Tahun 4027
Sudut Pandang: Protagonis
Aku terbangun oleh suara alarm yang tidak kukenal, namun tubuhku mengenalinya terlalu baik.
Nada tinggi itu menembus tengkorakku, memantul di dinding baja, dan membuat inti energi di dadaku berdenyut lebih cepat.
Aku membuka mata.
Cahaya putih menyilaukan.
Langit-langit laboratorium retak oleh percikan listrik. Kabel-kabel menggantung seperti usus yang terburai. Bau ozon dan darah—atau sesuatu yang menyerupai darah—bercampur menjadi satu.
Tanganku terangkat tanpa kusuruh.
Bukan tangan manusia.
Logam gelap berlapis serat karbon. Jari-jari mekanik bergetar pelan. Aku memutar pergelangan tangan kanan—sensor internal menampilkan data yang tak kumengerti, namun terasa akrab. Lengan kiri merespons dengan dengungan rendah, medan magnet di sekitarnya beriak seperti air.
Aku duduk.
Dadaku terbuka sebagian, memperlihatkan inti energi berbentuk prisma biru yang berdenyut seperti jantung buatan. Setiap denyut membawa rasa… sakit? Tidak. Lebih seperti kesadaran bahwa aku masih ada.
Aku tidak tahu siapa aku.
Aku hanya tahu satu hal:
Aku tidak ingin berada di sini.
Pintu laboratorium meledak sebelum aku sempat berpikir lebih jauh.
---
Sudut Pandang: Dr. Elara Vance (Ilmuwan Perusahaan)
“Subjek E-07 aktif!”
Aku membeku.
Tidak. Tidak sekarang.
Kami belum menyelesaikan pemrograman kehendaknya. Korteks moralnya masih terlalu… manusia.
Di monitor, sosok itu bangkit dari meja operasi. Wajah pucat tanpa warna, mata biru tanpa pupil menatap kosong ke arah kamera. Rambut peraknya berantakan, sebagian menempel oleh cairan sintetis.
“Dia tidak seharusnya sadar,” bisikku.
Supervisor di belakangku memukul meja. “Kita sudah membuang cukup banyak dana untuk mayat tak bernama itu. Aktifkan protokol pengendalian.”
Aku menelan ludah.
Kami membangun tubuh itu dari sisa-sisa manusia yang tak diakui negara mana pun. Identitasnya dihapus. Ingatannya dimusnahkan. Dia seharusnya menjadi alat.
Namun di layar, aku melihatnya…
menoleh.
Seolah tahu kami sedang mengawasinya.
“Dia masih memiliki kehendak,” kataku lirih.
“Dan itu kesalahan fatal.”
---
Sudut Pandang: Protagonis
Mereka datang dengan senjata.
Aku tidak tahu apa itu “perusahaan raksasa”, tapi instingku berteriak bahwa orang-orang berseragam hitam itu ingin mengembalikanku ke meja operasi.
Aku melompat.
Lantai baja hancur saat kakiku menghantamnya. Tubuhku melesat ke depan, kecepatan meningkat drastis—angka-angka muncul di penglihatanku: 80 km/jam, 120, 150.
Peluru pertama menghantam dinding di belakangku.
Aku mengangkat lengan kanan.
Tanpa tahu caranya, aku melepaskan gelombang kejut. Udara bergetar, suara ledakan memekakkan telinga. Tiga prajurit terpental, menghantam dinding seperti boneka rusak.
Lengan kiriku panas.
Medan magnet di ruangan itu berputar liar. Senjata logam terlepas dari tangan musuh, melayang tak terkendali, lalu menghantam mereka sendiri.
Aku tidak merasa puas.
Aku hanya merasa… takut.
Turbo di punggungku menyala. Dua pasang mesin mendorong tubuhku menembus lorong, melewati pintu-pintu darurat, menuju cahaya neon kota.
Aku melompat keluar.
Dan dunia menyambutku.
