya sangat kritis.
Arya sangat sedih dan khawatir. Ia tidak ingin kehilangan Lintang. Ia merasa bahwa Lintang adalah ibu kedua baginya.
Arya menemani Lintang di rumah sakit selama berhari-hari. Ia selalu berada di sampingnya, memberikan semangat dan dukungan.
Suatu pagi, saat Arya sedang duduk di samping tempat tidur Lintang, Lintang membuka matanya. Ia tersenyum lemah kepada Arya.
"Arya," bisik Lintang dengan suara yang sangat pelan. "Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku."
"Ibu jangan bicara," kata Arya dengan air mata berlinang. "Ibu harus sembuh."
"Aku sudah bahagia, Arya," kata Lintang. "Aku sudah melihat kamu meraih impianmu. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi yang aku inginkan."
Lintang menghela napas panjang. Kemudian, ia menutup matanya.
Arya menangis histeris. Ia memeluk Lintang dengan erat. Ia tidak percaya bahwa Lintang telah pergi meninggalkannya.
Kematian Lintang menjadi pukulan yang sangat berat bagi Arya. Ia merasa kehilangan seorang ibu, seorang sahabat, dan seorang mentor.
Namun, Arya tidak menyerah. Ia berjanji akan terus berkarya dan mengharumkan nama Lintang. Ia ingin mewujudkan semua impian Lintang yang belum sempat terwujud.
Arya terus berkarya dan menjadi salah satu pianis terbaik di dunia. Ia seringkali memainkan lagu-lagu yang dulu sering dimainkan oleh Lintang. Ia ingin mengenang jasa-jasa Lintang dan menghormati warisannya.
Setiap kali Arya tampil di panggung, ia selalu melihat ke arah langit. Ia percaya bahwa Lintang selalu ada di sana, mengawasinya dan memberikan dukungan.
Arya tahu bahwa Lintang akan selalu menjadi bagian dari hidupnya. Ia akan selalu mengingat Lintang sebagai seorang wanita yang telah mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Dan di setiap denting piano yang ia mainkan, gema senja itu akan selalu abadi.