Ada seorang perempuan yang dikenal galak, dingin, dan sinis. Namanya Jenita. Dibalik wajahnya yang judes, dia memiliki senyum yang manis. Sayangnya dia jarang tersenyum, bukannya dia tidak mau senyum, dia hanya tidak ingin di gombal oleh para lelaki yang ada di kompleksnya.
Ya, bisa dibilang Jenita adalah primadona di desanya. Si perempuan dingin yang tidak tertarik cinta, lebih mengedepankan mimpinya. Banyak lelaki yang sudah ia tolak, dan akhirnya mereka mundur dan menyerah satu-persatu.
Namun suatu hari dia bertemu dengan pria asing di supermarket yang membuat keributan dengannya. Orang-orang di sekitar sana menontoni mereka dengan heran.
"Lho, Mbak. Itu bukannya kembalian saya, ya?" kata pria itu.
"Ini kembalian saya, Mas," kata Jenita sambil melirik sinis pada pria itu.
Pria itu berkacak pinggang, mulutnya melongo sejenak sebelum dia berkata lagi, "Wah, wah, itu jelas-jelas kembalian saya, Mbak. Saya tadi bayar pakai duit seratus ribu...." Pria itu tetap ngotot, tak mau menyerah.
"Terus, apa urusannya dengan saya? Minta saja kembalian sama mbak-mbak kasir. Kok malah mau malak kembalian saya!"
Mata pria itu terbuka lebar, dia menggelengkan kepalanya. "Eh, Mbak. Saya bukannya mau malak, saya minta kembalian saya."
Jenita menggertakkan giginya. "Ugh, dibilang ini kembalian saya!"
Orang-orang masih enjoy menontoni keributan mereka. Sementara mbak-mbak kasir kebingungan untuk melerai mereka. Mereka ingin menjelaskan, namun tidak ada celah untuk berbicara di antara mereka berdua yang masih sibuk bertengkar.
"Mbak, tahu dosa enggak? Kalau orang bohong itu–"
"Alah, berisik!
Pria itu melompat saking terkejutnya mendengar bentakan Jenita.
"Ih, Mbak. Keras amat kayak toa masjid."
Jenita memelototinya. "Apa kamu bilang?!"
Orang-orang yang menonton, cekikikan di belakang mereka. Agaknya mereka menikmati "cekcok adu mulut" itu.
Beruntungnya, perkelahian mereka terselamatkan oleh mbak-mbak kasir yang tiba-tiba datang. Mbak-mbak kasir itulah yang memberikan uang kembalian Jenita. Dan baru sekarang dia hendak memberikan kembalian pria itu. Dia memanggil pria itu sembari menyodorkan uang kembalian.
Pria itu menatap ke arah Jenita, kemudian kembali ke mbak-mbak kasir.
"Mas ini bagaimana? Saya kan udah bilang mau ambil uang di belakang. Soalnya di laci uangnya kurang," jelas mbak-mbak kasir itu.
Pria itu menerima uang kembaliannya, dia berdeham, berusaha untuk terlihat tenang. Padahal aslinya dia merasa malu dan merasa bersalah kepada Jenita.
"Tuh, makannya jadi orang jangan pikun!"
"Mbak, saya kira...."
Jenita tak menggubris lagi, dia langsung membuka pintu kaca itu dan pergi ke rumahnya. Namun di perjalanan pulang, dia diikuti oleh pria itu tanpa sepengetahuannya.
🌹🌹🌹
Keesokan harinya, ketika matahari menyapa bumi di udara segar pagi hari. Jenita sedang menjemur pakaiannya juga memelototi lelaki yang curi-curi pandang dengannya saat lewat di hadapannya.
Tiba-tiba suara klakson yang keras mengejutkannya, nyaris membuat pakaian di pegangnya itu jatuh, untungnya dia menangkapnya lagi.
Lebih terkejutnya lagi ketika dia melihat pria yang ditemuinya kemarin, pria itu cengar-cengir begitu melihat Jenita.
Jenita mendengus. "Mau apa? Kembalian? Enggak ada!"
Senyuman pria itu meredup. "Bukan begitu, Mbak. Saya kesini mau minta maaf. Saya akui saya salah kemarin, jadi...."
"Jadi apa? Mau minta kembalian?" seloroh Jenita.
Pria itu menepuk jidatnya. "Aduh, bukan itu Mbak. Jadi.... Apakah Mbak sedang kosong?"
Jenita mengernyitkan alisnya. "Maksudnya?"
"Lagi enggak ada temen."
"Oh, temen saya banyak."
"Duh, bukan itu maksud saya."
"Terus apa?"
Pria itu terdiam. Sementara Jenita sedang menahan amarahnya. Pria itu benar-benar membuatnya kesal setengah mati. Kemudian pria itu mengambil nafas dalam-dalam.
"Mbak lagi ada pacar?"
Jenita mengedipkan matanya, lalu dia menjawab dengan acuh tak acuh. "Sudah punya tunangan malah."
Pria itu memerhatikan jari-jemarinya. "Enggak ada cincin."
"Oh, cincin saya tidak bisa dilihat dengan mata. Tapi dilihat dengan hati."
"Hati enggak punya mata, Mbak," ujar pria itu yang kembali mengundang kekesalan Jenita.
"Udahlah terserah. Pergi saja sana, saya sibuk."
"Sibuk ngapain?" tanya pria itu.
"Menurut Mas, saya lagi ngapain?"
"Oh, iya. Lagi jemurin baju."
"Tuh tahu."
Seketika suasana menjadi hening. Pria itu menarik nafas dalam-dalam lagi.
"Mbak, mau enggak jadi pacar saya?"
