Seira selalu menjaga hidupnya dengan rapi, seperti menyusun buku harian yang tak pernah salah urutan. Pagi-pagi, ia membantu ibunya, menata rumah, lalu duduk bersila di lantai, menutup mata, menarik napas panjang, dan membiarkan pikirannya tenggelam dalam meditasi. Menurutnya, ketenangan itu datang dari disiplin dan dharma yang ia pegang.
Kristoff, di sisi lain, tumbuh dengan cara yang berbeda. Doa Katoliknya rutin, terstruktur, penuh dengan harapan pada Bunda Maria. Ia percaya pada petunjuk yang jelas, pada jalan yang sudah digariskan, tapi hatinya selalu mencari sesuatu yang tidak bisa dibaca oleh jadwal ibadahnya.
Mereka bertemu di kelas psikologi sosial. Awalnya hanya sekadar mahasiswa yang duduk di meja yang sama, berdebat soal tugas kelompok, tertawa canggung, dan minum kopi setelah kuliah. Namun, tawa itu lama-lama menjadi candu.
Hingga suatu sore, di bangku taman kampus, matahari hampir tenggelam, jingga dan merah menyelimuti bahu Kristoff. Seira menatapnya, campuran cemas dan lelah menumpuk di matanya.
“Kamu tahu kita gak akan pernah bisa bersatu, kan?” kata Seira, suaranya lembut tapi tegas, jari-jarinya saling meremas.
Kristoff menarik napas panjang. “Aku tahu. Tapi itu bukan berarti kita gak boleh ngomongin ini.”
“Ngomongin apa?” Seira terkekeh pahit. “Tentang gimana kita bakal pura-pura kuat, terus berakhir kita capek sendiri?”
Kristoff menunduk, biasanya ia selalu kalah jika hati berbicara lebih cepat daripada logika. “Aku cuma pengen jujur.”
Jujur. Kata itu menusuk Seira lebih dalam daripada tuduhan apa pun. Ia selalu percaya cinta bisa diatur, bisa dibatasi. Tapi kini, hatinya berontak.
Mereka berbeda bukan hanya karena sifat, tapi karena keyakinan mereka. Seira seorang Buddha, dibesarkan dengan ajaran yang menekankan kesadaran diri, penerimaan, dan ketenangan batin. Kristoff seorang Katolik, dibesarkan dengan doa-doa, harapan, dan ketegasan pada ajaran Tuhan. Dan di tengah perbedaan itu, muncul rasa yang tidak bisa mereka abaikan.
“Aku capek jadi yang paling rasional,” kata Seira akhirnya. “Aku capek harus mikir sepuluh langkah ke depan setiap kali aku ketemu sama kamu.”
Kristoff menatapnya. Tidak ada kemarahan, hanya takut kehilangan. “Aku gak minta kamu ninggalin apa pun. Aku cuma minta kamu jujur sama perasaanmu sendiri.”
Seira berdiri. “Justru karena jujur, aku ngerasa harus berhenti dan mengakhiri ini semua.”
Ia pergi, meninggalkan Kristoff dan senja yang perlahan gelap.
Malam-malam berikutnya, Seira duduk bersila di lantai kamarnya, lilin kecil di sampingnya menyala, dan mantra pelan terdengar dari bibirnya. Ia mencoba menenangkan diri, tapi ketenangan itu rapuh. Pertanyaan terus muncul.Apakah mencintai seseorang selalu salah jika perasaan itu bertentangan dengan dharma yang aku pegang?
Di sisi lain kota, Kristoff berlutut di kapel kecilnya. Lilin menyala di altar, aroma dupa tipis mengambang. Doa panjangnya malam itu penuh tanya: Tuhan, kalau aku benar-benar cinta, apa yang harus aku korbankan?
Hari-hari berlalu. Mereka masih saling menyapa, tapi jarak terasa makin nyata. Tidak ada pertengkaran besar. Tidak ada kata-kata putus. Hanya keheningan yang menyesakkan tapi damai sekaligus.
Seira duduk di taman, menutup mata, menarik napas, membayangkan wajah Kristoff. Kristoff menyalakan lilin di kapel kampus, berdoa panjang, dan entah kenapa, doa mereka berbeda arah tapi terasa satu tujuan yaitu kedamaian hati.
Dua bulan kemudian, mereka bertemu lagi. Tidak direncanakan. Perpustakaan. Rak psikologi. Seira meraih buku, tangan Kristoff menyentuh punggung tangannya. Mereka terkejut, lalu tertawa kecil.
“Kamu keliatan lebih kurus,Ra...” kata Kristoff.
“Kamu juga,” jawab Seira.
Hening jatuh, tapi kali ini terasa damai. Mereka duduk, ngobrol ringan. Tentang kuliah, hidup, hal-hal yang tetap berjalan meski mereka tidak bisa memiliki satu sama lain.
“Ada satu hal yang baru aku sadari,” kata Seira pelan. “Aku selama ini mikir agama itu soal batas. Tapi mungkin… juga soal niat.”
Kristoff menoleh. “Maksudmu?”
“Aku gak bisa mencintai kamu seperti orang lain,” lanjut Seira. “Tapi itu bukan berarti perasaanku salah. Cuma… berbeda.”
Kristoff tersenyum. “Aku gak pernah pengen kamu berubah.”
“Dan itu yang bikin aku berani jujur,” kata Seira.
Hening menyelimuti mereka. Lilin kecil di samping Seira, lilin di altar kapel, keduanya menyala, dua cahaya berbeda arah tapi sama-sama hangat. Untuk pertama kalinya, mereka merasa damai. Tidak tahu masa depan, tidak tahu apakah akan bersama. Yang pasti, mereka pernah saling berarti.
Hari-hari berikutnya membawa kehidupan masing-masing. Seira lulus dari kampus, Kristoff sibuk dengan pekerjaan barunya. Mereka masih menyapa sesekali, tapi kehidupan membawa mereka ke jalannya sendiri. Tidak ada penyesalan, tidak ada dendam.
Kadang Seira teringat Kristoff saat senja. Kadang Kristoff teringat Seira saat hening.
Mereka tidak pernah menemukan jawaban. Tidak tahu apakah kurang berjuang atau terlalu bijak untuk memaksa.
Yang pasti, mereka belajar cinta tidak selalu tentang memiliki. Kadang cinta hanya tentang memahami, menerima, dan melanjutkan hidup meski jawaban tidak pernah ditemukan.
Dan kehidupan tetap berjalan, seperti seharusnya