Bab 2 - Bayangan dan Ilusi
Aku mencoba mencari cinta dalam pandangan orang lain — di film, lagu, bahkan kata-kata manis yang kubaca. Tapi semakin kucari, semakin aku merasa cinta hanyalah bayangan. Sesuatu yang diciptakan manusia untuk memberi makna pada kekosongan yang mereka rasakan.
Aku pernah menatap seseorang dengan begitu lama hanya untuk memastikan bahwa rasa itu nyata.
Ada sesuatu di dirinya yang membuat waktu terasa berhenti, seolah dunia ikut menahan napas bersamaku.
Bukan karena aku jatuh cinta — aku tahu aku belum sejauh itu —
Tapi karena ada keindahan yang tak bisa kuterjemahkan, hanya bisa kurasakan.
Kekaguman itu seperti cahaya lembut yang menembus jendela pagi.
Hangat, tapi tak pernah membakar.
Ia membuatku ingin mendekat, tapi juga membuatku takut menghancurkan ketenangan yang kulihat di dalamnya.
Aku kagum pada senyumnya, suaranya, caranya berbicara tentang hal-hal kecil,
Tapi mungkin yang paling kukagumi adalah caranya membuatku ingin menjadi lebih baik tanpa memintaku berubah.
Namun, semakin aku mengagumi, semakin aku sadar:
Kekaguman itu bukan cinta.
Kekaguman berhenti di permukaan — ia tumbuh dari jarak yang aman.
Cinta menuntut keberanian untuk melangkah lebih dekat, untuk melihat cacat di balik keindahan.
Sedangkan kekaguman… ia hanya memuja, tak pernah menyentuh.
Aku mulai melihat bagaimana kekaguman bisa jadi topeng yang manis.
Ia menutupi ketakutanku untuk benar-benar mengenal seseorang.
Mungkin karena aku takut, jika aku mengenalnya terlalu dalam, keindahan itu akan pudar.
Mungkin aku hanya ingin menjaga keindahan itu tetap utuh — bahkan jika itu berarti aku harus tetap berada di luar kisahnya.
Kekaguman, seperti bunga di kaca, tak akan layu…
Tapi juga tak akan pernah hidup.
Ada perbedaan halus antara kagum dan cinta.
Kagum melihat sesuatu yang luar biasa dan berhenti di sana,
Sedangkan cinta melihat sesuatu yang biasa tapi tetap bertahan di situ.
Aku kagum pada banyak hal — wajah, suara, cara bicara, bahkan cara seseorang menatap dunia —
Tapi belum ada yang membuatku ingin menetap.
Kekaguman memberiku alasan untuk menatap,
Tapi belum pernah memberiku alasan untuk tinggal.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah cinta selalu berawal dari kekaguman?
Atau justru kekaguman hanyalah cahaya pertama dari sesuatu yang tak pernah benar-benar menyala?
Entahlah. Yang kutahu, kekaguman selalu datang tanpa peringatan,
Dan pergi tanpa pamit, meninggalkan sedikit bekas di hati — cukup untuk diingat, tapi tak cukup untuk dirindukan.
Kini aku mulai memahami, bahwa kekaguman hanyalah rasa yang membungkus keindahan,
Bukan keindahan itu sendiri.
Ia seperti kaca bening di antara aku dan dunia,
Membiarkanku melihat segalanya, tapi tak pernah mengizinkanku menyentuhnya.
Mungkin, di situlah pelajaran pertama dari cinta:
Bahwa tak semua yang indah harus dimiliki,
Dan tak semua yang menggetarkan harus dikejar.
Karena beberapa hal memang diciptakan untuk dikagumi dari jauh —
Agar kita tetap belajar menghargai, bukan memiliki.
✨ Filosofi singkat di bawah halaman:
“Kekaguman adalah bentuk cinta yang masih takut untuk jujur.
Ia berdiri di depan pintu, tapi tak berani mengetuk.”