Suatu malam, ketika dunia sudah tidur dan hanya orang-orang dengan pola hidup berantakan yang masih terjaga, Flora sedang tengkurap di kasurnya sambil main Mobile Legends.
Lampu kamar sengaja dimatikan Katanya biar fokus. Padahal aslinya karena malas bangun buat matiin lampu. Layar HP jadi satu-satunya sumber cahaya, memantul di wajah Flora yang penuh konsentrasi dan sedikit dendam.
"Anjir lah, napa sih tim gue selalu begini," gumamnya pelan, ibu jari menari liar di layar. Hero-nya mati untuk ketiga kalinya. Bukan karena dia noob, tentu saja. Ini salah matchmaking. Selalu salah matchmaking.
Jam di dinding kos Flora sudah lama mati. Jarumnya berhenti di angka yang sama entah sejak kapan, tapi anehnya semua penghuni kos sepakat bahwa jam itu tetap terasa berjalan. Malam selalu datang dengan berat, seperti ada sesuatu yang ikut duduk di dada, padahal yang terlihat hanya kipas angin tua yang bunyinya lebih mirip helikopter mau jatuh.
HP di tangannya bergetar pelan. Bukan notifikasi game, cuma peringatan baterai lemah yang muncul tanpa empati. Jam digital di layar menunjukkan 03.17. Flora mendecak. Ini jam rawan. Jam di mana pikiran manusia lebih jujur, lebih bodoh, dan lebih gampang percaya hal-hal aneh.
Kos itu tua. Semua orang bilang begitu sejak hari pertama. Dindingnya retak halus seperti garis penuaan, lorongnya sempit, dan lampu-lampunya punya kebiasaan berkedip seolah sedang mikir apakah masih mau bekerja atau tidak. Pemilik kos pernah bilang sambil tertawa kecil bahwa kos ini “punya sejarah”. Flora tidak nanya lebih lanjut karena dia sudah belajar bahwa kata sejarah sering kali artinya masalah.
Dari kamar sebelah terdengar suara kursi digeser. Pelan, tapi cukup jelas. Flora mengernyit. Jam segini orang geser kursi biasanya cuma dua jenis: orang stres atau bukan orang.
Dia menutup mata, pura-pura tidur. Strategi bertahan hidup nomor satu. Kalau sesuatu tidak yakin kamu sadar, kadang dia ikut ragu untuk muncul.
Tok.
Flora membuka satu mata.
Tok.
Ketukan itu datang dari pintu kamarnya. Tidak keras. Tidak juga pelan. Pas. Terlalu pas. Kayak orang yang sudah latihan ngetuk berkali-kali di depan cermin.
Flora menelan ludah. Dalam kepalanya langsung muncul berbagai kemungkinan yang semuanya berujung pada dirinya menyesal hidup. Dia tidak berdoa. Dia cuma mikir apakah posisi kasurnya strategis kalau harus lari lewat jendela.
Tok.
“Flora…,” sebuah suara memanggil. Suaranya serak, panjang, seperti ditarik dari lorong yang jauh. Nama itu diucapkan dengan cara yang bikin kulit merinding, kayak lagi dibaca pelan-pelan oleh seseorang yang baru belajar bicara.
Flora menarik selimut sampai ke dagu. Jantungnya berdetak cepat tapi otaknya anehnya justru sibuk mengeluh.
"Ini kenapa sih horor selalu jam segini. Nggak bisa apa siang bolong, pas mental masih kuat."
“Flora… buka pintunya…,” suara itu terdengar lagi.
Flora hampir menjawab. Refleks. Untungnya logika sisa-sisa masih hidup. Dia menggigit bibir dan diam. Dalam keheningan itu, suara napasnya sendiri terdengar terlalu keras.
Ketukan berhenti.
Beberapa detik berlalu. Atau menit. Waktu rasanya cair.
Lalu terdengar suara gesekan. Seperti sesuatu diseret pelan di lantai depan kamarnya.
Flora memejamkan mata lebih keras, berharap ini semua cuma efek kurang tidur dan kopi sachet murahan. Tapi hidungnya menangkap bau aneh. Bukan bau busuk. Lebih ke bau lembap, dingin, kayak hujan yang lupa pergi.
“Flora…,” suara itu kembali, kali ini lebih dekat ke daun pintu. “Aku kedinginan.”
Flora hampir ketawa. Hampir. Di situ letak masalahnya. Ketika takut mulai bercampur dengan rasa absurd, otak manusia suka error.
“Kedinginan beli jaket,” gumamnya pelan tanpa sadar.
Ketukan tiba-tiba berhenti total. Keheningan jatuh seperti kain berat.
Flora membuka mata. Menatap pintu. Pegangan pintu itu bergerak sedikit.
Sedikit saja.
Flora duduk tegak. “Oke,” katanya lirih. “Siapapun kamu, kita ngobrol baik-baik aja ya. Aku nggak punya duit, nggak punya emas, dan aku abis losestreak.”
Tidak ada jawaban.
Pegangan pintu diam.
Lalu terdengar suara dari luar, jauh lebih normal, jauh lebih… manusia.