---
Kota Neon – Distrik Bawah
Langit malam berwarna ungu gelap, dipenuhi iklan holografik raksasa. Gedung-gedung menjulang seperti raksasa logam. Jalanan penuh manusia—atau sesuatu yang pernah menjadi manusia.
Mata mekanik. Lengan buatan. Tulang belakang sintetis.
Aku bukan anomali di sini.
Namun aku tetap merasa… sendirian.
---
Sudut Pandang: Ryn (Penduduk Distrik Bawah)
Aku sedang memperbaiki drone rusak ketika sesuatu jatuh dari langit.
Bukan pesawat.
Bukan sampah orbital.
Seorang pria.
Dia mendarat di atap bangunan seberang, logam bertemu beton dengan suara dentuman berat. Tubuhnya ramping, namun jelas bukan manusia biasa. Cahaya biru berdenyut dari dadanya.
“Gila…” gumamku.
Dia menoleh ke arahku.
Matanya kosong, tapi ekspresinya… bingung. Seperti anak kecil yang terbangun di dunia asing.
Aku seharusnya lari.
Tapi aku tidak melakukannya.
---
Sudut Pandang: Antagonis – Direktur Kael Morvane
“Target keluar dari fasilitas.”
Aku tersenyum tipis.
Eksperimen gagal, kata mereka.
Aku melihatnya sebagai prototipe sempurna.
“Lepaskan unit pemburu,” perintahku. “Aku ingin dia hidup. Intinya terlalu berharga untuk dihancurkan.”
Di layar, sosok itu bergerak cepat di antara gedung-gedung. Keindahan mekanis yang luar biasa.
“Dia mungkin memiliki kehendak,” lanjutku, “tapi semua alat pada akhirnya kembali ke tangan pemiliknya.”
---
Sudut Pandang: Protagonis
Aku bersembunyi di lorong sempit di antara gedung. Turbo di punggungku mati perlahan. Inti energiku berdetak tidak stabil.
Aku ingin berhenti.
Aku ingin tidur.
Aku ingin… menjadi seseorang.
Seorang pria mendekat. Rambutnya gelap, satu matanya mekanik.
“Kamu buronan, ya?” katanya pelan.
Aku tidak menjawab.
Dia mengangkat tangan. “Tenang. Aku Ryn. Distrik Bawah tidak peduli pada perusahaan. Selama kamu tidak membawa masalah.”
Masalah datang lebih cepat dari yang kami duga.
Langit dipenuhi drone hitam. Lampu merah menyala seperti mata predator.
Aku berdiri.
“Aku tidak tahu siapa aku,” kataku, suaraku serak, seperti mesin tua.
“Tapi aku tidak mau kembali.”
Ryn menatapku lama.
Lalu mengangguk.
“Kalau begitu, lari.”
---
Sudut Pandang: Pertempuran
Ledakan menerangi malam.
Gelombang kejut menghancurkan drone. Medan magnet merobek kendaraan lapis baja dari jalanan.
Aku berlari, melompat, terbang singkat dengan turbo punggungku. Tubuhku dibuat untuk perang, tapi pikiranku menolak menjadi senjata.
Di tengah kekacauan, satu unit pemburu mendarat di depanku—tinggi, berlapis baja, tanpa wajah.
“Subjek E-07,” suaranya dingin.
“Kembali.”
Aku meninju.
Benturan itu mengguncang distrik. Namun unit itu tetap berdiri.
Aku sadar sesuatu:
aku bisa terus lari… atau aku bisa memilih.
Aku memusatkan seluruh energi inti ke lenganku.
Bukan untuk menghancurkan.
Tapi untuk membuka jalan.
Ledakan cahaya biru membelah malam.
---
Sudut Pandang: Epilog – Protagonis
Aku tidak tahu apakah aku bebas.
Aku hanya tahu aku masih berlari, masih memilih, masih bernapas—meski dengan paru-paru buatan.
Di dunia yang mengubah manusia menjadi mesin,
aku adalah mesin yang menolak kehilangan kemanusiaannya.
Dan selama inti ini masih berdenyut,
aku bukan alat siapa pun.