Mata Jenita lebar membulat. "Pacar? Atas dasar apa Mas menyukai saya?"
"Harus banget saya jelasin nih?"
"Iyalah, apalagi mendadak begini. Saya kan curiga."
Pria itu pun mengangguk. "Jujur, entah mengapa saya tertarik kepada Mbak yang notabenenya gadis galak. Saya suka Mbak karena galak. Saya tahu ini terdengar konyol, tapi perasaan saya kepada Mbak sungguh-sungguh. Murni Mbak, seperti air suci yang mengalir dari gunung ke muara," jelas pria itu, suaranya penuh dengan kegugupan dan ketegangan.
"Cari perempuan lain saja, saya tidak tertarik," ucap Jenita dengan wajah dinginnya.
"Nama saya Angga." Tiba-tiba pria itu memperkenalkan diri.
Tanpa berkata lagi, Jenita pergi meninggalkan pria itu yang bernama Angga. Tetapi meskipun dia tahu dia telah ditolak, dia tetap bersikukuh untuk mendapatkan Jenita. Entah apa yang membuatnya mendambakan Jenita,yang jelas dia sangat tertarik padanya.
Angga menyalakan motornya, pergi sambil membayangkan kehidupannya dengan Jenita di masa depan.
"Angga bodoh!" Katanya mengatai dirinya sendiri di perjalanan sambil mesem-mesem kayak orang gila.
🌹🌹🌹
Hari-hari berikutnya, dia terus mendatangi rumah Jenita meskipun tidak ada balasan. Tidak ada tanggapan. Dia terus berdiri di depan rumah Jenita sampai perempuan itu benar-benar menunjukkan dirinya. Tetapi nihil.
Satu Minggu....
Jenita belum juga keluar dari rumahnya setiap kali Angga berkunjung ke sana. Kali ini Angga bersetelan pakaian rapi, dengan membawa setangkai mawar di tangan kanannya. Berharap agar pujaan hatinya menunjukkan dirinya. Dia ingin sekali melihat bidadarinya yang galak nan cantik itu.
Sampai bunganya layu, perempuan itu belum juga muncul. Sebenarnya Jenita tahu Angga sering datang ke rumahnya, dia mengintip dari balik tirai kamarnya. Dia merasa kasihan kepada Angga, namun dia belum bisa memastikan perasaan Angga.
Apa benar dia menyukainya? Atau... hanya ingin menggodanya seperti pria yang lain yang selalu berkata-kata manis padanya?
Jenita gegana (gelisah, galau, merana), memilih untuk diam di kamarnya meskipun ibunya memintanya untuk menyambut pria itu sekali saja.
Satu bulan....
Dua bulan....
Tiga bulan....
Angga terus menunggu. Namun hari ini dia tidak lagi datang ke rumah Jenita. Dan Jenita sadar, seharusnya dia tanggapi saja pria itu. Kini, pria itu pergi, membuat Jenita sedih, menyesali dirinya sendiri.
"Seharusnya aku terima saja pria itu." batinnya bergumam.
Dua bulan kemudian....
Angga kembali datang, kali ini dengan kedua orangtuanya. Dia mengetuk pintu rumah Jenita.
Perempuan itu yang sedang mengurung diri di kamar, langsung keluar dari kamar dan membuka pintu untuk menyambut kedatangan Angga.
Dia tahu Angga datang, dia tahu Angga kembali setelah beberapa kali dia mengacuhkannya. Dia membuka pintu, memeluk erat tubuh pria itu tanpa menyadari kedua orang yang berdiri di sisi Angga.
"Aku Jenita....,"kata Jenita dengan suara yang gemetaran.
Angga balas memeluknya. Dia sangat bahagia, akhirnya doa-doanya tidak sia-sia. Dia selalu melantunkan nama perempuan itu disetiap doanya. Dan hari ini, dia ingin melamarnya. Angga melepaskan pelukannya.
Jenita tersenyum lalu dia terdiam, membeku, begitu melihat dua orang yang berdiri di samping kanan-kiri Angga.
"Eh, maafkan saya.... Saya tidak tahu kalau–"
"Enggak apa-apa, toh, kami setuju begitu kami melihat kamu, nak."
Jenita terdiam kebingungan. Lalu dia mempersilakan mereka untuk masuk. Ibunya datang, Jenita membantu ibunya menyiapkan makanan dan minuman untuk tamu-tamu mereka.
"Jadi begini Bu, maksud kedatangan saya kemari bersama dengan orang tua saya," kata Angga serius, "saya ingin melamar Jenita."
Jenita membelalakkan matanya, tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja dia dengar. Dia melihat penampilannya, dia merasa tidak layak dilamar seperti itu saat dia sedang mengenakan daster.
"Anu, Jenita pergi ke kamar dulu, mau...."
Angga tersenyum lembut. "Tidur perlu, kamu sudah cantik, kok."
Untuk pertama kalinya, wajah Jenita memerah. Sementara itu orangtua Angga menahan senyum mereka.
"Jadi, bolehkah saya melamar putri Anda, Bu?" kata Angga lagi, kepada ibu Jenita.
Ibu Jenita mengangguk. "Iya, tentu boleh, nak."
Angga tersenyum puas, lalu ia memasangkan cincin pada jari Jenita. Di genggamnya tangan Jenita, serta dicium di punggung tangannya. Mereka tersenyum bahagia. Angga menyatukan keningnya dengan kening Jenita.
Orang tua Angga dan ibu Jenita sama-sama tersenyum melihat anak-anak mereka.
"Kamu sudah menjadi milikku, Jen. Terimakasih sudah menerimaku," kata Angga seraya mengecup kening Jenita.
"Iya, Mas. Terimakasih sudah menungguku."