“Flora?”
Nada suaranya ragu. Seperti orang yang takut salah kamar.
Flora berkedip. Suara itu tidak serak. Tidak ditarik panjang. Tidak teatrikal.
“Iya?” jawab Flora spontan, lalu langsung menyesal.
“Eh, syukurlah kamu bangun,” kata suara itu. “Ini aku. Reno. Kamar sebelah.”
Flora mematung.
“Kamu ngetuk pintu jam segini?”
“Iya… maaf,” jawab Reno. “Aku nggak bermaksud ganggu Tidur kamu.Charger aku ketinggalan di kamarmu kemarin.”
Flora menatap pintu dengan tatapan kosong. Otaknya mencoba menyesuaikan ulang seluruh ketakutan barusan dengan kenyataan yang sangat tidak mistis.
“Kamu manggil nama aku kayak lagi manggil arwah,” katanya datar.
Di luar terdengar tawa kecil yang canggung. “Oh. Maaf. Aku kira aku manggilnya biasa.”
Flora bangkit dari kasur dan membuka pintu sedikit. Reno berdiri di sana dengan hoodie kebesaran, rambut acak-acakan, mata merah, dan ekspresi orang yang sudah kalah sama hidup.
“Kamu kenapa mukanya kayak gitu?” tanya Flora.
Reno mengangkat bahu. “Deadline.”
Flora menatapnya lama. Sangat lama.
“kamu tau nggak,” katanya akhirnya, “kamu baru aja hampir bikin aku ketakutan setengah mati.”
Reno mengernyit. “Serius?”
“Serius.”
Reno tertawa kecil lagi, kali ini lebih lepas. “Maaf banget. Aku cuma butuh charger buat selesain deadline tugas ku.”
Flora menghela napas, masuk ke kamar, mengambil charger, dan menyerahkannya.
Reno menerimanya seperti benda suci.
“Makasih,Ya flora” katanya. “Aku janji besok balikin.”
Flora menutup pintu, bersandar di belakangnya, lalu meluncur duduk ke lantai.
Jantungnya masih berdetak cepat.
Dia tertawa pelan. Tawa orang yang baru sadar hidupnya absurd.
Tapi sebelum tawa itu benar-benar hilang, dari lorong kos terdengar suara lain.
Bukan suara Reno.
Langkah kaki. Pelan. Tidak terburu-buru.
Flora berhenti tertawa.
Langkah itu berhenti tepat di depan pintunya.
Lalu terdengar ketukan lagi.
Kali ini lebih pelan.
Dan suara dari balik pintu berbisik.
“Flora… aku bukan Reno.”
Dan keesokan paginya, Flora bangun dengan kondisi yang sangat tidak heroik.
Kepalanya nyut-nyutan, badan panas dingin, dan tenggorokannya sakit setiap kali menelan ludah. Bukan karena kerasukan, bukan karena kutukan, tapi karena badannya akhirnya menyerah setelah semalaman tegang pura-pura kuat.
Flora menatap langit-langit kamar dengan mata setengah terbuka.
“Damn,gw demam” gumamnya lirih. “ tapi, Masuk akal sih.”
HP-nya tergeletak di samping bantal. Dengan sisa tenaga dan sedikit rasa takut yang belum sepenuhnya hilang, Flora membuka grup chat teman-temannya.
“Gusy,” ketiknya pelan, “gw sakit, kayaknya gara-gara kejadian semalem.”
Tidak sampai satu menit, balasan langsung bermunculan.
“Hah kejadian apaan?” “Lu gapapa kan?” “Jangan bilang kos lu angker???”
Flora menarik napas, lalu mengetik lagi.
“Intinya gw takut. Bisa nggak ada yang nginep di kos gue hari ini. gw trauma please🥺🥺🥺”
Jawabannya datang cepat dan sama sekali tidak menenangkan.
“GAS.”
“SIAP.”
“SEKALIAN RAMEAN.”
Sore harinya, kamar kos Flora berubah total. Ada tas di pojok ruangan, ada makanan di atas meja, ada suara tawa yang sama sekali tidak peduli dengan suasana horor malam sebelumnya.
Beberapa temannya rebahan di lantai, satu orang duduk sambil main HP, yang lain sibuk nanya kronologi sambil makan.
“Lu serius takut?” tanya salah satu dari mereka.
Flora mengangguk sambil menarik selimut.
“kalau gua gak takut, mana mungkin gw sampe demam begini.”
Mereka tertawa, bukan mengejek, tapi karena rasa takut Flora terdengar jujur dan terlalu manusiawi.
Malam kembali datang ke kos tua itu.
Lampu lorong masih berkedip. Jam dinding masih mati. Udara masih terasa lembap.
Bedanya, kamar Flora sekarang penuh suara manusia.
Dan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, Flora bisa tidur.
Kalau memang ada sesuatu yang mengintai di kos ini, malam itu dia tidak muncul.
Mungkin dia takut.
Atau mungkin dia cuma malas menghadapi satu kamar penuh orang ribut.
Bagaimanapun alasannya, Flora tidak peduli.
Yang penting, malam itu tidak ada ketukan.